Flashback end
Seketika dinginnya AC makin membuat hati Biru terasa panas. Dadanya bergemuruh karena terlalu banyak pengkhianatan yang dialaminya, teman karib bahkan mantan suami. Jika saja membunuh tak berdosa, maka sudah tentu mereka yang menghancurkan masa mudanya sudah dimusnahkannya saat ini juga.
Tak ada ucapan yang keluar dari bibir mungilnya, tapi mata tak bisa berdusta, mendung di matanya jelas tampak terlihat oleh Karin.
"Aku berani bersumpah, itulah yang sebenarnya Ru!" Karin memulai percakapan dengan rasa bersalah yang teramat dalam. Bersumpahpun tak ada gunanya, Biru tak mungkin percaya begitu saja apa yang diucapkannya.
Sekali lagi Biru tak menjawab, ia alihkan pandangannya ke arah jalan, berharap ada jawaban kenapa ia yang mesti terluka.
"Lalu foto-fotomu di kampus, siapa-?"
"Tentu saja Dhafin, ia bilang bahwa aku terlambat untuk mengikuti permainannya. Maka, ia pun menyingkirkanku agar tak dekat denganmu!" potong Karin yang mengerti arah tujuan Biru.
"Aku tau Kak Dhafin b******k, tapi ia takkan sehina itu!" bantah Biru.
"Kau takkan mungkin percaya dengan yang kukatakan. Percuma!" lirih Karin.
"Kau ingin aku percaya! Tapi, kau sendiri yang mengkhianati persahabatan kita. Aku … aku … aku membencimu hingga ke ubun-ubun, jika aku bukan dokter mungkin aku sudah menyumpahimu dengan seluruh perasaanku, kau paham?” bentak Biru.
Karin tak mampu menjawab perkataan Biru, hantinya sakit akan tetapi ebih sakit jika ia di posisi Biru.
“Menangislah sepuas hatimu, aku takkan memaafkanmu, aku membencimu!” kali ini Biru berteriak dengan keras hingga urat leher jelas terlihat di leher jenjangnya. Tak pernah ia semarah itu, darahnya telah mendidih hingga ke ubun-ubun.
“Baiklah, benci aku sesuka hatimu. Jika sudah reda, maka aku siap kembali untuk meminta maaf terhadapmu. Hingga kini aku masih menganggapmu temanku, teman yang paling ku sayangi hingga akhir hayatku!” tanpa melihat ke arah Biru yang sedang berdiri membelakanginya, dengan berat hati ia langkahkan kakinya keluar dari ruangan.
Sementara Biru yang sedari menahan tangis kini tak bisa menahannya lagi, air mata itu jatuh dari sudut matanya, jatuh membasahi pipinya yang putih. Berteriakpun percuma, ia hanya bisa menangis sesenggukkan di pojok ruangan dan tak ingin ada yang menyadari itu.
“Aku bodoh, aku bodoh, aku bodoh! Kenapa aku begitu mudah terpedaya akan rayuan Dhafin sialan itu! Arrkkkkh!” ucap Biru yang masih dalam keadaan menangis. Cukup lama ia menyesali masa mudanya yang terbuang percuma.
“Aku gak boleh terpuruk begini, aku gak boleh terlalu larut dalam penyesalan ini. Biarlah semua ini aku jadikan pelajaran hidup yang berharga agar tak terlalu mudah untuk percaya pada orang lain,” ujar Biru sambil meremas ujung bajunya. Ia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya yang sembab dan kembali memakai polesan make up untuk memudarkan sisa-sisa kesedihan yang tertinggal di wajahnya.
Di tempat lain.
“Gak ngantor hari ini Lang?” tanya Mama Dinar memulai pembicaraan.
“Huft!”
“Kenapa? Ada masalah? Cerita sama Mama?” ucap Mama Dinar kembali.
“Gak tau sih Ma, tapi rasanya ada yang salah! Sepertinya kemaren Langit terlalu kasar sama Biru, tapi, entahlah!” jawab Langit sekenanya.
“Emang ada masalah apa sama Biru? Mama kemaren gak pengen nanya karena takut kamu marah!” balas Mama Dinar.
“Gak tau sih rasanya pengen marah aja sama Biru, padahal menurut Langit dia lucu!” ucap Langit yang tanpa sadar tersenyum ketika mengingat Biru.
“Kamu suka Biru? Entar biar Mama yang ngomong sama Bunda Alya biar kalian bisa bertemu lagi!” timpal Mama Dinar.
“Nooooo! Mama pikir Langit anak kecil? Langit bisa mengurus masalah ini sendiri Ma!” elak Langit.
“Tau gak sih Biru tuh cinta pertama kamu?” celetuk Mama Dinar
“Jiah Mama ngarang pake banget deh!”
“Bener lho! Waktu itu kamu masih kecil banget, jadi gakkan ingat! Kamu sendiri lho yang bilang ama kita semua!” cerocos Mama Dinar.
“Ih, makanya coba ingat-ingat lagi! Ada Biru di sudut ingatan yang paling dalam!” bisik Mama Dinar.
“Apaan sih Ma?”
“Jadi, karena ini kamu gak ngantor? Gara-gara lagi kangen Biru?” celetuk Mama Dinar.
“Ya gak lah Ma! Kebetulan nanti siang ada rapat sama perusahaan Double B, jadi agak siangan aja ngantor! Lagi pula sesekali Langit gak datangkan ada Reno yang handle Ma.” Di dalam hatinya ia penasaran dengan apa yang di sebutkan mamanya tentang Biru dan dirinya, akan tetapi terlalu gengsi untuk bertanya.
Di kantin rumah sakit.
“Woi, ngelamun Neng! Ada setan naksir, kelar idup lo!” ucap Keyva yang berusaha mengejutkan Biru yang sedang duduk termenung seorang diri.
“Ya ampun Kak, bisa gak datang tuh baik-baik aja! Gak perlu ngejutin gitu! Kalau aku jantungan gimana?” bentak Biru.
“Kamu kenapa? Habis nangis?” tanya Keyva yang menyadari wajah temannya yang walau sudah dipole make up, akan tetapi, masih terlihat jelas raut wajah sendunya.
“Sembarangan!” ketus Biru.
“Cerita sama aku, kamu piker aku gak bisa lihat dari mata kamu!” balas Keyva sambil menggenggam tangan Biru.
“Ok, aku nyerah! Yak, aku habis nangis. Tapi, maaf aku belum siap cerita,” sanggah Biru.
“Ok! Seniormu ini siap kapanpun untuk mendengarkan adik tingkatku yang paling cantik ini!” sambung Keyva yang berusaha menghargai privasi Biru dengan mengajaknya bercanda.
“Thanks senior!” balas Biru.
“Tau gak, aku tuh kemaren lihat Cio. Sumpah, dia makin ganteng. Akujadi lupa sama anak dan suami di rumah! Hu …hu … hu!”
“Senior terhormat, jangan lupain bang Dirga. Aku laporin, hm … kelar rumah tanggamu!” kali ini Biru berusaha untuk tertawa walau pedih itu masih ada.
“Jangan deng! Mampus aku kalau ditalak sama suami aku.”
Eghem …
Suara deheman seorang pria menghentikan suara tawa mereka.
“Aduh, aku lupa handphoneku ketinggalan di ruangan! Aku pergi dulu ya Biru-biru!” tanpa aba-aba Keyva meninggalkan Biru dengan serorang pria yang tak lain adalah Cio.
“Lho Kak!”teriak Biru, akan tetapi tubuh gempal Keyva sudah tak terlihat lagi.
“Aku ganggu ya?” ucap Cio yang berusaha menyapa Biru, walaupun terlihat Biru enggan untuk berbicara dengannya.
“Tadi aku bertemu Karin,” sambung Cio lagi. “Boleh duduk gak?”
Sambil menyeruput lemon teanya Biru hanya memberi kode dengan mengangkat kedua bahunya.
“Gak capek ngediamin aku? Gak capek menghindar dari aku terus?” tanya Cio lagi sambil duduk berhadapan dengan Biru.
“Udah selesai praktek?” tanya Cio lagi, pantang menyerah walaupun tak diacuhkan Biru.
“Bisa diam?” jawab Biru.
“O … Ok!”
Mereka hanya duduk tanpa berbicara, Cio yang tak mengalihkan pandangannya pada Biru, sedang Biru hanya sesekali melirik Cio dari sudut matanya.
Eghem! Suara deheman Cio kali ini mengisyaratkan dirinya untuk pergi karena memang sedari tadi Biru yang tak mengacuhkan.
“Baiklah, jika itu maumu! Aku pergi, akan tetapi, jika kamu ingin melihat aku, lihat saja. Aku takkan pernah menghindarimu! Aku harap kamu gakkan nangis lagi setelah ini! Aku ingin kamu tertawa walau kamu gak bersama aku. Kejadian dulu kesalahan aku, kamu begini karena aku memilih untuk menyerah mempaertahankan hubungan kita. Saat itu aku lemah, andai aku bisa perjuangin kamu, maka kamu gakkan pernah merasakan sakitnya dikhiananti. Aku minta maaf!” ucap Cio yang kemudian ingin pergi meninggalkan Biru.
“Tunggu!” ucap Biru, kemudian kembali hening.
“Bukan salah kamu! Aku yang gak percaya sama kamu!” sambung Biru.
Senyum manis terkembang dari wajah Cio, “ apakah, kamu memaafkan aku?
“Aku yang harusnya minta maaf!” jawab Biru.
“Bisakah kita kembali memulainya?” pinta Cio.
“Maaf! Jika itu yang kamu inginkan!” ucap Biru dengan menggelengkan kepalanya.