Bab 1 - Pressure

1198 Words
Ekspetasi tentang kelulusannya dari Intitut Teknologi Bandung hancur begitu saja setelah Ghibran Naufal tahu bagaimana sulitnya mencari pekerjaan. Padahal, sejak masuk ke Universitas tersebut, Ghibran sudah mengatur sedemikian rupa masa depannya. Ghibran harus mendapatkan pekerjaan sebagai desainer interior. Ia ingin semua yang ia pelajari serta kecintaannya terhadap dunia desain bisa terpakai dan ia gunakan, itu saja. Tapi nyataya, setelah satu tahun lulus, Ghibran tidak juga mendapatkan pekerjaan menjadi seorang desainer interior. Ia juga sudah menyebarkan jasa ‘mandiri’ nya diberbagai macam media sosial, namun mendapatkan klien memang tidak semudah itu jika kalian adalah seorang pemula. Teman-temannya yang lain banyak yang sudah bekerja, hanya saja pekerjaan mereka semua melenceng dari jurusan ketika kuliah. Yang di mana, Ghibran tidak menginginkan pekerjaan lain selain sebagai desainer interior. Karena terlalu kekeuh dengan apa yang ia inginkan, orang tua Ghibran tidak habis pikir dengannya. Ibunya mulai sering menyindirnya karena ia tidak juga mendapatkan pekerjaan serta penghasilan. Sampai-sampai, perkataan tidak mengenakan sering sekali keluar dari mulut ibunya. Membandingkannya dengan Adnan, adik angkatnya yang berhasil masuk Universitas Indonesia jurusan kedokteran. Ghibran memijit keningnya, ia memandangi laptopnya yang ia beli susah payah dengan menabung itu dengan tatapan bingung. Mengapa tidak ada satu pun perusahaan yang memanggilnya untuk melakukan tes atau pun interview, sih? Apa ijazah ITB nya tidak berguna dan tidak membuat perusahaan tertarik padanya?! Karena sejak tadi pagi Ghibran belum keluar dari kamarnya, perutnya keroncongan. Sebenarnya, bukan tanpa alasan ia tidak mau keluar dari kamar. Ia malas sekali meladeni ibunya yang terus mengocehinya dengan kata-kata yang menyakitkan. Seakan-akan, ia tidak pantas berada di rumah itu dan tidak pantas memakan apa pun yang ada di rumah itu sebelum mendapatkan pekerjaan. Tidak punya pilihan, Ghibran akhirnya keluar dari kamarnya tepat pukul tiga sore. Ia melewatkan sarapan dan sengaja mengundur makan siangnya. Kantung matanya juga terlihat menggelap karena terus menerus dilanda kesusahan tidur memikirkan nasibnya. Ibunya, yang saat itu tengah menonton televisi menatapnya dengan tatapan sebal. “Jam segini kok baru keluar sih, a.” “Iya bu, abis begadang cari kerja,” jawab Ghibran dengan jujur, ia berjalan menuju meja makan dan mengambil nasi serta lauk. Ibunya menghampirinya, “Kerja itu kalau baru lulus mah apa aja, mau jadi bagian keuangan kek, pemasaran kek, nggak masalah a. Yang penting kamu dapet penghasilan dan pengalaman dulu.” Ghibran mulai malas ketika ibunya membahas soal itu. Padahal sudah berkali-kali ia mengatakan bahwa ia ingin pekerjaannya sesuai dengan apa yang ia sukai dan ia pelajari. “Iya bu, aa juga lagi usaha cari,” katanya, sekedar menenangkan ibunya agar tidak berbicara lagi. “Ghibran, jangan sampai semua yang ibu sama bapak lakukan ke kamu itu sia-sia. Kamu itu lulusan ITB, Ghib! Emangnya kamu pikir ibu nggak malu sama teman-teman ibu? Anaknya udah pada kerja di perusahaan besar, nggak ada tuh yang milih- milih kerjaan kayak kamu.” Selera makan Ghibran hampir saja hilang karena lagi-lagi, ibunya membahas soal anak-anak temannya yang lebih sukses dari pada dirinya walaupun tidka masuk ke universitas favorit. Namun karena lapar, Ghibran tetap bertahan di meja makan. Ia tidak ingin lemas atau malah menjadi sakit jika tidak makan. Bisa-bisa kalau ia sakit, ibunya pasti semakin menganggapnya hanya menyusahkan saja. “Kirain masuk ITB bakal sukses, ternyata sama aja. Malah lebih parah, udah satu tahun lulus nggak dapet-dapet kerja.” “Sabar ya bu, nanti Ghibran pergi ke kosan temen dulu. Tanya-tanya lowongan kerja, siapa tau ada.” Ibunya hanya menggeram, kemudian pergi meninggalkannya. Sementara Adnan, adik angkatnya baru saja keluar dari kamar dan bergabung bersamanya. Ia menatap Ghibran, merasa bersalah. Ghibran tau, Adnan ingin menunjukkan kepada orang tuanya bahwa ia bisa sukses dan berprestasi. Maka dari itu, adik angkatnya itu belajar mati-matian agar bisa masuk ke Universitas Indonesia. Sejak awal, yang dilalui Adnan memang tidak mudah. Ia adalah anak angkat, ditambah prestasi Ghibran yang tiada henti membuatnya tertekan dan harus bisa mengejar prestasi kakaknya. Tapi, menurut Ghibran, itu resiko bukan? Sama seperti dirinya yang beresiko untuk terus mencontohkan sikap yang baik sebagai anak pertama. “Lagi, a?” tanya Adnan, dan Ghibran mengangguk. “Lo kapan mulai kuliah? Udah dapet kosan?” tanya Ghibran sambil menyantap makanannya yang tadinya sulit tertelan. Adnan mengangguk, “Udah dapet a, tapi gak deket-deket banget. Abisnya yang deket harganya lumayan mahal. Baru mulai kuliah sih minggu depan, cuma yang penting kan kosan udah dapet.” Ghibran tersenyum seadanya, “Bagus deh,” responnya. “Vivi ke mana a? Udah lama nggak ke sini,” tanya Adnan. Jika soal Vivi, Ghibran malas sekali membahasnya. Pacarnya itu sering sekali hilang-hilangan sejak ia kesulitan mencari pekerjaan. Padahal seharusnya, Vivi bisa mengerti apa impiannya. Ternyata sama saja seperti ibunya. Ghibran mengangkat bahunya, “Sibuk kerja,” jawabnya. “Dua hari lalu Adnan ketemu Vivi lagi ngafe sama temen-temennya,” kata Adan, membuat kedua mata Ghibran melebar. “Ngafe? Di mana?” “Deket ITB a.” Ghibran mendengkus, ia menyelesaikan makannya. Selain ingin cepat-cepat berangkat untuk menginap di kosan Rian, Ghibran juga ingin bertemu dengan Vivi. * Sebelum datang ke kosan Rian, Ghibran sudah janjian terlebih dahulu dengan gadis yang sudah dipacarinya selama dua tahun sejak ia kuliah tahun terakhirnya. Mereka bertemu di taman tempat biasa mereka menghabiskan sore harinya setelah pulang kampus. Ghibran melepaskan ranselnya dan meletakkanyya di dekat kakinya, ia melirik Vivi yang sedang memasang ekspresi bete seakan-akan malas sekali bertemu dengannya. “Kamu kenapa sih akhir-akhir ini hilang terus? Aku chat nggak dibales, aku telepon nggak dibales. Terus, Adnan malah ngeliat kamu lagi ngafe sama temen-temenmu.” Vivi tidak menatap Ghibran, cewek itu melipat kedua tangannya di dadaa. “Harusnya tuh kamu sadar, kenapa aku begitu.” “Kenapa? Karena aku belum dapet kerja juga, padahal aku lulusan ITB?” tanya Ghibran. “Tuh tau,” kata Vivi, “mantanku aja udah kerja di Jakarta, jadi asisten manager lagi! Emangnya kamu pikir aku nggak malu apa punya cowok pengangguran? Lagian ya Ghib, kerja tuh apa aja. Kamu nggak mesti jadi desainer interior, apa lagi fresh graduate.” Ghibran sengaja menenangkan dirinya dengan keluar dari rumah. Bertemu Vivi dan Rian, pacar dan sahabatnya. Tapi mengapa ketika ia bertemu Vivi, gadis itu malah membahas hal yang sama seperti yang dibahas ibunya? “Apa lagi temen-temenku juga curhat katanya dikasih surprise sama cowoknya, dikasih bunga, tas, baju, sepatu, bahkan ada yang dikasih iphone.” Ghibran mengembuskan napasnya dengan kasar, “Kalau kamu nggak mau ngerti kondisi aku sekarang, aku lepasin kamu.” Vivi menoleh ke arah Ghibran, menatapnya tidak percaya. “Maksud kamu? Putus?” “Kalau kamu anggap begitu,” jawab Ghibran kesal. “Oke kalau kamu mau putus!” ujar Vivi kesal, ia menahan tangisnya. “Padahal aku cuma ngasih motivasi ke kamu biar kamu rajin dan mau nerima kerjaan apa pun!” Ghibran tertawa pahit, “Motivasi? Ngerendahin aku gitu, kamu bilang motivasi?” Vivi bangkit dari duduknya, “Kalau kamu mau putus, yaudah!” Ghibran pun ikut bangkit dari duduknya, ia menggemblok tasnya dan pergi dari hadapan Vivi tanpa berkata apa pun. Meninggalkan gadis itu yang menatap punggungnya sambil tidak percaya bahwa Ghibran yang ia kira sangat mencintainya itu, bisa meninggalkannya seperti ini. “Kamu mau ke mana?!” tanya Vivi, setengah berteriak karena posisi Ghibran sudah cukup jauh darinya. “Kosan Rian,” jawab Ghibran singkat, ia mempercepat jalannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD