Pepatah Bau Bangkai

1239 Words
"Kamu sedang apa? Kenapa jadi berantakan begitu?" Terdengar suara ketus seorang pria bernama Arhan Wijaya yang terlihat sudah siap berangkat bekerja. Shania mendongak ke arah tangga yang menghubungkan dengan lantai atas, kemudian tersenyum manis saat melihat kedatangan sang suami. "Ini, Mas. Ada tikus mati. Bangkainya tertutup banyak banget barang, susah dijangkau. Tapi, kok baunya menyengat sampai depan rumah." Wanita berusia 24 tahun itu menjawab sambil melanjutkan langkahnya ke arah teras. "Makanya jaga kebersihan rumah lebih teliti lagi. Masa tikus sampai bisa masuk, kalau kamunya tidak jorok," celoteh pria itu sambil mengembuskan napas demi meyakinkan kalau udara yang dihirupnya steril dan full oksigen. "Sudah, Mas. Tapi mau gimana lagi. Bukannya tikus bisa masuk dari celah mana saja? Lagi pula aku tidak jorok juga," Shania membalas gerutu suaminya masih dengan suara lembut, meskipun ada pembelaan di dalam kalimatnya. "Ya tergantung sama yang punya rumah!" Arhan membalas ketus. "Iya. Tapi bangkai itu tidak bisa ditutup-tutupi, Mas. Ibarat pepatah, mau disimpan rapi sedemikian rupa pun, lambat laun bau bangkai itu pasti akan terkuak dan kecium juga," seloroh perempuan bertinggi badan seratus enam puluh centimeter itu masih dengan nada lembut, seperti biasanya dia berbicara sehari-hari. "Ssttt, kenapa kamu jadi berisik sekali sih? Pepatah omong kosong!" sergah Arhan merasa Shania sedang menyindirnya, meskipun jelas tidak mungkin karena itu bukanlah sifat sang istri. Nada suara ketus untuk masalah sepele memang terkadang terjadi. Tapi, lagi-lagi situasi seperti ini malah membawa arti mendalam bagi Shania—yang terbiasa menjalani hari-hari dengan komunikasi satu arah. Suaminya hanya akan bicara secukupnya dan malas menjawab kalau itu memang baginya tidak penting untuk dibahas. Pagi ini, Shania merasa cukup beruntung bisa mendapat tanggapan penuh dari suaminya, meskipun isinya hanya memojokkan sebagai istri tidak becus mengurus rumah. "Oya, genting teras belakang rumah kalau hujan bocor, Mas. Kayaknya—" "Masa tidak bisa benerin sendiri? Ada tangga, 'kan? Biasanya ada apa-apa juga kamu sendiri." Mata Arhan menoleh kesal, chat yang harusnya dia kirim terjeda hanya karena istrinya pagi ini cerewet dan banyak laporan tidak penting. "Iya, Mas. Lusa 'kan weekend, kirain Mas Arhan libur, jadi bisa bantuin aku buat betulin," sahut Shania seraya mencuci tangannya setelah membuang bangkai tadi ke tong sampah di depan rumah. Menyiapkan sarapan, memastikan peralatan makan sudah ada di meja dan menemani sang suami sampai berangkat kerja merupakan rutinitas yang tidak pernah ditinggalkan Shania sejak hari pertama menikah. Pesan dari pengasuh yayasan—tempatnya tinggal dulu, memang mewajibkan dirinya taat seperti itu pada suami yang telah memberikan kehidupan. Shania menjalaninya penuh ketulusan, sama seperti bagaimana perasaannya pada Arhan. "Weekend ini aku ada jadwal meeting ke luar kota selama dua hari. Minggu malam baru balik," jawab laki-laki anak tunggal dari pasangan Wati dan almarhum Mardi itu seraya menyendok isi menu sarapan. "Lembur lagi? Terus jadwal ke rumah ibu kapan, Mas? Udah ada setengah tahun lebih lho, Mas Arhan belum maen ke rumah ibu?" Kekecewaan jelas terpampang nyata pada wajah Shania. Mungkin kesibukan suaminya selama hampir setahun ini tidak membuatnya kesal—kalau memang berhubungan dengan dirinya sendiri. Namun, saat menyangkut kunjungan orang tua, Shania merasa sangat kecewa. "Kamu ini, tinggal nerima duit, tapi banyak omong! Aku yang kerja tanpa liburan saja tidak pernah protes. Bukannya kebalik, harusnya aku yang kecewa karena tidak ada liburan, sedangkan uang yang didapat dibagi sama kamu?" Suara Arhan pun terdengar tidak nyaman di telinga. Buru-buru Shania mengangguk demi bisa menyudahi perdebatan pagi ini. "Baik, Mas. Besok aku akan ke rumah ibu sendiri kalau begitu." "Nah, gitu 'kan enak. Ngapain punya harapan pergi sama aku, kalau kamu sendiri bisa ke sana sendirian." Mulut Arhan terdengar berdecak saat mengucapkan kata-kata andalannya. "Iya, Mas." "Itu amplop yang ada di meja kerjaku isinya uang bulanan. Kamu atur untuk semua kebutuhan rumah, kalau kurang bilang aja." "Terima kasih, Mas. Nanti aku atur data pengeluarannya di buku agenda. Mas Arhan bisa mengeceknya kapan saja." "Hm. Aku berangkat." Arhan segera beranjak dari kursi, memastikan sudah membalas semua chat yang masuk, baru kemudian memasukkan barang pintar itu ke dalam saku celana. "Iya ... ini aku baru mau berangkat. Jangan telepon terus, nanti siang saja kita ketemu. Udah dulu, aku tutup, ya." Arhan mengangkat panggilan setelah beberapa kali berdering dari dalam sakunya. Sangat jelas wajah pria itu mengukir senyuman tipis. Shania hanya bisa menatap dari arah belakang, bagaimana suara lembut itu terucap untuk seseorang yang menghubungi suaminya dengan perasaan iri. "Jangan nungguin aku pulang. Aku lembur!" toleh Arhan pada Shania. Suaranya terdengar ketus, sangat berbanding terbalik dengan nada yang diberikan suaminya pada seseorang penelepon tadi. Shania pun hanya mengangguk, rasa sakit telah membuat suaranya nyaris susah terucap. Sambil menghela napas, dia mengiringi langkah Arhan menuju ruangan depan yang mengarah ke carport. Memastikan sepatu sudah mengkilap dan siap dipakai. Dia selalu merasa puas setiap kali mampu melayani suaminya dengan kesempurnaan seperti apa yang diinginkan pria itu. Hatinya baru lega setelah Arhan meninggalkan rumah dan rasa kesepian pun segera menghinggapi hingga ke tulang belulang. Shania menjatuhkan dirinya di bangku teras, membiarkan dulu pagar rumahnya terbuka. Pagi ini cuacanya cerah lagi sejuk. Beberapa pepohonan di taman cukup rindang dan rapi. Demi menenangkan diri, Shania pun membuka iseng ponselnya. 'Hubungi aku untuk informasi lebih lengkapnya ya, Guys. Kapan lagi bisa gabung di event free bagi desainer pemula terbesar tahun ini, kalau tidak sekarang!' Shania membaca caption story dari salah satu teman. Bibirnya secerah buah cherry menyiratkan senyuman tipis. Shania hanya bisa menjadi orang yang rajin menyimak kemajuan zaman di sekitarnya, tanpa bisa ikut menjadi bagian salah satunya. Jiwa seninya meronta-ronta lagi, tetapi dia hanya bisa memendam hobi itu jauh di dalam lubuk hati. Dia ingin meraih surganya di bawah kaki sang suami, tidak lebih. Angan besar itu segera dikuburnya dalam-dalam agar tidak ada kata andai terbesit di dalam pikirannya. "Kamu tidak boleh banyak berpikir, Shan. Hidup hanya terkontrak berapa lama? Sabar aja pokoknya sama rencana Allah," hibur Shania pada jalan hidupnya. Pelipur segala keresahan hati hanya Tuhannya. Bila orang lain masih memiliki sandaran orang tua apabila mereka sedang dalam kegundahan bersama pasangan. Namun, itu tidak berlaku bagi Shania yang terlahir yatim piatu sejak kecil. Orang tuanya telah wafat saat mengalami kecelakaan dan dirinya terpaksa dirawat di yayasan karena tidak memiliki wali. Hartanya disita pihak-pihak yang semasa hidup berurusan bisnis dengan orang tuanya. Sebuah cerita dari pengasuh yang mengurus Shania, kala dia menanyakan asal usulnya. 'Kamu bukan anak haram, Sayangku Shania. Kamu punya orang tua yang baik, hanya saja Allah menjemput mereka lebih dulu. Ibumu melindungi kamu dengan nyawanya. Kamu berada di dalam dekapannya sehingga lukamu tidak seserius beliau.' Shania masih mengingat riwayat hidup dan kronologi kecelakaan itu. Beberapa potongan berita pun dia pelajari dan memang dirinya lahir dari sepasang orang baik, meskipun hanya mengantarkan hidupnya sampai usia dua tahun saja. "Ya Allah, aku kangen ayah dan ibu. Begitu melihat foto mereka saat mendekapku dalam kasih sayang dan cinta, rasanya rindu itu kian menjadi-jadi," ucap Shania pelan, wajahnya menengadah ke arah langit. "Kalau memang aku tidak diperbolehkan mengharapkan kasih sayang selain dariMu saja, maka aku ikhlas. Yang penting jangan Engkau yang berpaling dariku, Ya Allah." Dering ponsel yang diletakkan dalam pengakuan membuyarkan lamunan Shania akan wajah-wajah dalam foto keluarganya. Nama suaminya tertera di bagian layar depan yang mulai redup kusam di makan usia. Buru-buru dia bangkit tegap dan bersiap untuk mengangkat. "Assalamualaikum, Mas." Jantung Shania selalu berdegup kencang setiap mendapat pesan ataupun panggilan dari sang suami. "Ini nomor istrinya, ya?" Wajah Shania pun berubah pucat pasi, bayangan mengenai hal-hal buruk dengan keadaan suaminya pun langsung memenuhi alam pikiran, karena suara yang menelpon seorang wanita, bukan suaminya. "I-iya ... ini siapa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD