Bab 8

1421 Words
Pukul sepuluh pagi Thevy mendapat kabar jika Mada beserta kedua orang tuanya berkunjung ke rumah Thevy. Thevy sendiri masih mengurung diri di kamar. Keluarganya menyarankan kepada Thevy untuk tidak menemui Mada. Thevy pun merasa tidak ingin menemui pria itu. Memikirkan Mada menikah dengan perempuan lain di hari pernikahan mereka saja sudah membuat Thevy sakit hati. Thevy tidak akan kuat jika harus melihat wajah pria itu. Meskipun begitu, masih saja ada bagian Thevy di mana ia menginginkan jika apa pun yang terjadi kemarin adalah salah paham. Thevy ingin semuanya kembali baik-baik saja. Thevy merasa bodoh. “Kak Thevy pengen turun ketemu mereka?” tanya Sera yang saat ini berada di kamarnya. Adiknya itu dengan setia menemani Thevy yang sedang tidak baik-baik saja. Thevy diam tidak menjawab pertanyaan Sera. Thevy tidak tahu harus menjawab apa. “Jangan beri kepuasan buat Kak Mada untuk melihat Kak Thevy,” kata Sera ketika Thevy tak kunjung berbicara. “Apa Ibu sama Ayah baik-baik saja?” tanya Thevy menatap Sera dengan tatapan penuh khawatir. Kini Thevy mulai mengkhawatirkan kedua orang tuanya. Karena perbuatan Mada kemarin, kedua orang tua Thevy jadi terluka. Mereka berdua sakit hati karena anak perempuannya diperlakukan seperti sampah. Thevy takut jika kedua orang tuanya menghajar Mada dan kedua orang tuanya. Meskipun mereka pantas mendapatkannya, tapi Thevy tidak ingin hal itu terjadi. Sera menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Thevy. “Iya, Kak Thevy jangan khawatir.” “Aku mau ambil minum,” kata Thevy seraya bangkit dari tempat tidur. “Biar aku ambilin, Kak.” “Nggak usah. Biar aku ambil sendiri,” ucap Thevy berjalan meninggalkan kamarnya. Thevy turun ke lantai satu. Lalu ia berjalan menuju dapur. Thevy masih belum makan apa-apa sejak kemarin. Hal itu membuat tubuhnya terasa lemas. Tadi, Ibunya sempat membuatkan bubur untuk Thevy, tapi Thevy masih belum memakannya sampai sekarang. Thevy sungguh kehilangan napsu makan. Samar-samar Thevy mendengar suara orang berbicara. Bahkan, Thevy dapat mendengar isak tangis dari arah ruang tamu. Tampaknya itu suara tangis Ibunya. Sontak saja jantung Thevy terasa seperti diremas. Mendengar tangisan Ibunya membuat rasa sakit Thevy berlipat ganda. Kini Thevy berbalik dan berjalan mendekat ke ruang tamu. Langkah kaki Thevy semakin lama semakin berat ketika ia dapat mendengar suara Mada. Thevy merasa takut bertemu dengan pria itu. Hatinya pun terasa sakit. “Mada mohon, izinkan Mada bertemu dengan Thevy. Mada harus menjelaskan semuanya ke Thevy. Mada juga ingin meminta maaf kepada Thevy secara langsung,” kata Mada memelas. “Kamu mau bilang apa ke Thevy?” bentak Ayah Thevy marah. “Kamu pikir permintaan maaf kamu bisa bikin Thevy baik-baik saja? Kamu sudah menyakiti Thevy!” “Kami benar-benar minta maaf, Pak,” ucap seorang pria bersuara berat. Tampaknya itu adalah Papanya Mada. “Kami akan mengganti semua biaya yang Anda keluarkan untuk acara pernikahan kemarin,” kata wanita yang sepertinya adalah Mama Mada. “Kami benar-benar minta maaf.” “Saya tidak peduli dengan hal-hal itu,” kata Ayah Thevy dengan suara bergetar menahan sedih dan marah. “Anak Anda sudah bikin Thevy sakit hati! Siapa yang akan mengganti hati anak saya yang dia sakiti? Seharusnya kemarin adalah hari bahagia Thevy, tapi kalian menghancurkannya!” Air mata Thevy perlahan turun membasahi pipinya. Buru-buru Thevy menghapus air mata itu. Lalu, dengan tarikan napas dalam Thevy berjalan memasuki ruang tamu. “Thevy,” panggil Mada dengan suara serak. Thevy hanya melirik sekilas pria itu. “Thevy, maafin aku,” kata Mada seraya bangkit dari duduknya, hendak menghampiri Thevy. “Aku akan jelasin semuanya ke kamu.” “Nggak perlu,” balas Thevy seraya melepaskan cincin pemberian Mada yang berada di jari manisnya. “Jangan muncul lagi di hadapanku atau keluargaku,” kata Thevy melemparkan cincin pemberian Mada itu ke arah Mada. Lalu, Thevy menatap lekat-lekat manik mata pria yang sangat ia cintai itu. “Dan aku nggak akan pernah maafin kamu. Kamu nggak hanya nyakitin aku, kamu juga nyakitin keluargaku.” Tatapan Thevy berpindah kepada kedua orang tua Mada. “Silakan bawa anak Anda pulang, sebelum Thevy benar-benar menghajar anak Anda yang berengsek ini.” Setelah mengucapkan itu Thevy berbalik dan berjalan meninggalkan ruang tamu. Air mata Thevy kembali berjatuhan di kedua pipinya. Ternyata, tidak mudah untuk berlagak baik-baik saja di hadapan Mada. Thevy benar-benar hancur. *** “Kak, makan,” kata Sera yang berada di ambang pintu kamar Thevy. Thevy menoleh ke arah tersebut. “Nanti,” katanya. “Kaka belum makan dari kemarin,” ucap Sera. Thevy menghela napas dalam lalu kembali menatap keluar jendela kamarnya. “Nanti,” katanya mengulangi jawabannya tadi. “Kalau Kak Thevy sakit nanti Ibu dan Ayah yang bakal repot. Mereka bakal tambah sedih lagi. Malah, mereka juga bisa ikut sakit,” ujar Sera menegur Thevy. Memang, yang saat ini sedang terluka bukan hanya Thevy. Kedua orang tuanya pun juga terluka. Bahkan adiknya pun juga. Tapi, Thevy memang sedang tidak ingin makan. Thevy tidak ingin melakukan apa-apa. Bahkan, Thevy tidak keberatan untuk jatuh sakit. Thevy seakan sudah kehilangan tujuan untuk hidup. Namun, jika Thevy bersikap seperti ini, orang tuanya pasti akan semakin menderita. Thevy tidak ingin menjadi beban. “Iya,” balas Thevy seraya bangkit dari duduk lalu berjalan ke arah pintu. “Kak Thevy jangan nyiksa diri sendiri hanya karena si berengsek itu,” kata Sera lirih. “Karena yang seharusnya tersiksa itu Kak Mada, bukan Kak Thevy.” Thevy tersenyum lemah. “Iya,” balasnya singkat. Lalu kedua kakak beradik itu turun ke ruang makan untuk makan malam. “Tadi kita dikasih ikan bakar sama Om Ardi. Kamu suka banget kan sama ikan bakar?” kata Ibunya kepada Thevy. Thevy menganggukkan kepala. “Iya, Bu,” jawabnya lemah. “Kamu harus banyak makan, Nak,” kata Ibunya lagi menatap sedih ke arah Thevy. “Jangan sakit, ya. Kamu nggak boleh sakit.” Melihat ekspresi sedih pada wajah ibunya membuat hati Thevy teriris. Thevy merasa harus terlihat baik-baik saja di hadapan kedua orang tuanya demi agar mereka tenang. Tapi, Thevy sendiri tidak tahu bagaimana caranya untuk baik-baik saja di saat dirinya sedang sangat menderita. Thevy mengangguk dan tersenyum lemah. Ibunya mengambilkan nasi dan menyodorkan satu ekor ikan bakar utuh yang berukuran cukup besar. Ikan bakar itu tampak sangat menggoda. Tapi, tetap saja They merasa tidak napsu untuk memakannya. “Besok aku balik ke Semarang,” kata Sera yang terlihat ogah-ogahan menyendok nasi ke dalam mulutnya. Sepertinya bukan hanya Thevy saja yang tidak napsu makan. Adiknya pun sama. Bahkan, mungkin kedua orang tuanya pun juga. “Naik apa?” tanya Thevy yang sejak tadi belum menyendok nasi ke dalam mulutnya. “Kereta,” jawab Sera. “Besok biar diantar Ayah sampai stasiun,” kata Ibunya. “Nggak perlu, Bu. Sera bisa naik bus atau naik ojek online.” “Ayah antar,” ucap Ayahnya yang sedang memasuki ruang makan. “Berangkat jam berapa?” “Jam sembilan,” kata Sera. “Ayah nggak kerja?” “Nganterin kamu bentar nggak apa-apa,” ucap Ayahnya. Lalu Ayahnya menatap ke arah Thevy. “Dimakan, Thev.” Thevy mengangguk. “Iya, Yah,” jawabnya lemah seraya memaksa masuk sendok yang berisi nasi ke dalam mulutnya. “Besok kamu ikut Ayah nganterin Sera ke stasiun ya, Thev? Daripada di rumah.” Thevy diam sejenak. Sebenarnya Thevy masih tidak ingin keluar rumah. Bahkan keluar kamar saja Thevy merasa tidak bertenaga. Tapi, tampaknya tidak ada salahnya untuk sekadar ikut mengantar Sera ke stasiun. Toh Thevy hanya perlu duduk manis di mobil. Thevy tersenyum lalu mengangguk. “Iya, Yah.” “Ibu juga ikut aja,” kata Sera kepada Ibunya. “Ibu besok pagi harus ke pasar.” “Besok Ibu udah mulai jualan lagi?” tanya Sera. Ibu Thevy memang seorang pedagang sembako di pasar. Sedangkan Ayahnya adalah seorang dosen di salah satu universitas swasta di Surabaya. “Iya,” kata Ibunya. “Kalau kelamaan tutup nanti pembelinya keburu kabur,” candanya. “Ah, iya juga ya,” balas Sera terkekeh pelan. “Dihabiskan Thev makanannya,” kata Ayahnya menatap Thevy. Thevy mengangguk lalu kembali menyendok nasi dan memakannya. “Makan yang banyak,” timpal Ibunya. “Besok mau Ibu masakin ayam goreng sama sambal?” “Nggak perlu, Bu,” kata Thevy. “Besok Ayah beliin iga bakar,” ucap Ayahnya. “Atau mau makan ayam bakar di restoran favorit kamu?” “Nggak usah, Yah,” ucap Thevy. “Lalu mau dimasakin apa besok?” “Terserah Ibu aja,” jawab Thevy. Lalu, Thevy mendorong piring menjauh darinya. “Thevy udah kenyang. Thevy naik ke kamar, ya. Thevy ngantuk.” Setelah mengucapkan itu Thevy lalu bangkit dari duduk dan berjalan meninggalkan ruang makan menuju kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD