Yakin?

1500 Words
Seperti biasa, jika Erick sudah selesai dengan operasi, ia pasti akan langsung menuju ruang kerjanya. Entah itu untuk makan, istirahat atau langsung pulang. Suara ketukan pintu yang khas, tidak membuatnya terganggu ketika sedang menyantap mie instant favoritnya itu. "Asik bener nih, abis operasi makan mie goreng. Mana double lagi porsinya" ujar Marcel yang bersandar di daun pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. "Bikin sono kalo mau" uajr Erick tanpa mengalihkan wajahnya dari piring yang ada di hadapannya. Marcel masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu. Bukannya langsung membuat mie instant, Marcel malah duduk di samping Erick, dan mencomot toples berisi cemilan yang di buat oleh Alaia untuk Erick jika sesekali ingin ngemil. "Rick, kalo sesuai sama perjanjian lu. Berapa lama lagi lu sama Alaia harusnya cerai?" tanya Marcel sambil asyik mengunuyah keripik yang renyah itu. "Sembilan bulan lagi" ujar Erick cepat. Erick menjawabnya hanya dengan dehaman. "Kenapa tiba-tiba lu nanya begitu?" tanya Erick. "Gak apa-apa. Nanya doang" ujar Marcel. "Rick" ujar Marcel lagi. "Apaan?" tanya Erick. "Lu yakin gak ada perasaan apa-apa sama Aya?" tanya Marcel. Beruntung Erick tidak tersedak atau semacamnya ketika mendengar pertanyaan Marcel. "Kagaklah. Kan emang dari awal udah di tekenin kita nikah cuman sebentar doang" ujar Erick. "Masa sih? Susah loh" ujar Marcel masih dengan posisinya yang mengunyah dan menatpa langit-langit ruang kerja Erick. "Susah apaa?" tanya Erick tidak mengerti. "Susah buat gak jatuh cinta. Padahal kalian setiap hari ketemu, ngobrol, tidur juga sekamar. Lu yakin tuh gak tergoda?" Marcel menggoda Erick. "Gue yakin lu normal 100%" imbuh Marcel lagi. Dia gatau aja gue nahan diri setengah mampus setaun ini  Tidak bisa Erick pungkiri, ia juga sering kali tergoda oleh istrinya. Meskipun Alaia tidak pernah memancing, namun tetap saja. Karena status mereka yang sudah resmi suami istri, kadang-kadang Alaia lebih cuek dalam hal berpakaian. Tidak jarang istrinya ini memakai pakaian yang agak minim yang menguji keimanannya. "Kuat juga iman lu ya setaun begini gak tergoda ama istri sendiri" ujar Marcel. Ini anak bisa cepet pergi gak sih? Bawel bener daritadi  Sedang asyik-asyiknya nyemil, tahu-tahu ponselnya berdering, membuat Marcel menghentikan aktifitasnya sebentar. "Okay, okay saya ke UGD sekarang" nada bicaranya jadi serius begitu seorang perawat mengabarkan ada pasien darurat. Marcel pun langsung meninggalkan Erick dengan keadaan toplesnya yang terbuka dan secepat kilat berlari menuju UGD. "Bener-bener nih bocah" ujar Erick sambil menutup toples yang terbuka itu dan menatanya kembali seperti semula. **** Setelah sekian lama, Alaia akhirnya menginjakkan kaki kembali ke rumah orang tuanya. Sejak menikah, ia jadi sibuk dengan bisnisnya dan rumah tangganya.  Alaia hanya sesekali menelfon kedua orang tuanya, atau video call untuk sesekali. "Mau minum apa kamu?" tanya Gina pada putrinya itu. "Gampang. Kalo mau ntar ambil sendiri kok" ujar Alaia sambil mengibaskan tangannya. "Kamu sendirian aja? Erick mana?" tanya Gina. "Di rumah sakit" jawab Alaia enteng lalu mulai membuka satu per satu toples yang ada di hadapannya. Meskipun sudah menjadi seorang chef, namun tetaplah di hati Alaia adalah masakan buatan Mamanya seorang yang melekat di hatinya. "Udah jangan di abisin, buat tamu nanti" ujar Gina ketika melihat isi toples cemilannya tinggal setengah. "Ntar Mama bikin lagi aja" jawab Alaia enteng. Sudah menjadi kebiasannya jika main ke rumah orang tuanya, bermalas-malasan ria. Ia bermain ke taman belakang rumah yang rimbun dan penuh dengan berbagai tanaman hias yang di tanam oleh Mamanya. "Gue tinggal udah penuh aja ini taman belakang. Di tanem bunga apaan aja coba" ujarnya sambil melihat-lihat tanaman yang ada di sekeliling taman. "Pak, si Mama nanem apaan lagi?" tanya Alaia pada seorang tukang kebun yang khusus Gina pekerjakan untuk mengurusi taman belakang rumahnya ini. "Kemaren baru nanem bunga ini non. Itu kemaren di Nyonya beli Mosntera, ikut-ikutan temennya, sama ini yang baru dateng, Adenium" ujar tukang yang usianya kurang lebih setengah abad itu.  Alaia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Mamanya akhir-akhir ini jadi keranjingan sendiri dengan tanaman. "Ma, Mama ngapain beli tanaman banyak banget itu, udha kayak hutan aja di belakang" ujar Alaia sambil berjalan menuju arah dapur. "Emangnya kenapa? Biar rimbun, adem gitu kan enak" ujar Gina sambil membuatkan menu makan siang request Alaia. "Apanya rimbun Ma? Sesek orang ngeliatnya juga. Coba kurang-kurangin beli Ma" ujar Alaia sambil menarik kursi meja makan, dan kemudian duduk manis menunggu makanannya jadi. Gina menaruh piring di hadapan Alaia dan kemudian menuangkan makanan yang baru jadi di piring tersebut. Tanpa di suruh kedua kali, Alaia langsung menyantap makanan buatan Mamanya ini.  "Lahap banget makannya" ujar Gina sambil tertawa kecil melihat putri semata wayangnya ini. Alaia tetap sibuk dengan makanannya, tidak mempedulikan ocehan ibunya itu. "Ma, ntar bikinin seblak dong" ujar Alaia tiba-tiba. "Seblak?!" tanya Gina tidka percaya. "Iya" ujar Alaia sambil mengangguk dan mengunyah makanannya. "Banyak bener kamu makannya. Hamil jangan-jangan" ujar Gina. tentunya saja Alaia seketika tersedak mendengar ucpaan Gina. Buru-buru Gina menyodorkan gelas berisi air pada Alaia. "Makannya hati-hati dong" omel Gina. "Mama juga ngomongnya!" ujar Alaia. "Emang Mama ngomong apaan?" tanya Gina heran. "Ya siapa juga yang hamil" ujar Alaia sambil mengelap sudut bibirnya. "Ya kali aja" ujar Gina. Jangan bilang Mama ngebet mau punya cucu batin Alaia tidak enak. Jangan sampai kedua orang tua atau bahkan kedua mertuanya berharap ia segera hamil karena hal itu tidak pernah terlintas di benaknya sejak memutuskan menikah dengan Erick. "Kamu udah setahun nikah gini, gak ada rencan mau ngasih Mama-Papa cucu gitu?" tanya Gina. Setelah menahan diri untuk tidak mengatakan hal ini pada putrinya, akhirnya Gina bisa juga mengutarakan isi hatinya ini. "Belom. Aku sama Erick sama-sama sibuk, belom ada waktu berdua" ujar Alaia dengan cuek. "Ya sempetin kek waktu berdua gitu, Mama sama Papa udah kepengen gendong cucu juga kali" ujar Gina dengan nada sedikit memaksa. Dari nada bicara ibunya, Alaia sudah paham jika orang tuanya ingin segera menimang cucu darinya. Apalagi dirinya merupakan seorang anak tunggal, orang tuanya jelas berharap besar padanya untuk segera memiliki momongan. "Haduh Ma, Erick tuh sibuk. Sering kali dia ada operasi dadakan, dan dia harus secepet mungkin sampe di rumah sakit. Aku jadinya gak enak kalo dia harus ninggalin pasien dia" ujar Alaia mencari alasan. "Ya tapi sesekali cuti, terus honeymoon colongan gak apa-apa kali Ya" ujar Gina. "Ah udah ah. Stop omongin anak!"  **** Setelah hari yang panjang dan melelahkan, Erick akhirnya sampai juga di rumah. Ketika ia masuk ke dalam rumah, ia bisa mencium wangi masakan dari area dapur. Jika masakannya wangi seperti ini, sudah pasti yang memasak adalah Alaia. Benar saja, ketika ia mengintip dari ujung tembok, Alaia sedang asyik memasak di dapur, di bantu oleh pembantu rumah tangga mereka. Erick terdiam beberapa saat melihat Alaia. Jika di ingat lagi, Alaia sebenarnya adalah jawaban dari doa-doanya selama ini. Dulu, ketika ia baru saja patah hati dari Laras, ia tidka pernah lagi menjalin hubungan dengna wanita manapun. Ia hanya sebatas berteman dekat dengan beberapa wanita, namun tidak ada satupun yang dipacarinya. Satu kali ia berdoa agar memiliki istri yang baik, menerima dirinya apa adanya dan pandai dalam banyak. Lalu Tuhan mengirimkan Alaia padanya. Sungguh sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Menikahi wanita yang baru dikenalnya dua minggu. Belum lagi status orang tua Alaia yang terpandang. Erick seperti cari masalah ketika mengetahui siapa ayah mertuanya.  Bisa dipastikan ia akan menghilang dalam sekejap, jika sampai ia berani menyakiti putri semata wayang mertuanya ini. Erick bergegas menuju kamarnya untuk membersihkan diri dan segera makan malam dengan Alaia. "How was your day?" tanya Alaia sambil mencondongkan tubuhnya pada Erick yang tengah asyik menyantap makan malam. "Good. Kamu gimana? Tadi udah ke rumah Mama?" tanya Erick lalu menyendokkan makanannya. "Iya, cuman sebentar aja. Halam belakang sekarang udah penuh sama taneman, macme hutan aja" ujar Alaia sambil teringat akan halaman belakang rumah orang tuanya. Jika saja ayahnya yang pecinta binatang ini menaruh satu saja hewan, bisa di pastikan bahwa halaman belakang sudah seperti taman safari mini. "Siapa yang nanem macem-macem?" tanya suaminya lagi. "Siapa lagi kalo bukan Mama. Papa lebih suka pelihara hewan ketimbang tanema. Mentok-mentok, Papa nanemnya bunga Lavender aja, biar gak ada nyamuk katanya" ujar Alaia. "Tapi emang Lavender ampuh sih bikin nyamuk pergi. Dulu waktu aku kecil, Mama naro vas isinya bunga Lavender di dalem rumah. Du ruang tamu, ruang keluarga sama sekitar meja belajar aku. Lumayan, gak perlu pake obat nyamuk yang di bakar gitu" ujar Erick. "Looks like you're having an amazing childhood" ujar Alaia. "Amazing? Kecebur got gara-gara di kejar-kejar kambing kamu bilang amazing?" tanya Erick. Tawa Alaia seketika pecah ketika Erick mengucapkan kalimat itu. "Kecebut got? Gara-gara dikejar-kejar kambing?"  Alaia semakin tidak berhenti tertawa. "Waktu kecil, pas bulan puasa. Aku nginep di rumah Nenek, dulu masih agak perkampungan gitu tapi adem banget. Gak jauh dari situ, ada kandang kambing punya warga sekitar, kalo sore suka di lepas gitu biar refreshing kambingnya. Aku iseng mainan kambing sama anak-anak sekitar. Eh malah di kejar kambing. Gara-gara gak liat-liat, nyemplung ke got" ujar Erick. Alaia semakin tertawa terbahak-bahak membayangkannya. "Ya namanya juga anak laki" ujar Erick lagi. "By the way, aku belom pernah deh ke rumah sakit kamu. Kalo aku sekali-sekali kesana boleh?" tanya Alaia. "Boleh, mau kapan?" tanya Erick enteng. "Besok"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD