BAB 2

2052 Words
William sangat mengenal perempuan-perempuan dalam lingkar pergaulan kelas atasnya. Kebanyakan dari mereka berparas cantik, tetapi berhati busuk. Paras yang hampir sempurna itu mereka jadikan alat untuk mendapatkan segala keinginan. Dalam lingkarannya, perempuan seperti mereka selalu mengincar pria dari kalangan atas, seperti William dan Sean yang sama-sama datang dari strata sosial tertinggi. Faktanya, beberapa perempuan yang pernah tidur dengan William, selain mencari kesenangan dan kepuasaan, juga mengincar uang. Begitu pun Thania Adipraja. Ia hanya perempuan murahan yang mencoba menjadi Cinderella dan berharap dipinang seorang pangeran. Perempuan itu seperti sedang bermimpi di siang bolong. Semua tidak akan terjadi. Mana mungkin perempuan dengan strata sosial rendah yang hanya bisa menjual diri untuk mendapatkan semua keinginannya bisa dipinang pangeran? Tidak akan ia biarkan Thania menghancurkan kehidupan saudara dan temannya. William akan menghancurkan Thania terlebih dahulu. Sehancur-hancurnya hingga yang Thania bisa hanya merangkak dan memohon pada William untuk melepasnya. Tatapan William masih terarah ke layar laptop yang menampilkan gambar seorang perempuan berwajah ayu dan berambut gelap. “Aku ingin kau mencari tahu tentang Thania Adipraja. Semua hal tentang dia. Semuanya!” perintah CEO Diamond Enterprise itu kepada seseorang yang duduk di seberang meja kerjanya. “Baik, Tuan.” Pria bertampang garang yang duduk di hadapan sang CEO itu mengangguk patuh. William bersedekap. Sebelah kakinya ditumpangkan ke atas lutut yang lain. Tubuhnya bersandar ke sandaran kursi kulit favoritnya. Iris biru putra sulung pemilik perusahaan multinasional itu masih terfokus pada layar laptop. Beberapa saat kemudian, ia menegaskan kembali titahnya, “Aku mau informasi tentang si jalang itu secepatnya! Apakah kau mengerti?” “Ya, Tuan. Saya mengerti.” Pria berkepala plontos itu berdiri. “Saya permisi, Tuan Anderson.”  William tak menggubris ucapan terakhir pria itu. Basa-basi tak termasuk ke aturan cara kerjanya. Every word he said is an order to be obeyed. William melangkah ke arah jendela besar dan tinggi yang tertutup tirai vertical blind. Ia menarik tali penggerak tirai hingga cahaya matahari pagi langsung menerobos masuk ke ruang kerjanya yang luas dan dilengkapi dengan berbagai perangkat elektronik kantor Dalam sekejap, ruangan yang awalnya hanya diterangi cahaya lampu kini tampak terang alami. Semua warna dalam ruang kerja yang memiliki corner room untuk beristirahat sejenak itu terlihat jelas dan nyata. William melayangkan pandangannya ke luar jendela. Dari tempatnya berdiri di lantai delapan, ia bisa dengan jelas melihat jalanan ibu kota yang mulai dipadati kendaraan. Ia menghela napas panjang, lalu mengembuskannya dengan cepat. Rahangnya mengeras dan tatapannya menggelap. Dadanya mulai sesak dan bergemuruh oleh gejolak amarah yang terus menggelitik. Tak pernah ada seorang pun yang berani mengusik keluarga Anderson. Namun, Thania Adipraja menyatakan perang dengan keluarganya secara tidak langsung. Kau tidak akan pernah bisa lolos dariku, Thania. ○○○ Waktu sudah menunjukan pukul 22.00. Thania bersiap-siap pulang dari restoran piza tempatnya bekerja paruh waktu. Dering ponsel menginterupsi kegiatan perempuan berambut gelap itu. Thania menutup loker, lalu ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas bangku panjang. “Ah, hanya SMS rupanya,” gumamnya sambil membuka layar ponsel.   I'm sorry, Love. Aku tidak bisa menjemputmu malam ini. Aku harus menemani Mommy ke rumah sakit. I'm so sorry. I love you.   Thania pun segera membalas pesan tersebut.   It's okay. Aku bisa pulang naik bus. I love you more.   Ia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia duduk bersandar di satu-satunya bangku yang terdapat di ruang ganti karyawan. Keraguan dan rasa cemas mulai hadir mengisi ruang pikirannya. Apa masih ada bus yang lewat, ya, jam segini? Derit suara pintu yang dibuka membuyarkan lamunan Thania. Seorang pria berpipi tembam melongok dari balik pintu. “Semua baik-baik saja, Than?” “Oh, iya ... iya, Pak Bos. Semua baik-baik saja,” balas Thania kepada pria bertubuh subur yang dipanggilnya bos. “Kalau begitu, hati-hati di jalan, ya. Langsung pulang. Jangan keluyuran.” Bos restoran itu memperingatkan Thania dengan nada bercanda. “Iya, Pak Bos. Saya pasti langsung pulang. Terima kasih atas perhatiannya,” balas Thania dengan nada yang sama. Setelah berpamitan, Thania bergegas keluar dari restoran tersebut. Jalanan sudah mulai sepi. Hanya beberapa kendaraan pribadi yang terlihat melintas. Thania melangkah cepat menuju halte bus yang terletak beberapa puluh meter dari restoran piza. Tempat pemberhentian bus yang biasanya ramai dipadati calon penumpang kini tak tampak seorang pun di sana. Suasana yang sunyi membuat ia was-was. Ia mencoba tak memedulikan ketakutannya dan terus melangkah. Namun, langkah Thania yang hampir mencapai halte harus berhenti. Sedan hitam berdesain futuristis ala Jerman berhenti mendadak di depannya dan hampir saja menabraknya. Mobil mewah itu dengan sengaja mengadangnya. Thania menekan dadanya. Mata cokelat kopinya terbelalak menatap mobil itu. Ingin sekali ia memaki si pemilik mobil yang hampir saja membuat ia celaka. Namun, ia mengurungkan niat saat si pemilik mobil menampakkan diri. Seorang pria dengan tinggi tidak lebih dari 185 cm yang baru saja keluar dari mobil itu menatap tajam Thania. Tubuh atletis yang disembunyikan di balik jaket kulit hitam dan celana jin memunculkan kewaspadaannya. Pria itu berjalan mengitari mobil, lalu mendekati Thania. “Kau Thania Adipraja?” tanyanya dengan suara berat dan mengintimidasi. “I … iya. Siapa kau?” jawab Thania gugup Wajah rupawan bak jelmaan dewa yang dimiliki pria itu tak membuat Thania kagum. Perempuan itu beringsut menjauh saat ia menyadari tatapan pria itu seperti ingin menelannya. Pria itu melangkah lebih dekat kepada Thania. Tanpa permisi, ia mencekal tangan Thania dan menariknya paksa hingga tubuh Thania hampir menabrak tubuh tinggi atletisnya. “Ikut aku!” “Hei! Siapa kau? Lepaskan aku!” Thania mencoba melepaskan cekalan tangan pria itu yang tak memedulikan teriakannya dan tetap menarik kasar tangan perempuan itu. Thania mulai panik. Seketika segala bentuk ketakutan mulai menyelimuti. Ia terus meronta agar pria asing itu melepaskan cekalan tangannya. Namun, usaha Thania sia-sia. Pria itu membekap mulut Thania dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain melingkar erat di pinggang ramping Thania. Ia mengunci gerak perempuan itu. Kemudian, ia  melontarkan ancaman yang membuat perempuan cantik berambut gelap itu bergidik ngeri. “Kalau kau tidak bisa diam, aku bersumpah akan membunuhmu. Diam!” Thania mengatupkan bibirnya, mencoba menuruti perintah pria itu. Ia tidak ingin pria itu mencelakainya. Di dalam hati, ia terus berdoa semoga saja ada seseorang yang melihat mereka dan tergerak untuk menolongnya. Sepertinya, Tuhan belum mendengar doa Thania. Tanpa ampun, pria itu menyeret Thania ke pintu depan mobil, lalu mendorongnya masuk ke jok penumpang. Ia lantas bergegas duduk di bangku kemudi. Pria itu menginjak pedal gas membelah jalanan yang tidak pernah Thania lalui sebelumnya. “Kau siapa? Kau mau membawaku ke mana?” tanya Thania memberanikan diri. Thania berusaha membuka pintu mobil yang jelas-jelas terkunci. Dengan tubuh gemetar, ia melihat ke luar jendela, mencoba mengingat pemandangan di sepanjang jalan yang mulai sepi dan gelap. “Aku mau dibawa ke mana?” tanya Thania sekali lagi dengan nada yang lebih rendah. “Diam kau, p*****r rendahan! Kau akan tahu nanti!” hardik pria itu. Thania tersentak. Baru kali ini ada yang berbicara seperti itu kepadanya. Pria itu mengusik harga dirinya. Thania memelotot. Darahnya mulai naik ke kepala. “Apa kau bilang? Aku p*****r? Hei, Tuan! Kau salah orang! Aku bahkan tidak mengenalmu sama sekali.” Pria yang berwajah rupawan itu masih memfokuskan pandangannya ke depan. Ia tak menggubris omelan Thania. Thania yang telanjur tersinggung oleh ucapan kasarnya melayangkan kembali kemarahannya. “Hei, bule gila! Kau pura-pura tidak mengerti atau memang tuli, sih?” Pria misterius itu naik darah. Ia menepikan mobil, lalu melepaskan sabuk pengaman. Tatapannya berpaling ke arah Thania. Tanpa belas kasihan, ia mendorong bahu Thania hingga perempuan itu membentur pintu mobil dan mengerang kesakitan. “Kalau kau tidak bisa diam, aku akan menghabisimu di sini!” Pria itu kembali mengintimidasi. Thania mulai ketakutan. Napasnya naik-turun tak beraturan. Pria gila yang ada di balik kemudi itu sepertinya tidak sedang bermain-main. Ia terdiam. Lidahnya mulai kelu mendengar ancaman pria itu. Dia merasakan jantungnya berdetak cepat begitu pria itu memasang kembali sabuk pengaman dan melanjutkan perjalanan yang terjeda. Dia mau membawaku ke mana? Tolong aku, ya Tuhan. Jangan biarkan dia menyakitiku Thania tak putus berdoa di sepanjang perjalanan. Tatapannya masih terarah ke luar jendela. Beberapa menit kemudian, Thania baru menyadari mobil yang dikendarai pria berambut pirang itu menuju ke pantai. Tiba di pintu gerbang besi yang tinggi sebuah bangunan megah, pria itu memberi perintah pada beberapa orang yang berseragam khas petugas keamanan untuk tidak mengizinkan siapa pun masuk. Pria itu kembali melajukan mobilnya hingga berhenti di halaman rumah besar berdesain Eropa klasik. Tergesa-gesa, ia keluar dari mobilnya, lalu berjalan dengan cepat ke arah pintu penumpang. Ia menarik kasar tangan Thania setelah membuka pintu mobilnya. “Auw, sakit! Pelan-pelan, dong!” Thania memekik. Kakinya hampir saja terkilir ketika turun dari mobil. Tindakan pria itu makin kasar dan brutal. Ia menyeret Thania memasuki beranda. “Maaf, Tuan. Saya tidak tahu Tuan akan datang. Jadi, saya ketiduran,” tutur pria berusia sekitar empat puluhan yang datang dengan wajah panik dan penuh kecemasan. Sang Tuan mengeraskan rahang. Ia menatap pria itu dengan tatapan kesal dan marah. “Cepat buka pintunya!” Pria paruh baya berseragam putih-biru tua itu segera membukakan pintu. Desain interior modern berkonsep split-level yang disuguhkan ruang utama rumah itu membuat Thania berdecak kagum meskipun hanya sesaat. Rasa takut kembali menyerangnya. Pria asing pemilik rumah itu kembali menarik tangan Thania dengan kasar dan menyeretnya naik ke lantai dua. Ia menghempaskan tubuh Thania ke karpet persia yang menutupi lantai kamar. “Aaargh!” Thania merasakan sakit di bagian siku karena menahan berat tubuhnya saat dia jatuh. “Berapa para lelaki itu membayarmu?” Pria itu mulai menginterogasi. “Apa maksudmu?” Thania tak mengerti. Ia hampir beranjak berdiri, tetapi kalah cepat dengan gerakan pria itu yang tiba-tiba mendekat, lalu meremas rambut di kepala bagian belakang Thania.  “Aaargh! Lepaskan!” seru Thania sembari berusaha melepaskan jambakan tangan besar pria itu di rambutnya. “Apa yang kautawarkan dan berikan pada pacarmu sehingga dia mau membayar semua uang kuliahmu?” Pria itu menarik berdiri Thania dengan menjambak rambutnya. Tangannya yang lain meraih tubuh Thania kemudian mendekatkan wajahnya bersemuka dengan Thania. Dekat sekali hingga embusan napasnya terasa di bibir Thania. “Apa? Aku tidak mengerti maksudmu.” Pria itu tersenyum sinis. “Tolong lepaskan! Sakit.” Thania merintih sambil terus berusaha melepaskan tangan pria itu dari rambutnya. Pria bule itu melepaskan tangannya dari rambut Thania. Ia berjalan menuju brankas yang terletak di sudut kamar, lalu mengeluarkan segepok uang dari sana. “Berapa yang kau mau? Sepuluh juta? Dua puluh juta? Atau seratus juta?” tanyanya dengan nada merendahkan. Thania mencoba mencerna pertanyaan pria itu. Sial! Setelah beberapa detik menatap pria itu, ia baru menyadari pria yang berada di hadapannya adalah kakak Bella Anderson. Siapa yang tidak tahu William Anderson? Tampan bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok William. Sosok anak sulung keluar Anderson terkenal keren, seksi, dan liar. Postur tubuh yang nyaris sempurna dan kekayaan yang berlimpah membuatnya menjadi pengusaha muda incaran perempuan-perempuan cantik di kota ini. Gosip kedekatannya dengan beberapa aktris dan model selalu menghiasi berita layar kaca. “Ternyata kau?” tandas Thania. “Kau salah besar menganggapku perempuan seperti itu, William Anderson!” “Pengakuanmu tidak mengejutkanku,” sindir William. “Dengar, William, Will, atau apa pun panggilanmu. Aku tidak tertarik dengan uangmu!” balas Thania tegas. “Benarkah? Lantas, apa tujuanmu pacaran dengan Sean? Karena uangnya, bukan?” Tuduhan William yang sangat merendahkan dirinya membangkitkan kemarahan Thania. Ia menatap tajam William. Tak pernah ada seorang pun yang begitu merendahkannya meskipun dia hanya dari keluarga sederhana, seorang mahasiswi yang menyambi kerja sebagai pelayan restoran. “Aku mencintai Sean bukan karena uang atau status keluarganya. Aku mencintainya tanpa syarat apa pun. Andaikan Sean dari kelas yang sama sepertiku, aku akan tetap mencintainya.” “Begitu, ya?” William menyeringai. “Kenapa Sean membayari kuliahmu dan uang sewa tempat tinggal keluargamu? Apa itu barter? Dengan tubuhmu?” William mencekal tangan Thania, lalu menariknya mendekat. Wajah keduanya berhadapan dan tatapan tajam mereka saling mengunci. “Kau sangat keterlaluan, Tuan Sok Kaya! Kaupikir karena aku perempuan miskin, aku akan dengan mudah mengobral tubuhku? Aku tahu aku tidak secantik dan seseksi adikmu atau wanita-wanita yang mengejarmu. Tapi, aku tidak mau dan tidak akan pernah sudi menukar tubuhku dengan uang. Apalagi dengan uangmu!” Amarah Thania makin terpancing. “Sombong sekali bicaramu, Nona. Kau yakin tidak menginginkan uangku? Aku punya banyak. Aku bisa membeli semuanya termasuk membelimu! Aku tidak sabar menunggu saat kau akan memohon padaku untuk itu.” ===== Alice Gio
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD