"Bunda Ayah!" sapa Letta dengan senyuman hangat lalu menghampiri kedua calon mertuanya tersebut. Tampak gadis dengan dress cantik berwarna putih dengan aksen bunga-bunga di area d**a itu menyapa kedua orang tua Azka yang baru saja turun dari mobil. Gadis kecil yang mulai beranjak remaja itu berlari kecil menghampiri kedua orang tua Azka.
Letta tampak mencari keberadaan seseorang yang selama ini susah sekali ia temui. Pria itu seakan selalu memberi jarak dan menghindari pertemuan dengan dirinya. Senyuman di bibirnya perlahan sirna tatkala tak mendapati kehadiran pria tersebut. Namun, dengan cepat gadis itu kembali ceria sembari meraih tangan dan mencium punggung tangan kedua orang tua Azka secara bergantian. "Mama dan Papa sudah menunggu," ucap Letta sembari merangkul tangan Ardan dan Aisyah menuju tempat kedua orang tua dan kerabat yang telah berkumpul di tempat perayaan ulang tahunnya.
Seperti tahun-tahun sebelumnya. Letta harus kembali memendam rasa kecewa. Pria yang telah ia akui sebagai calon suami itu kembali tidak hadir di hari ulang tahunnya yang ke 15. Sejak usia 7 tahun Letta sudah mengikrarkan Azka sebagai calon suaminya meskipun pria itu selalu bersikap tak acuh dan dingin padanya. Letta selalu menyakinkan hatinya jika Azka adalah jodohnya. Ia yakin rasa cintanya pada Azka bukanlah sekadar cinta monyet ala ABG pada umumnya.
Di tengah meriahnya nyanyian ucapan selamat ulang siapa yang menyangka jika hati gadis itu justru bergerimis. Menangisi kerapuhan jiwanya karena cinta sendiri yang selama ini ia rasakan. Bibirnya tersenyum lebar seraya menatap lilin-lilin menyala yang siap ditiupnya. Membayangkan jika Azka tengah berada di sisinya saat ini. "Apa Abang memang tidak pernah mencintaiku? Gadis kecil yang selalu memuja dan merindukanmu," desau hati Letta lalu meniup semua lilin di hadapannya satu persatu. Berharap api cinta di hatinya untuk Azka ikut padam bersama mereka.
***
Empat Tahun Kemudian....
Azka mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar setelah merapikan seluruh pakaian yang akan dibawanya. Kamar yang baru dua Minggu lalu ia tempati dengan nyaman setelah lima setengah tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan di kota metropolitan, Jakarta. Melalui jalur beasiswa Azka masuk di fakultas kedokteran di salah satu universitas ternama di Jakarta. Kesibukan kuliahnya membuat Azka jarang pulang jadi kedua orang tuanya lah yang akhirnya akan berkunjung setiap sebulan sekali untuk melepas kerinduan.
"Kamu yakin Nak nggak ingin bertemu Letta dulu sebelum berangkat? Dia sekarang berubah loh. Cantik banget!" ujar Aisyah yang tanpa Azka sadari sudah berdiri di ambang pintu kamar dokter muda tersebut.
"Bunda!" ucap Azka sedikit terkejut dengan kedatangan bundanya yang secara tiba-tiba. Seulas senyuman terkembang lalu menyambut wanita cantik yang melahirkan dirinya tersebut dengan kedua tangan terbuka. Ia peluk erat wanita pujaannya itu, menghidu aroma lembut yang selalu berhasil menenangkannya.
"Kamu belum menjawab pertanyaan Bunda!" sambung Aisyah seraya mengurai pelukan mereka.
"Nggak Bunda. Azka hanya ingin pergi selama tiga bulan aja kok. Lagian klo Azka ketemu Letta dulu nanti malah nggak mau berpisah dan ingin cepat-cepat menikah. Kata Bunda, Letta semakin cantik bukan? Nah itulah alasan Azka tidak ingin bertemu selama ini. Letta sudah cantik sejak lahir Bunda," terang Azka dengan terkekeh.
"Dasar anak nakal!" kekeh Aisyah dengan sorot penuh kasih. Sepertinya baru kemarin saja ia menimang bayi Azka. Tapi sekarang, putra kecilnya itu sudah menjelma menjadi pria dewasa yang tampan dan berkharisma.
"Bunda tenang saja, Azka pasti bisa menjaga diri dan hati hanya untuk Letta," sambung Azka lagi saat melihat kedua netra Aisyah terlihat berkaca-kaca.
"Bukan itu maksud Bunda," jeda Aisyah dengan membiarkan buliran kristal mulai meluncur bebas di pipinya. "Bunda masih kangen sama kamu. Bunda rasanya sudah tidak ingin berpisah lagi denganmu Nak," jujur Aisyah lalu kembali memeluk putranya tersebut.
"Azka nggak ke mana-mana Bunda. Azka hanya ingin mencari suasana baru dan mengamalkan ilmu yang sudah Azka peroleh kepada orang yang benar-benar membutuhkan," terang Azka seraya membelai bahu wanita cantik berusia 44 tahun tersebut sembari memberikan kecupan di puncak kepala Aisyah.
Aisyah mengurai pelukan lalu menatap dalam pada netra hazel putranya tersebut. Sebuah senyuman terkembang. Kepalanya mengangguk membenarkan niat baik sang putra. Sikap dermawan dan baik hati yang menurun dari sang suami, Ardan. Pria hebat yang menikahinya. Pria yang selalu memperlakukan dirinya dengan lembut dan penuh cinta. Seharusnya Aisyah bersyukur karena bersama suaminya ia bisa mendidik putra mereka dengan baik.
Aisyah menghela napas panjang setelah menyeka sisa buliran air mata di pipinya. Sebagai orang tua Aisyah seharusnya selalu mendukung keputusan baik yang diambil oleh putranya. Tapi, hati seorang ibu mana yang rela bila harus ditinggalkan putranya kembali setelah sekian lama berpisah.
Tangan kanan Aisyah terangkat membelai rambut Azka yang telah memanjang. "Mana ada dokter berambut gondrong seperti ini Nak! Kamu nggak ingin potong rambut dulu?" ujar Aisyah sembari menelisik penampilan Azka yang jelas bertabrakan dengan profesinya. Seorang dokter yang identik dengan hal rapi dan bersih. Berbeda dengan Azka yang justru berambut gondrong dengan bulu-bulu halus mengitari rahangnya.
"Bunda salah. Justru di kampus dan di rumah sakit tempat Azka koas, Azka jadi dokter idola loh hahaha," aku Azka dengan tertawa keras membanggakan diri untuk membenarkan argumentasinya. Bagi Azka dokter hanyalah sebuah profesi, dan keahliannya adalah sebuah anugerah dari Allah sebagai jalan dirinya menyampaikan amanat dan memberikan manfaat bagi orang lain di sekitarnya.
"Ini gara-gara Om Dev kamu!" cibir Aisyah kala mengingat bagaimana Azka kecil begitu mengidolakan pria berambut gondrong dan bertato itu yang tak lain adalah adik iparnya sendiri.
"Tepatnya tiga bulan lagi. Azka ingin berkunjung ke kediaman Om Bagas dan Tante Nidya bersama Ayah dan Bunda!" ucap Azka dengan penuh keyakinan yang sukses berhasil membentuk lengkungan di kedua sudut bibir Aisyah.
"Someday. Aku akan segera menepati janji Abang untuk meminang kamu Letta," gumam hati Azka sembari membayangkan wajah chubby Letta. Gadis dengan bola mata cantik dan bulu mata lentik penyuka cokelat dan es krim tersebut. Azka segera mengenyahkan pikirannya tentang gadis itu. Ia tidak ingin niatnya tergoyahkan.
***
Dengan tas ransel besar memeluk bahunya Azka turun dari ojek. Pemandangan indah dan asri menyapa dirinya di depan tugu besar bertuliskan Dusun Gir Pasang. Ia menghirup aroma segar yang perlahan memenuhi rongga dadanya. Setelah hampir lima tahun setengah tinggal di kota penuh polusi dan identik dengan kemacetan Azka seolah menemukan surga dunia yang tergelar nyata di hadapannya. Pepohonan yang menjulang tinggi, suara nyanyian para satwa yang seolah tengah berpesta menyambut kedatangannya membuat Azka tak sabar untuk segera menuruni anak tangga panjang yang mengular. Satu-satunya akses ke lokasi dusun yang menjadi tempat tujuan Azka. Sesuai informasi yang ia peroleh, tangga sebanyak 1.500 lebih itulah satu-satunya jalan warga ke luar masuk dusun untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Ada sebuah gondola yang hanya dipergunakan untuk mengangkut kebutuhan bahan pokok yang biasa disalurkan oleh pemerintah melalui perangkat desa.
Dusun yang benar-benar terpencil. Berada 4 km dari Gunung Merapi nyatanya warga di dusun tersebut hidup damai dan sejahtera dari hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan. Kaki Azka mulai menuruni anak tangga dengan perlahan. Tampak dari kejauhan dua warga berjalan ke arahnya. Pasti karena ada urusan penting hingga mereka harus ke luar dusun. Karena untuk ke luar dari dusun mereka membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Mereka harus melumpuhkan anak tangga sepanjang 2 km dengan jurang di sepanjang jalan tersebut.
"Maaf, Mas ini wisatawan atau bagaimana?" tanya salah satu pria tersebut dengan ramah. Pria dengan kulit hitam dan pakaian lusuh itu seketika menarik perhatian Azka. Hatinya merasa miris saat membandingkan kehidupan dirinya yang penuh dengan fasilitas mewah meskipun Azka sendiri lebih menyukai kehidupan sederhana.
"Maaf sebelumnya, perkenalkan saya Azka, dokter yang mendapatkan izin untuk mengabdi di Dusun Gir Pasang," balas Azka dengan ramah.
Kedua pria itu saling melempar pandang lalu menelisik penampilan Azka dari ujung kaki hingga ujung kepala. Mereka sedikit terkejut melihat penampilan gahar Azka yang tak seperti seorang dokter yang pernah mereka lihat dari layar televisi. Apalagi rambut panjang di atas bahu itu Azka biarkan tergerai diterpa semilir angin. Menurut mereka Azka lebih cocok menjadi seorang artis daripada menjadi seorang dokter. Didukung tubuh atletis Azka yang tercetak jelas dari t-shirt putih yang dikenakannya, profesi dokter jelas tidak sesuai dengan penampilan dirinya.
"Oh jadi Anda dokter itu. Kepala Dusun kami sudah menyampaikan jika hari ini akan datang seorang dokter dari kota. Dan kami memang ditugaskan untuk menjemput dokter tersebut," terang salah satu warga yang memiliki kulit sedikit lebih terang dari satunya yang tadi lebih dulu menyapa.
"Kebetulan itu saya." Azka tersenyum ramah seraya membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat.
"Mari ikut kami!" ajak pria berkulit gelap tadi.
Akhirnya dengan sedikit memaksa pria berkulit gelap itu berhasil mengambil alih tas ransel dari tubuh Azka. Sepanjang perjalanan yang tak terasa itu Azka begitu menikmati pemandangan indah di dusun tersebut. Obrolan ringan bahkan guyonan dari kedua pria itu sesekali membuat Azka tertawa. Dengan logat khas mereka yang terdengar kaku saat berbicara dengan bahasa Indonesia.
Tadi Azka sempat mengecek ponselnya sebelum menuruni anak tangga. Saat mereka memutuskan beristirahat sebentar Azka manfaatkan untuk mengecek ponselnya kembali. "Mas di sini nggak ada sinyal hehehe," ujar Joko, pria berkulit gelap saat melihat Azka tampak serius dengan layar pipih di tangannya.
"Iya Mas, saya hanya ingin tahu apa benar di sini nggak ada sinyal," balas Azka dengan terkekeh pula.
"Itu pacarnya ya Mas?" Jiwa keingintahuan Joko meronta saat melihat foto gadis cantik terlihat di layar ponsel milik Azka. Mereka bertiga duduk berdampingan sehingga Joko dan Junaidi bisa melihat dengan jelas foto di layar ponsel milik Azka.
"Bukan pacar Mas tapi calon istri saya," jujur Azka meskipun dari foto kedua yang dikirimkan oleh Kia adiknya foto Letta tak terlihat jelas wajahnya. Dan foto gadis yang dilihat oleh kedua pria dusun itu adalah foto adiknya sendiri.
Di dasar hati, Azka mulai penasaran dengan sosok Letta yang sekarang. Azka mengelus foto yang hanya berupa siluet gadis itu dengan ujung jarinya. "Tunggu Abang pulang, Sayang!"
__________________&&&_________________
Judul Buku : My Sexy Doctor
Author : Farasha