Jangan Ngarep

1500 Words
Sebenarnya untuk belanja kebutuhan rumah tangga Alaia lebih nyaman berbelanja dengan Erick atau pembantu rumah tangga mereka.  Namun karena Erick yang sedang berada di ruang operasi dan pembantu rumah tangga mereka yang harus membenahi rumah. Alaia menatap bergantian layar ponsel dan trolley belanja yang ia dorong. Memastikan jika kebutuhan yang sudah ia catat di ponselnya sudah di beli semua. "Aya!!" panggil seseorang. Alaia yang tengah fokus dengan belanjaannya itu langsung mencari sumber suara. Menoleh ke kanan dan kiri mencari siapa yang memanggilnya. Seorang pria datang menghampiri dengan wajah sumringah. "Ih gila, udah lama gak ketemu, sekalinya ketemu di supermarket begini" ujar temannya. "Eh elu!" ujar Alaia girang. Bertemu dengan teman lamanya ketika masih kuliah. "Apa kabar lu sekarang? Kerja dimana?" tanya temannya itu. Layaknya seseorang yang bertemu dengan teman lama, Alaia dan temannya itu asik mengobrol hal-hal ringan saat mereka terpisah. "Gue cariin lu, gataunya di sini lu" suara tersebut membuyarkan pembicaraan antara Alaia dengan teman lamanya itu. Ketika pria tersebut berdiri di bersebrangan dengannya, barulah Alaia dan pria itu saling terkejut. Haish!!! Saekkia!!!!  Dari sekian banyak manusia yang ada di dunia ini, mengapa ia harus bertemu lagi dengan mantan kekasihnya ini?! Siapa lagi kalau bukan Rama?  Mantan kekasihnya itu tersenyum lebar saat melihatnya. Dipikir ganteng kali ya? Muka kayak keledai begitu  Alaia tidak bisa menutupi raut wajah jijiknya. "Eh gue duluan ya, masih banyak mau gue belanjain" ujar Alaia yang langsung berlalu sambil mendorong trolley belanjanya detelah pamit dengan temannya itu. "Gimana ceritanya mereka bisa kenal satu sama lain? Temen kantor? Temen sekolah? Kalo temen kampus rada gak mungkin, gue sama Rama juga dulu beda kampus" ujar Alaia sambil berpikir keras bagaimana dua orang itu bisa bertemu dan menjadi teman. "Halah, masa bodo gimana ceritanya mereka bisa temenan" seketika Alaia tidak peduli dengan hal itu dan kembali fokus berbelanja. Setelah selesai berbelanja, Alaia membeli kopi untuk menyegarkan pikirannya. Ia duduk di sebuah kursi tunggu mungil di samping kedai kopi tersebut. Ia melihat jam tangannya. "Pulang, langsung taro semua belanjaan di pos masing-masing, terus kalo si mbak masih sibuk beberes rumah pesen Go-Food aja deh" ujar Alaia. Ia pun menimbang-nimbang kegiatan apalagi yang akan ia lakukan hari ini, sepulang dari supermarket. "Kayaknya kamu sendirian ya?" tanya suara yang familiar di telinganya. Alaia menoleh dan mednapati Rama lagi-lagi ada di hadapannya. Kalo gue baca ayat kursi angus gak nih orang   Alaia memilih untuk menatap mantan kekasihnya dalam diam. "Kenapa sih diem-diem begitu?" tanpa dipesilahkan Rama duduk di sebelahnya. "Jangan deket-deket" ujar Alaia dengan nada dan tatapan tajam. "Sejengkal lagi lu deketin gue, gak segen-segen gue aniaya lu depan umum" ujar Alaia pedas. Sejujurnya, Rama merasa gentar ketika Alaia mengeluarkan tatapan dinginnya itu. Rama bisa menangkap rasa tidak nyaman Alaia ketika ia berada disekitar wanita itu. "Okay sori-sori kalo aku terllau lancang deketin kamu" ujar Rama lalu bergeser sedikit memberikan Alaia ruang. "Iced Americano atas nama Alaia" ujar seorang barista. Alaia langsung berdiri dan mengambil pesanannya. Ia lalu menaruh minumannya itu di dalam trolley belanjanya dan meninggalkan Rama yang masih duduk di kursi tunggu itu. Ia beralan dengan gentar meninggalkan Rama dengan penuh keyakinan. Seyakin Rama meninggalkannya dulu. "Dulu gue belom jadi siapa-siapa aja gue di remehin terus. Sekarang? Hah!" Alaia menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Mantan kekasihnya itu bisa-bisanya menjilat ludahnya sendiri. Tidak disangka juga, mantan kekasihnya itu merendahkan harga dirinya sendiri hanya untuk bisa kemblai ke pelukan Alaia. "Aya!! Tunggu!" tanpa di duga Rama memanggilnya lagi. Ia pikir Rama akan berhenti ketika ia mengeluarkan taringnya itu. "Apa kita bener-bener gak bisa balikan kayak dulu lagi?" tanya Rama dengan nada pasrah. Alaia terbelakak mendengar permintaan Rama. "Balik lagi? Kayak dulu?" Alaia tidak habis pikir, Rama akan memohon hal seperti ini padanya.  Rama mengangguk ketika Alaia mengutarakan pertanyaannya. "Kamu lupa gimana dulu kamu ninggalin aku? Gimana dulu kamu ngeremehin mimpiku untuk jadi chef profesional? Gimana dulu kamu ngerendahin kau depan semua orang?" tanya Alaia. "Jangan pura-pura atau tiba-tiba lupa ingatan ya. Aku masih inget semuanya!" ujar Alaia. "Balikan? Seriously?" tanya Alaia dengan nada meremehkan. "I'm not the same old Alaia" "Simpan harapan kamu buat balikan sama aku. Medingan kamu cari perempuan lain yang lebih baik dari aku" tutup Alaia. Baru saja ia hendak pergi, Rama menahan lengannya. "Selama janur kuning belum melengkung, aku bakal terus usaha" ujar Rama dengan keyakinan. "Coba aja, kali ini kita liat. Siapa yang bakalan malu. Kamu atau aku?" tantang Alaia lalu melepas kasar cengkraman Rama dan meningglakan mantan kekasihnya itu. "Kalo begini ceritanya, gue makin yakin buat gak buka status gue yang udah jadi istri orang" **** "Cel, buruan ah kenapa sih perut udah laper nih! Gue jam dua kudu stand by sorean dikit mau operasi" ujar Erick yang kesal karena temannya itu belum juga selesai mengganti pakaiannya. "Iya iya bawel lu" ujar Marcel yang keluar dari ruang ganti dan kemudian berjalan beriringna dengan Erick. Keduanya memilih untuk menikmati makan siang di sebuah restoran yang baru buka di belakang rumah sakit. Beberapa rekan kerja mereka ada yang sduah pernah mencoba untuk menikmati makan siang di sana, dan banyak yang senang karena makanan yang dihidangkan enak. Begitu sampai, baik Erick maupun Marcel langsung memesan makan siang mereka. "Lu operasi ampe jam berapa?" tanya Marcel pada Erick. "Jam setengah tiga kalo gak salah" jawab Erick yang sibuk menikmati pemandangan di sekitar restoran itu. Meskipun hanya restoran sederhana, namun banyaknya tanaman membuat suasana menjadi rindang. "Jarang-jarang gue ngeliat yang ijo-ijo begini" ujar Erick. "Kita tiap hari juga ngeliat yang ijo-ijo" jawab Marcel. "Ya tapi ijonya bukan taneman begini!" sahut Erick yang gemas dengan jawaban temannya ini. Beberapa saat kemudian, makanan mereka datang dan tanpa di suruh lagi keduanya langsung menyantap makan siang mereka itu. Tidak ada omongan diantara keduanya. Karena keduanya sibuk melahap makan siang yang jarang-jarang bisa mereka nikmati dengan santai ini. Selesai makan keduanya benar-benar puas dengan apa yang mereka santap barusan. "Ini harga segini, apa gak terbilang murah ya Rick? Enak soalnya sayur asemnya" ujar Marcel yang puas tiada tara ini. "Iya, bisa di bilang murah sih" ujar Erick. "Ntar gue tanyain bini gue, sayur asem seenak ini worth it gak harga segitu" ujar Erick. "Ngomong-nomogn bini lu tua gak soal lu ama Laras?" tanya Marcel. Marcel mendapatkan perhatian dari Erick, ketika ia menayangkan tentang mantan kekasihnya temannya ini. "Gak, Aya gak tau soal Laras" ujar Erick. "Termasuk soal Laras yang nyamperin gue pas di Belanda" tambahnya lagi. "Kenapa?" tanya Marcel. "Dia gak ada penting-pentingnya lagi. Jadi Aya gak perlu tau tentang dia" ujar Erick dingin. Marcel hanya mengangguk saja. Erick tidak tahu tentang Alaia yang menyogoknya dengan setumpuk camilan dan menyuruhnya untuk menceritakan tentang Laras dan Erick. "Dah ah balik yuk, itung-itung biar nih makanan turun" ujar Marcel seraya berdiri dari kursinya. Erick pun ikut berdiri, lalu keduanya berjalan beriringan menuju kasir. Setelah selesai dengan urusan pembayaran, keduanya langsung keluar dari restoran untuk kembali ke restoran. Baru saja mereka sampai di pintu masuk restoran, Erick dan Marcel bertemu dengan Laras. Khusus yang ini gak ada panjang umur biarpun baru gue omongin batin Erick ketika melihat mantan kekasihnya itu. "Eh kalian" ujar Laras dengan nada semanis mungkin, masih berusaha untuk mendapatkan hati Erick. Baik Erick maupun Marcel tidak mau menggubris sapaan Laras. Keduanya menganggap laras hanyalah angin lewat saja. "Sopan yang begitu sama orang?" tahu-tahu Laras bersuara tidak terima karena sapaannya tidak di balas. "Terus lu mau apa?" tanya Marcel yang geram dengan tingah Laras. Marcel bahkan tidak pernah sekesal ini pada mantan kekasihnya, namun ia justru merasa kesal dengan mantan kekasih temannya yang satu ini. "Ya di jawab kek apa kek" ujar Laras dengan ekspresi tidak suka. "h okay, halo Laras!" jawba Marrcel dengan senyuman kecunya lalu berbalik badan meninggalkan wanita itu bersama Erick. Temannya itu sama sekali tidak bergeming dnegan tingkah mantan kekasihnya.  "Ya kenapa cuman lu doang, gue nyapa Erick juga" ujar Laras yang semakin tidak terima ini. Erick menghela napasnya dengan kasar. Ia sejujurnya tidak mau meladeni wanita sialan satu ini, namun kesabarannya habis juga lama-lama.  "Gak ngerti gue, lu tuh gila hormat apa gimana sih?" tanay Erick dengan nada pedas. Sebisa mungkin menahan amarahnya karena ia sedang berada di tempat umun, dan tidak jauh dari kantornya. "Udah di jawab ya udah selesai. Mau gue jawab sapaan lu atau gak ya itu urusan gue. Lu mau bilang gue sombong sampe gak punya sopan juga silahkan! Apa untungnya gue sopan sama lu?" tanya Erick. Jika bukan di area sekitar kantornya, sudah pasti ia akan memaki-maki Laras seperti yang ia lakukan ketika di Belanda. "Kita udah mantan, dan lu sendiri yang mutusin gue karena gue gak sepadan sama lu" ujar Erick. Mencoba membuat Laras ingat dengan keputusan dan kesombongannya sendiri di masa lalu. "Nih saksinya masih ada. Saksi hidup lagi" ujar Erick sambil menunjuk ke arah Marcel yang juga menatapnya dengan tatap dingin. "Mau gue ceritain rentetannya? Dari awal sikap lu berubah sampe mutusin gue dengan sombongnya?" tantang Erick. "Biar sekalian gue bikin malu lu depan umum" ujar Erick. Diam-diam Marcel tidak menyangka Erick begitu pedas ketika berhadapan dengan mantannya. Tanpa membuang waktu, Erick dan Marcel meninggalkan Laras yang mematung kaget dengan sikap Erick.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD