002 - Reaction After Last Night

1609 Words
"Hello! Good morning! It's Jeff the most handsome guy in the world. Wake up now or I'll kick your butt!" Tiga. "Hello! Good morning! It's Jeff the most handsome guy in the world. Wake up now or I'll kick your butt!" Empat. "Hello! Good morning! It's Jeff the most handsome guy in the world. Wake up now or I'll kick your--" Cukup! Pikiranku mengenai kejadian semalam bersama Aiden, serta harapan bahwa Tuhan maha baik sehingga bersedia menjadikan hal tersebut sebagai mimpi benar-benar buyar sepenuhnya. Kedua mataku melotot, menatap cermin berisi pantulan diriku yang mulutnya penuh busa odol sambil mengernyit dalam. "Goddamned, Jeff! Aku bahkan sudah selesai mandi dan sedang sikat gigi." "Actually, it's not me, Megan." "Yeah, tapi hanya alarm oleh-oleh darimu untukku yang ternyata memiliki iring-iringan jiwa narsis s****n!" Kekehan Jeff di balik pintu kamar mandi terdengar jelas dan itu sangat menyebalkan. "Baik. Baik. Kuhentikan sekarang juga, tapi bertindaklah seperti militer karena aku menolak untuk terlambat hari ini," ujar Jeff bersamaan dengan berhentinya alarm t***l yang Jeff sebut sebagai 'Super Jeff', oleh-oleh hasil pertandingan taekwondo-nya di negara ginseng. Oke, sebenarnya aku masih ingin melemparkan ribuan koleksi makian di dalam otakku. Namun, karena Jeff sudah terlebih dulu pergi--sebelumnya dia berdiri di depan pintu kamar mandi--kulihat bayangan lelaki itu dari celah pintu bagian bawah--terpaksa, membuatku harus mengurungkan hal tersebut dan hanya mendengkus kesal di depan cermin, sambil menyikat gigi. Padahal asal kalian tahu, aku baru saja mendapatkan satu kata u*****n baru yang mungkin akan trend di sekolah jika Jeff mendengarnya. Yeah, seratus persen akan trending sebab Jeff merupakan atlet taekwondo di Santa Monica High School dan apa pun, yang dilakukan lelaki itu--jika merupakan hal baru--biasanya selalu menjadi trend di kalangan penggemarnya. Termasuk Alma, gadis berdarah campuran antara Amerika dan Indonesia itu pasti akan membicarakannya berulang kali, hingga telingaku terasa melepuh. Seperti pekan lalu, saat Jeff terlalu ceroboh atau bodoh karena tidak mampu membedakan antara sup basi dan sup layak makan. "Demi Tuhan. Jika bukan karena Jeff, aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya sup basi dan sup layak makan." Alma berkata ketika kami menikmati sup daging di kafetaria, di saat isi mangkukku belum tandas seutuhnya. "Jangan katakan bahwa kau mengikuti challange-nya?" tanya Jackson sambil mengernyit jijik di hadapan Alma. "Memang benar." Alma mengangguk. "Setengah mati aku melakukan challange memakan satu mangkuk sup basi dan ... Jesus! Aku diare setelahnya." "Idiot." "Demi loyalitas, Bung." "Tetap saja kau i***t, Alma." "Kau tidak akan tahu bagaimana rasanya memuja seseorang seperti Tuhan dan kenikmatan, merasakan apa yang idola kita rasakan." "Ewh, Alma. Hentikan omong kosongmu itu, bagaimana pun kau memujanya dia tetaplah kakakku yang bodoh," kataku sambil mendorong keningnya menggunakan telunjuk berulang kali, berusaha menghentikan obrolan tanpa bobot antara Jackson dan Alma. Namun, Alma tetaplah Alma karena sedetik kemudian ia kembali berkata, "Sejuta kali kukatakan, Megan. Jeff selalu berhasil membuat trending topic dan aku senantiasa bermimpi berada dalam posisimu sehingga ...." Bla bla bla. Ups, sorry, sengaja tidak kulanjutkan kilas balik tentang obrolan kami bertiga mengenai ketololan Jeff seminggu lalu, sebab lamunanku terpaksa dihentikan saat seseorang mengetuk pintu kamar mandi. "Seriously, Megan!" Jeff berteriak hingga beberapa oktaf dari balik pintu. "Apa kau ingin menghabiskan waktu satu jam di dalam sana?! Demi Tuhan, aku akan meninggalkanmu jika kau belum siap dalam lima menit." "Ya, aku keluar sekarang!" Kedua mataku berputar otomatis setelah menjawab ancaman Jeff. Tanganku pun lalu bergegas membersihkan sisa-sisa menyikat gigi, mematikan keran air, dan berbalik untuk memutar kenop pintu. Namun, sesuatu yang memuakan menyambutku tanpa tahu diri. Jeffery Ave, idola para gadis, tetapi t***l bukan main berdiri sedang di hadapanku. Aku yakin beberapa menit lalu, telingaku tidak tuli dan aku tidak terserang amnesia sebagian karena jelas-jelas, aku bisa mengingat bagaimana Jeff memintaku agar segera keluar dari kamar mandi--memaksaku untuk masuk ke dalam kungkungan kenyataan--demi melakukan aktivitas konstan paling membosankan. Hanya dengan mengenakan boxer, rambut acak-acakan, kotoran sebesar jagung di kedua sudut matanya, dan aroma piza sisa selamam sudah bisa ditebak bahwa Jeff bahkan belum mandi atau minimal sikat gigi sebelum sarapan. Aku bertolak pinggang di hadapannya, melakukan pemindaian berulang kali, mengabaikan bagaimana cara ia tersenyum mengejek ke arahku. "What the f**k! Kau bercanda, Jeff." "Jaga bicaramu, Megan." Suara mom terdengar dari arah belakang Jeff, membuatku sedikit memiringkan kepala agar bisa melihatnya. "Jeff itu kakakmu dan masih untung dia berbaik hati mengkhawatirkanmu yang terlalu lama di kamar mandi, di saat kami terlalu sibuk menyambut pagi." "Hai, kids." Kali ini suara dad yang menyapa, di mana ia baru memasuki dapur dengan lipatan koran di tangan. "Bagaimana malam kalian? Tidur nyenyak, eh?" "Well, aku bermimpi dimakan oleh monster kaos kaki." "Tidak buruk, aku berhasil memenangkan lotre pacuan kuda sebesar satu juta Dollar." Seperti memiliki saingan, tatapan kami; aku dan Jeff saling beradu akibat ucapan yang saling bertabrakan. Kemudian seperti bersaing ketat--atau hanya perasaanku saja--Jeff memalingkan pandangan ke arah dad, mengulang kembali perkataannya barusan di mana ia memenangkan lotre. Kedua alisku terangkat. Merasa heran atas sikap kekanakan Jeff, di mana tidak seharusnya ia perlihatkan karena dia setahun lebih tua dariku. "Whatever, Jeff. Aku tidak akan pergi sekolah denganmu hari ini," kataku setelah mengembuskan napas secara kasar, kemudian bergegas pergi menuju kamar sebab sekarang bukanlah areaku. "Don't be late, sister!" seru Jeff ketika kaki kananku menaiki anak tangga pertama menuju kamar. "Atau kau akan kelaparan di kelas karena tidak sarapan." Aku memutar mata dengan pasai. Cukup malas membalas perhatian Jeff karena dia pun tidak berkaca pada diri sendiri. Namun, karena ia saudaraku satu-satunya dan orangtua kami berada bersamanya, mau tidak mau aku harus membalas kebaikan Jeff. "Urus saja dirimu sendiri, Jeff. Kau bahkan belum sikat gigi atau minimal mencuci wajahmu. Kau tahu, banyak sekali kotoran di matamu dan itu akan menurunkan pamormu jika penggemarmu mengetahunya!" ujarku sengaja menekankan beberapa kalimat, berupa; belum sikat gigi, kotoran di matamu, dan pamornya yang tidak lama kemudian, samar-samar aku mendengar makian Jeff serta suara pintu yang ditutup sekuat tenaga. *** "Megan!" Masih berjarak sekitar lima langkah menuju gerbang Santa Monica High School dan suara familier memanggilku. Aku menoleh ke arah kanan lalu melihat Alma melambaikan tangan dan Jackson berdiri di sampingnya. Karena berada di seberang jalan, gadis itu mengisyaratkan agar aku menunggu mereka menyebrang. "Kau gila, Megan!" sambut Alma seketika ia berada tepat di hadapanku. "Sebisa mungkin aku menahan diri saat kau tidak menerima teleponku semalaman. Tapi ini adalah Aiden Kowalsky, jadi beritahu aku bagaimana itu bisa terjadi?" Kedua netra Alma berbinar, tampak jelas bahwa ia antusias. Bahkan mengabaikan suara keras yang ia ciptakan, hingga mengundang banyak perhatian. Jesus! Aku tahu jelas arah pembicaraan Alma dan hal itu pula lah yang membuatku cukup keberatan untuk menampakkan diri di sekolah. Melirik ke arah Jackson kemudian beralih ke siapa saja di sekitar kami, kepekaanku seketika bekerja lebih efektif dari sebelumnya. Bagaimana tidak, semenjak pertama kali menginjakkan kaki di halte bus lalu bertemu dengan beberapa murid di Santa Monica High School, mereka sudah menyambutku dengan tatapan menelanjangi. Yeah, menelanjangi memang pemilihan kata yang berlebihan karena mereka bukan predator s**s. Namun, percayalah, aku merasa demikian sebab tatapan tersebut seperti keingintahuan super besar, di mana jika tidak menemukan jawaban maka hal mustahil akan menimpa dirimu. Secara refleks, aku mulai menekan telunjuk menggunakan kuku ibu jari. Kebiasaan sejak kecil yang kulakukan di saat merasa tidak nyaman, hingga tidak jarang menimbulkan kapalan jika dilakukan terus-menerus. Pandanganku, bergerak liar menatap ke sana-kemari dan mustahil untuk berhenti jika Jackson tak menepuk pundakku. Lelaki itu menyadari ketidaknyamananku, menandakan bahwa pertemanan lima tahun kami tidaklah sia-sia karena saling memahami bahasa tubuh satu sama lain. "Apa pun yang ada di pikiranmu, kita selalu bersamamu." "Yeah, meskipun Aiden telah menciummu di lapangan berhasil membuat gempar media sosialku," ujar Alma masih antusias melanjutkan obrolan yang sebenarnya ingin kuhindari. "Apa kau dan dia berpacaran?" "Tidak." Aku mengembuskan napas kasar dan berharap menghilang saja di lubang hitam. "Kalian tahu bahwa aku benci orang populer." "Yeah, meskipun lagi, itu terdengar aneh menurutku," ujar Jackson, sambil membuka locker-nya. "Kau dikelilingi oleh orang-orang populer, tetapi kau tidak menyukai mereka." "Benar. Ayahmu mantan atlet taekwondo kenamaan yang sekarang menjadi pelatih, sedangkan ibumu ... oh, my Godness! Zaman sekarang hanya manusia goa yang tidak mengenal Selena Ave berkat novel fenomenalnya?!" Alma menekan pelipis dengan telapak tangan, sambil terus melangkah di sisi kananku. "Lalu Jeff ... oh, s**t, aku tidak tahu lagi harus seperti apa mendeskripsikan makhluk Tuhan paling sempurna di depan mataku." Refleks aku melengos ke arah Jackson, di saat Alma mulai berbicara berlebihan mengenai Jeff dan tanpa sepengetahuan gadis itu, kubisikan pada Jackson bahwa Alma adalah sosok nyata dari seorang b***k cinta tak berbalas. Jackson hanya tertawa kecil, sambil mengedikkan bahu dan kembali pada buku sejarah di tangannya. Alright, Jackson memang harus seperti itu karena sepuluh menit lagi ia akan melakukan presentasi di kelas Miss Pamela. Lorong kelas ramai seperti biasa, beberapa murid terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: golongan borjuis termasuk orang-orang populer; keturuan milyarder atau tokoh kenamaan; serta biasanya akan terselip satu sebagai the duff, dan golongan kedua--proletariat--didominasi oleh manusia seperti kami, para kutu buku; keturunan ekonomi disertai visual mengengah ke bawah; serta pecundang, pengecut, dan lain sejenisnya. Aku termasuk dalam kategori proletariat 'lain sejenisnya' karena Jeff, Jackson, maupun Alma selalu memberitahu bahwa aku memiliki akses terbanyak untuk menjadi borjuis. Namun, menjadi populer bukanlah prioritasku sehingga--kuingatkan kembali--tindakan Aiden, yaitu menciumku di lapangan football semalam berhasil menghancurkan tembok besi yang telah kubangun selama bertahun-tahun. Dalam sekejap, murid-murid di Santa Monica High School membicarakan dan memerhatikanku, lalu tanpa segan bertanya tentang status hubunganku dengan Aiden padahal lelaki itu sedang memiliki pacar. Belum lagi yang bersikap frontal di mana julukan jalang, mudah sekali mereka lemparkan ke arahku tanpa mengetahui cerita sebenarnya. Jackson menghempaskan buku sejarah di meja, ia duduk di bangku depan dengan wajah menghadap ke arahku. "Apa kau akan diam saja?" tanyanya penuh rasa prihatin. "TBH, aku yakin kau tidak seperti itu." Alma ikut bersuara. "Maksudku, kita semua tahu kau adalah gadis yang tidak tertarik dengan cinta, jadi mustahil rasanya jika kalian main belakang dan di waktu bersamaan Aiden tidak sanggup lagi untuk menahan diri. Namun, kalau dipikir-pikir Aiden memang hawt sehingga--" "Bisa kau tutup mulutmu, Alma?" Jackson menatap tajam ke arah Alma, membuat gadis itu refleks terdiam. Sedangkan aku menghela napas. "Kita akan membantumu jika kau--" "Aku akan menghajarnya saat ini juga, jika ia memperlihatkan ba-tang-hi-dung--." "Hai, Babe. Tidur nyenyak semalam, eh?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD