DUA : Five Percent For Doubt

1677 Words
Aku masuk ke ruangan seminar sembari menenteng tumbler kopi kenamaan yang ku koleksi tiap musim di tangan kiri, dan menjinjing tas di kanan. Sepatuku berkelotak, memang sengaja agar semua orang memandangku dan menilai. Mila memberi sinyal dengan melambaikan tangan untuk duduk disebelahnya, tempat strategis yang bukan di barisan depan karena bisa dipastikan Arya akan duduk di sana, jadi aku bisa pas memandangnya. Aku berjalan ke arah Mila dan duduk di kursi yang lumayan jauh dari Chandra dn Tio. Aku tahu mereka merasa tidak enak setelah insiden di halte tadi, tapi dadaku sudah merasa panas mendengar fakta yang diucapkan oleh kedua temanku barusan. Aku tahu wanita itu terlihat cantik meski dari jarak yang tidak bisa disebut dekat. Tubuhnya langsing semampai, dengan bentuk tubuh ideal bagai influencer Yoga sekelas Ashley Walters dengan b****g kencang, d**a penuh, dan didukung dengan rambut kecoklatan bergelombang sempurna seperti hasil salon beberapa menit sebelum berangkat ke seminar. Huh, beginikah efek putus itu? We put ourselves into block A and the other in B, perang dingin seperti masa ABG dulu. Tapi kan memang aku tidak mungkin ber haha-hihi ria ketika bertemu dengan Arya nanti setelah aku dibuat menangis tak berkesudahan selama seminggu. Sakitnya masih terasa, terlebih ketika melihat dia bersama perempuan tadi yang menepuk lengan Arya yang dibalut kemeja biru laut. Akulah yang membelikan kemeja itu di Ralph Lauren saat bonusku cair dan sekarang dikenakannya, sebenarnya dia menantangku atau apa? "Wow, lo abis dari toilet apa salon?" tanya Mila yang fokus ke penampilanku, sedikit kaget. Aku sedikit tersentak karena pertanyaan Mila dan pikiranku tentang si kemeja, "mana ada salon buka jam segini?" Mila mengecek Patek Philippe di tangannya dan mangangguk. "Kalo udah menyangkut harga diri, gue bisa bertransformasi jadi lebih baik dari biasanya." Jawabku santai sembari duduk dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Arya belum masuk ke sini, tadi gue liat dia ngobrol sama orang di deket Mushola." "Sama cewek pastinya." "Sama bapak-bapak sih. Ya… meski emang ada cewek disebelahnya. Jadi ini toh pemicunya lo perang dingin sama Chandra dan Tio. Ada si cewek yang buat lo jadi sensi sama appearance." "Lo udah liat kan gimana modelan tuh cewek? Gue nggak bisa kalah, lah." "Bi, gue yakin itu cuma temen kantor doang." Aku mau mendengus kasar, sudah seperti kuda pacuan yang dipecut untuk bertanding. "Temen kantor nggak semesra itu." "Mesra gimana sih? Pelukan? Ciuman? Nggak kan?" "Masa dia pegang-pegang lengan Arya?" "Lumrah lah, kita aja suka peluk-peluk Candra, kan?" "Tapi dia kan nggak demen cewek, Arya straight! Beda kali, Mils." "Terserah lo deh, tapi tolong bisa nggak kemeja tuh kancing ditutup aja satu biji, risih gue liatnya. Beha lo bisa keliatan dan buat lo nggak enak banget buat diliat. Cantik bukan berarti murahan." Deep. "Kebuka, bukan gue buka." Aku mengancingi kemejaku dengan muka ditekuk. Oke tak sepenuhnya benar sih, karena aku merasa kalau mungkin Arya enggan bertahan karena penambilanku biasa-biasa saja. Tidak seperti Jenner, mungkin. "Lo nggak mau ngambil pastry di depan dulu?" Mila bangkit dari kursi, merasa sedikit bosan karena seminar baru dimulai lima belas menit lagi. "Ambilin dong." "Manja banget! Eh laki lo tuh, eh mantan laki." Deg. Aku belum siap bertatap mata dengan Arya lagi, aku belum siap melihat orang yang sudah memporak-porandakan perasaanku belakangan ini. Aku duduk tegap menghadap depan sedangkan jantungku sudah bergemuruh seperti bedug adzan tak keruan. "Bi…" Suara lirih itu yang biasanya minta dibuatkan makanan. Aku menoleh dan tersenyum manis seakan seluruh pesonaku yang dulu mungkin pernah disukai Arya, tersalur di lesung pipi. "Oh, baru dateng, Ya?" Kataku. Oh god, bagaimana ia bisa terlihat sangat tampan tanpa senyumnya yang mengembang, tanpa kerlingan jahil nan cerdas itu, dan tanpa aku? Apakah Arya sesungguhnya setampan dan semenarik ini? Jauh lebih menarik dari yang pernah aku tahu? Atau ini hanyalah efek karena ia bukan lagi milikku? Sial! "Sama temen kantor. Kamu… berdua aja sama Mila?" Suaranya, ya Tuhan. Aku rindu. "Sama Candra, ada Tio juga." Jawabku sesantai mungkin padahal aku sudah ingin menghambur ke pelukannya. “Bi… mau nggak ki—" "Arya, ada Pak Danu nyari kamu.“ Ucapan Arya terputus. Bagus, si cewek tadi yang ternyata lebih cantik dari dugaanku muncul begitu saja dengan senyum terkembang dengan gigi hasil veneer, putih tak alami. “Oh… iya.” Arya menatapku tak berkata apa-apa, kemudian pergi. “Arya!” Mila memanggil Arya yang sudah diambang pintu, “Buat kali ini, selera lo payah.” Teriaknya. Aku terbelalak dan memukul lengan Mila. Beberapa orang menengokkan kepala mereka penasaran, sedangkan Arya yang kebingungan pergi setelah diseret wanita dengan veneer itu. “Masih mau croissant sama panada?” tanya Mila. Chandra dan Tio, yang langsung menghampiri mejaku memandang Mila tak percaya. “Sadis lo, Mils.” “Oke, Croissant sama panada.” Mila berjalan ke luar menuju meja prasmanan yang berisi coffee break pagi serta sarapan pastry. “Buat masalah sama Mila, kelar urusannya.” Tio menarik kursi di sebelahku, masih takjub. “That’s how old money works. Lo macem-macem, kelar idup lo, out of the circle. Ciao, sayonara.” “Nggak, Can. That’s how a friend can do.” Jawabku sembari tersenyum lega. ***   ”Human is scary.” Kata Mila satu waktu. “Dalam sebuah hubungan percintaan, mereka bisa tiba-tiba berhenti mencintai, berhenti menepati janji untuk selalu bersama sampai akhir hayat, dan pergi dari hidup lo begitu aja. Those feeling fades away in a second, not like a scar he left behind.” Aku termenung saat itu. Mila, boleh dibilang an alpha woman di kehidupan sosialnya, menyampaikan sakit hatinya di Itacho selepas meeting seminggu setelah ia putus dengan Bima. Sudah tidak ada air mata yang tinggal, hanya ada kekecewaan teramat sangat. Dulu aku hanya bisa memeluknya dan menghibur Mila dengan mengajaknya makan, shopping, mengobrol ringan, sampai mengajaknya cabut satu hari untuk jalan-jalan ke Taman Safari. Dan kini aku sadar, harusnya aku juga melakukan apa yang Mila lakukan saat ini pada Arya, konfrontasi. Saat itu Arya hanya diam karena bingung, dan kemudian pergi. Sedangkan aku, tertawa meski hanya sesaat karena… ya, benar seperti apa yang Mila sampaikan. Those feeling fades away, not like a scar he left behind. Mungkin bagi Arya, semuanya telah berakhir, namun bagiku, aku masih bisa menemukan kenangan tentang Arya di tiap sudut mataku. Pertemuan pertama kami di lorong toilet Bursa Efek, pertemuan kedua di Rumah Makan Sederhana untuk halal bihalal para kolega, dan berlanjut ke Sushi Tei untuk makan malam berdua. Dan di sanalah Arya memberanikan diri untuk menembakku. Saat aku ingin menyuapkan makanan ke mulut, sungguh bukan tampilan terbaik dengan dengan aku yang mangap dan melongo tak percaya. Arya, menanyakan padaku apakah aku sudah memiliki kekasih, dan bila belum, apakah ia bisa mengisi kekosongan posisi tersebut. Itu beberapa tahun lalu, dan sampai seperti malam ini, kenangan itu masih teringat jelas. Saat ia mengatakan jika kami baiknya harus jalan sendiri-sendiri. Ya betul, sekarang mobilku sedang melaju dikemacetan Tendean-Cawang bersama Tio yang ikut nebeng karena motornya masuk bengkel. “Yo, apa alasan lo siap buat nikah?” tanyaku sedikit penasaran. “Dewi alasannya.” Katanya enteng. Aku menoleh tak mengerti, “maksudnya?” “Ya, Dewi alasan gue buat siap nikah. Gue cinta sama dia, dia juga cinta sama gue. Kalo bukan sama Dewi, kayaknya sampe sekarang gue juga belum siap, Bi.” “Lo nggak takut kalo tiba-tiba nanti Dewi berubah atau bahkan elo yang berubah dan hubungan pernikahan kalian jadi berantakan?” “Ya, gue yakin pasti masalah akan dateng karena mana ada hubungan yang langgeng-langgeng aja tanpa ada masalah di dalamnya, kalau itu sih bullshit. Tapi yang penting bagi gue, selama Dewi cinta sama gue dan dia mau bertahan untuk hubungan kami, ya gue akan perjuangin dia.” “Dan kalo nggak?” aku menatap Tio, macem membuat mobil berhenti sejenak. “Gue tetep akan berjuang buat calon anak gue nanti.” Tio yang ku kenal terlihat berbeda. Satu sisi yang aku tak pernah tahu ada dalam dirinya kini terlihat jelas. Yang biasanya bisa gila bersama Candra dan genk rokoknya itu, kini mengatakan hal-hal yang membuatku diam dan kembali me-review bagaimana hubunganku dan Arya dulu. Entah aku atau Arya yang tidak mau memperjuangkan hubungan kami dulu atau bahkan kami berdua yang enggan? Aku mengganti gigi dan mobil kembali jalan. “Tapi jangan sama ratain semua hubungan dengan gue dan Dewi, Bi. Contoh aja Mila, beda kasusnya dengan gue. Candra juga, dan elo. Bukan berarti dengan salah satu dari kalian mau tetap berjuang itu satu keputusan yang paling baik. Ya, mungkin kasarnya memang bukan jodoh. Dan mundur adalah jalan terbaik, who knows.” “Menurut lo kalo cewek yang belum siap buat nikah gimana, Yo? Insecure?” “Wajar, tiap orang punya porsi ambisi masing-masing. Gue punya ambisi buat nikahin Dewi, Mila punya ambisi buat kerja keras di kantor buat lepasin image old money with their privillage, Chandra punya ambisi buat nikah sama cowok suatu saat nanti, dan elo punya ambisi buat karir lo, yang emang gue akuin lo lagi ada di titik bagus untuk berkembang. Ada yang salah? Kalo iya, ya memang beda pandangan aja.” Aku tergugu. “Awas Stasiun Cawang kelewatan, jangan kebanyakan bengong lo, Cha.” Tio mengingatkanku. “Kenapa lo naik kereta sih? Bukannya lo suka ngeluh kalo naik kereta itu padet? Padahal cuma ke Poltangan doang mending naik gojek.” “Di kereta gue bisa liat banyak orang, jadi nggak monoton banget hidup gue. Depan dikit lagi.” “Alasan apaan kayak gitu.” “Ya, lo harus coba sekali-kali.” Mobil menepi, Tio mengambil tasnya di belakang, “Thanks, Cha. Hati-hati di jalan.” Dan sebelum Tio menutup pintu, aku mengulurkan kepala. “Yang langgeng sama Dewi, ya!” kataku yang membuat Tio tersenyum. “Gue doain yang terbaik buat lo juga, udah sana buruan balik keburu diklaksonin mobil lain.” Pintu ditutup. Aku memandang Punggung Tio yang menjauh, kemudian melajukan mobil kembali. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Mama dan Ayah. Bahwa, anaknya ini sudah tidak lagi bersama Arya, si mantu idaman. Ku yakin mereka pasti kecewa, tapi setidaknya satu bebanku akan berkurang.    -Continue-          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD