“Maaf, Anda masih tidak sesuai dengan kriteria perusahaan kami!”
Aku sudah menduga hal itu sebelumnya, jadi bisa dikatakan aku tak lagi terlalu terkejut saat mendengar jawaban dari pewawancaraku tadi siang. Namun anehnya, saat semuanya hening, kata-kata itu kembali berputar di kepalaku. Tepat saat aku terjebak di bawah hamparan bintang yang bersinar cerah di langit, dan lampu malam kota yang terlihat jelas dari tempatku duduk saat ini.
Bibirku bahkan masih bisa membentuk lekukan, mengagumi betapa indahnya dunia tempat aku berada.
Rasanya dingin, bahkan udara yang kelewat dingin malam ini mengalahkan dinginnya hatiku yang seolah mati rasa. Menghabiskan sekitar 2 jam untuk meratapi apa yang ada pada malam hari, tak kunjung membuatku berniat untuk bangkit berdiri dari kursi dari kayu jadul yang kini menjadi alas dudukku.
“Sudah sangat larut, bahkan sebentar lagi matahari akan segera terbit. Apa yang membuatmu tetap berada di sini, Nina?”
Panggilan dengan nada berat itu mengalihkan perhatianku. Sebuah mantel kecil dan tipis sudah dipasangkan di punggungku, serta segelas kopi hangat yang kini tersedia tepat di depan mataku. Hangat, akhirnya aku bisa merasakan tanganku kembali.
“Aku hanya menikmati udara malam, kau sendiri, kenapa masih terjaga? Cafe sudah tutup 2 jam lalu, Harry!”
Harry–teman sekaligus sahabat rasa keluarga, demikian aku menjelaskan sosok yang kini sudah mengambil tempat di sebelahku. Aroma tubuhnya sedikit lebih fresh dibanding dengan beberapa jam lalu. Sepertinya dia baru selesai mandi.
“Bagaimana aku bisa tertidur dengan tenang jika melihat seseorang masih terbengong di sini? Apa kau masih memikirkan hasil wawancara kerjamu?”
Tebakannya bahkan selalu benar, aku mengusap tanganku pada luar gelas kopiku. Sedikit lebih baik, apalagi setelah cairan hitam manis itu melewati tenggorokanku. Hangat rasanya, aku merasa lebih baik.
“Aku tahu, gaji bekerja denganku masih sedikit. Tapi itu masih better daripada tidak sama-sekali, Na. Perihal perobatan Lia, aku juga masih mengusahakannya. Jangan terlalu dipikirkan, dan aku selalu ada disini!”
Harry selalu begitu, aku tidak pernah membayangkan bagaimana kehidupanku tanpa dia. Kami bertemu saat masa kuliah dulu, sebenarnya kami bertiga, sayangnya, seseorang pergi tanpa memberikan penjelasan, namun meninggalkan luka yang membuatku sedikit trauma dengan lawan jenis. Sosok seorang Harry sangatlah tulus, dan aku bekerja sebagai part-time di Cafe yang dia rintis 1 tahun lalu.
Sosok pekerja keras yang menjadi panutan bagiku.
“Lia sudah lebih baik, tadi sore setelah wawancara kerja, aku menyempatkan diri untuk menjenguknya. Dokter Jhon, yang menangani Lia sejak awal juga memberitahu bahwa Lia ada sedikit perkembangan.”
“Operasinya?”
Menarik nafas dalam, aku kembali menatap bintang di langit. Kami tengah berada di atap gedung sewaan Harry, yang sekaligus dia jadikan sebagai tempat usaha Cafenya. Gedungnya lumayan besar, lantai 1 dan 2 dijadikan sebagai Cafe, dan lantai 3 sebagai rumah kami.
Kami–aku, dia, dan adikku–Lia. Dia berbaik hati menawarkan untuk tinggal bertiga, daripada aku harus mengeluarkan biaya lagi untuk tempat tinggal. Sejujurnya aku tidak enak hati, namun perasaan itu tidak sebanding dengan keadaan ekonomiku yang semakin miris. Ini sudah 1 tahun setelah aku lulus kuliah, dan masih harus melamar ke sana-sini untuk mendapat pekerjaan yang tetap.
Bukan karena aku kurang lihai, namun karena aku membutuhkan posisi yang layak agar mendapatkan upah yang aku inginkan.
“Tidak tahu!” Aku akhirnya menjawab sambil menghela nafas.
Aku menatap Harry yang juga ikut menengadah dan menatap ke langit yang memang sangat indah, bulan sabit juga menyinari langit. Sungguh indah, dan tiada duanya. Aku menikmatinya, malam–atau bisa aku katakan subuh ini, sungguh luar biasa indah. Sungguh indah, hingga rasanya aku ingin menghentikan waktu tanpa ingin merusaknya.
Sentuhan ringan di bahuku membuatku mengalihkan perhatian.
“Kau pasti bisa, Na. Lia juga pasti bisa menjalani operasi, aku sudah menghubungi beberapa donatur, dan dari 20, ada sekitar 2 orang yang bersedia untuk membantu. Tidak perlu terlalu dipikirkan, kau sudah melakukan yang terbaik, dan Lia juga tahu hal itu. Dia tidak pernah menuntut apapun darimu. Kau juga harus bisa menikmati waktumu, jangan selalu memikul bebanmu sendiri, ada aku yang siap merangkulmu jika kau butuh rangkulan. Kau pasti paham hal itu bukan?”
Ucapan yang keluar dari bibir Harry sangat serius. Aku tersenyum dan mengangguk, lalu kembali menatap ke langit, membiarkan angin malam menerbangkan rambutku yang terlepas dari jepitannya. Adem, dan penuh dengan kebimbangan.
Adikku–Lia, garis takdir yang dia dapat tidak sebaik gadis berusia 15 tahun pada umumnya. Dia lemah sejak aku mengenalnya, dan selalu terbaring di atas ranjang. Penyakit jantung yang dia derita, menjadi penyebab segalanya. Dan aku, harus mengurusnya seorang diri, membiayai pengobatannya yang bisa aku katakan, hampir di luar kemampuanku.
Sejak aku berusia 10 tahun, tidak ada lagi kata orang tua bagi kami. Mereka pergi di saat kami membutuhkannya.
“Besok aku dipanggil wawancara ke perusahaan WO–Wedding organizer–aku tahu ini melenceng dari skill yang aku punya. Tapi jabatan dan gaji yang mereka tawarkan cukup membuatku tertarik pada bidang satu ini, mungkin…”
“Aku akan mengantarmu besok!”
Bahkan kalimatku belum selesai, Harry sudah menjawab. Aku mengangguk tanpa menatapnya. Begitulah malam ini terlewati, aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, namun hal yang aku pegang adalah, bahwa sesuatu yang sudah ditakdirkan menjadi milikmu, akan datang padamu tanpa kau minta.
Dan aku yakin, jika Tuhan juga punya rencana itu padaku.
***
“Sudah selesai?”
Aku menggeleng sambil berlari-lari di ruang tamu, sudah pukul 06 pagi dan aku masih mencari dimana ikat pinggang yang sudah aku prepare semalam. Tidak mungkin aku lupa, dan meninggalkan bagian terpenting itu.
“Jalanan akan macet jika kita pergi lebih lama, Na!”
“Apa kau melihat ikat pinggang bercorak bintang yang sering aku kenakan, Ry? Aku yakin sudah mempersiapkannya selama, aku benar-benar harus…”
“Maksudmu, ini?”
Seketika aku berhenti, dan menatap ke arah Harry tersenyum bak orang bodoh.
“Dapat darimana?”
“Lekas kenakan, ini sudah sangat telat!”
Tidak lagi banyak yang aku lakukan, kecuali lekas mengenakan ikat pinggang. Harry sudah mengeluarkan motornya, dan begitu aku selesai, dia lekas melajukan motor. Meliuk-liuk dengan gesit di antara celah mobil yang mengantri panjang. Sesekali tatapanku tertuju pada arloji tua yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah 15 menit terlewatkan, namun rasanya jalanan pagi ini terasa lama.
Aku tidak pernah merasa seperti ini, bahkan, jika sudah dalam keadaan telat, biasanya aku akan heboh dan panik sendiri. Namun kali ini berbeda, kakiku terasa berat untuk melangkah dari apartemen tadi pagi. Padahal, aku biasanya selalu bersemangat.
“Kau tidak salah alamat bukan?”
“Hah? Eh…” seketika aku sadar jika Harry tidak lagi mengemudikan motornya, kami berdua sudah berada di depan lobby gedung yang terlihat sedikit ramai. Aku bisa melihat beberapa orang yang tengah memegangi berkas-berkas, sama sepertiku. Apa mereka adalah calon-calon yang nantinya akan menjadi sainganku?
Entahlah, rasanya sedikit berat menatap mereka. Bahkan, aku ingin mengatakan ‘pulang’ kepada Harry. Tapi, yang pasti itu adalah pemikiran konyol, dan tidak seharusnya tidak aku pikirkan saat ini.
“Tunggu apalagi, aku merasa kau tidak seperti dirimu, Nina!”
Benar. Aku tidak menyangkalnya. Aku sudah membuka helm dan menyerahkannya pada Harry. Bibirku kelu saat Harry memegangi tanganku dengan lembut, rasa hangat langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Tenang, dan damai.
“Aku percaya, jika ini adalah jalan-Nya, maka kau pasti akan mendapatkannya. Jangan terlalu dipikirkan, makan ini nanti sebelum giliranmu!”
Senyuman Harry menenangkanku, namun dengan segera aku menarik tanganku darinya. Lalu mengangguk, dan segera berbalik dan melangkah menaiki anak tangga untuk menuju pintu masuk.
“Nina!”
Langkahku terhenti di ambang pintu, satpam yang bertugas, menahan pintu untukku. Aku berbalik dan menatap Harry yang tersenyum lebar seperti biasa. Dia mengedipkan matanya sebanyak 3 kali, dan menirukan gaya mengusir. Itu adalah kode kami, yang sudah sangat kami tau artinya.
Aku mengangguk lalu meremas coklat kecil di tanganku, dan segera melangkah masuk. Setidaknya, rasa cemasku sedikit berkurang. Dia, lelaki itu, sangat berjasa bagiku. Dia adalah teman sejati yang pernah aku punya, dan aku beruntung memilikinya.