8 - Perasaan yang Memburuk

1980 Words
Sejak kemarin, Adin tidak pernah sekalipun mau menemui Faira sebanyak apa pun bujukan yang sudah diberikan. Namun, Faira sama sekali tidak mau putus asa. Tentu saja, karena seumur hidup hampir mustahil ia bisa menemukan sahabat yang penuh manfaat sejenis Adin. Maka, Faira menghadang mobil Adin di gerbang kampus. Tanpa memedulikan klakson yang terus Adin bunyikan, Faira memukul kap mobil terlebih dahulu, lalu masuk ke kursi samping kemudi. “Masih ngambek seriusan gara-gara kemarin, Din? Maaf kalau gitu ... soalnya kamu lama banget, dan aku juga nggak bisa nolak ajakan calon mertua aku—” “Kirim pesan pas kamu masuk mobil camermu ‘kan bisa, Fai. Ah, kamu ... kamu ngerti nggak, sih? Aku tuh kemarin pusing muterin satu universitas cuman buat nyari kamu, nanya-nanya kamu sama orang lain, ngira kamu diculik, k*****t!” Faira merasakan bahwa Adin sudah melunak padanya. Ia tidak lagi ragu menunjukkan senyum geli pada Adin, dan seperti biasa, Faira melakukan hobinya lagi ketika gadis di samping ini marah; menusuk-nusuk pipi tembam Adin dengan ujung telunjuknya. “Alah ... aku minta maaf. Itu beneran, aku itu langsung masuk ke mobil Om Anton, langsung diajakin ngobrol, lupa, deh. Sorry banget, Din.” Penuh keseriusan, Faira meminta maaf. Ucapannya ditambah sedikit kebohongan, karena sebenarnya, ia masih ada waktu luang setelah diangkut oleh Anton dalam mobilnya. Namun, memang, Faira benar-benar lupa untuk menghubungi Adin. Namun, karena teringat dengan kepergiannya bersama Anton kemarin, Faira langsung berseru antusias. “Aku mau tunjukkin sesuatu sama kamu, Din. Kamu ke toko Sultahira!” ucap Faira penuh semangat. “Ngapain ke sana?” balas Adin sembari mengarahkan wajah bingungnya pada Faira, tetapi matanya masih fokus pada jalanan karena kondisi sore ini agak ramai. “Udah, ke sana aja!” “Aku lagi bokek, Fai. Aku cuman bisa traktir sekali setahun pas kamu ulang tahun aja.” Faira terkekeh ringan mendengar penuturan tersebut. “Udah. Ikutin aja apa yang aku bilang. Kali ini, aku yang traktir di sana.” Meski jalanan sedang ramai-ramainya, Adin tetap menoleh pada Faira karena ucapan mengejutkannya barusan sebelah alis Adin terangkat, menunjukkan kebingungan sempurna, serta keterkejutan kentara. “Dapat duit dari mana kamu? Camer kamu ngasih banyak uang?” Adin kembali menghadapkan fokusnya pada jalanan. “Jangan banyak nerima barang-barang dulu dari calon mertua kamu. Perjodohan kalian belum pasti. Steve belum tentu mau sama kamu ... ya walaupun kamu cantik. Bahkan, kalau pun dia suatu saat mau sama kamu, tetap aja ada kemungkinan pernikahan kalian belum tentu terjadi. Amit-amit deh, Fai, kamu malah dimintain ganti atas semua pemberian calon mertua kamu itu. Kamu bukan cuman bakalan kena kanker—kantong kering—doang, tapi pasti kamu bakalan langsung kritis,” ujar Adin menjelaskan panjang lebar dengan penuh kekhawatiran kentara. Namun, seperti biasa, semua ucapan serius Adin yang tidak ingin didengar akan langsung dibuang oleh Faira. “Yakali orang sekaya Om Anton mau ngambil balik uangnya yang nggak seberapa, Din. Uangnya Om Anton tuh bukan milyaran rupiah lagi, tapi milyaran dolar. Yang dia kasih ke aku paling seuprit dari upilnya aja.” “Tapi, tetep aja, Fai ....” Adin kembali memperjelas ucapannya tadi dengan berbagai berita yang ia baca di internet mengenai mertua atau mantan pasangan yang meminta kembali uang pada menantu atau mantan pasangan mereka. Ia sangat tidak ingin Faira terjebak masalah sekonyol itu. Namun, yang dinasehati malah tidak acuh. Faira tersenyum menghadap keluar, dan menikmati teriknya matahari sore dengan mata terpejam. Sangat mustahil seorang Anton Pramono—menurut Faira—akan mempermasalahkan harta yang sedikit itu. “Kamu beneran mau ke sini?” tanya Adin, setelah menghentikan mobilnya depan toko berlantai dua. Ia tampak sangat ragu, berbanding terbalik dengan Faira yang sangat bersemangat turun dari mobil, bahkan membukakan pintu khusus untuk Adin. Ketika merasa sahabatnya itu terlalu lamban, maka Faira segera menarik tangan Adin untuk keluar. Tidak membiarkan sedikit pun kalimat protes dikeluarkan oleh Adin. Mereka langsung memasuki toko. “Selamat datang, Nona Faira ... selamat datang.” Baru pertama kali masuk, penjaga pintu sudah mengenali Faira dengan baik, baru menyapa Adin. Hal itu sontak saja memancing kerutan bingung muncul di kening Adin, tetapi ia masih tidak bisa bertanya apa pun, karena lengannya segera diseret untuk masuk lebih dalam. “Kamu bisa pilih apa ... pun di toko ini!” ucap Faira dengan senyum bangganya, tidak lupa merentangkan tangan untuk memperjelas ucapannya. “Apa pun, Adin.” “Kamu dikasih berapa sama calon mertua kamu, Fai? Gila aja!” “Udah ih, ambil aja apa pun yang kamu suka di sini. Eh tapi, jangan banyak-banyak juga. Ntar aku dikira matre. Pilih dua barang aja, abis itu pulang!” balas Faira lebih santai dibandingkan Adin yang sedikit histeris atas pernyataan sahabatnya itu. “Seriusan ini, Fai? Ini toko barang mahal, Fai. Barang paling murah, minimal 500 ribuan! Gila aja kalau milih dua barang!” “Halah! Udah sana, milih! Cepetan, soalnya aku udah ada janji sama Darren buat ketemuan di tempatnya,” ujar Faira, lalu memilih memasuki tempat di mana aksesoris dipajang. Dari berbagai macam brand. Faira bisa memilih anting, kalung, gelang, jam tangan, atau apa pun yang dia mau. Ah, ini bahkan baru menjadi ‘calon’ menantu orang kaya, sudah bisa menguasai satu toko. Apalagi jika sudah berstatus menantu keluarga Pramono. Faira pasti bisa membeli apa pun di toko mana pun, dan di negara mana pun hanya dengan menunjuknya. Memikirkan hal itu, sudah bisa memicu jumlah produksi air liurnya meningkat sehingga Faira harus meneguk ludah beberapa kali. * Niatan untuk memilih empat barang saja; masing-masing dari mereka dua barang, ternyata tetap saja memakan waktu yang terbilang lama. Faira bahkan harus membatalkan janji temunya bersama Darren, dan sebagai gantinya akan datang besok ke acara balapannya. “Gila aja keluarga Pramono. Beneran gila, anjir. Sumpah, aku nggak bisa berkata-kata lagi, Fai. Ini itu sebutannya ‘tunjuk, ambil, pegi’ dalam kehidupan nyata. Gila ... kamu beruntung banget punya mertua yang super royal.” Deretan pujian terus diutarakan Adin dari mereka memasuki mobil usai belanja, hingga keduanya berada di kamar Adin. “Iya dong. Makanya aku bilang, santai aja. Isi toko itu paling cuman ujung kuku dari uangnya Om Anton,” ucap Faira saat ia mencocokkan dress di depan tubuhnya. Kemudian dipadupadankan dengan Stiletto merah marunnya. “Anjir ... si Steve nggak ada adik cowok?” tanya Adin. Faira terkekeh ringan karena pertanyaan itu. “Nggak ada. Steve ‘kan anak tunggal. Kalau mau ikutan nyicip uangnya Om Anton, kamu jadi sugar babinya Om Anton aja.” Mata Adin langsung menatap nyalang pada Faira. Namun, bukannya merasa bersalah, Faira malah tergelak ringan sembari memukul ringan bahu Adin. “Om Anton tipe setia. Liat aja gimana setianya beliau sama mendiang istrinya. Jadi, hampir mustahil Om Anton mau ngoleksi anak gula,” ucap Faira, meluruskan maksudnya. “Eh beneran, Din. Kau coba usaha deket-deketan sama Om Anton. Kalau dia beneran kepincut sama kamu, kamu juga ikut kecipratan kekayaannya beliau, tau!” “Ogah!” balas Adin, malas. Ia merotasi bola matanya untuk menetralkan ekspresinya yang terkesan berlebihan beberapa menit yang lalu. “Mending nikung pangeran Brunei.” “k*****t!” hardik Faira, sekali lagi memukul bahu Adin meski tidak terlalu keras. “Jadi sugar baby-nya Om Anton aja udah termasuk halu ketinggian, Din, apalagi jadi calonnya pangeran Brunei. Hidih!” “Bicit!” balas Adin, tidak acuh. Ia mengenakan jam tangannya, serta sebuah tas yang dipilih tadi. Sungguh, tadi itu banyak barang yang menyilaukan mata di toko pencekik dompet tadi. Namun, Adin juga sama tidak mau disebut matre, maka dari itu, ia memilih dengan seksama barang yang akan dibeli, hingga memakan waktu berjam-jam. Sekarang pun, Adin sedikit menyesal karena tidak memilih beberapa barang lain yang juga sama-sama menarik perhatiannya di toko tadi. “Lain kali, ajakin aku ke sana lagi ya, Fai? k*****t lah, aku nyesel nggak pilih kalung tadi. Ih ... seriusan, gemes banget. Semoga nggak ada yang ambil kalungnya sampai kita balik ke sana lagi.” Adin mendudukkan dirinya dengan lesu di pinggir tempat tidur. Ia menimbang-nimbang tasnya dengan senyum di bibir. “Gini ya ternyata, rasanya pegang barang branded yang ori. Aku bahkan takut pegang-pegang, khawatir bakalan kegores. Uh, ini 20 jutaan. Aku harus nabung setahunan buat ngumpulin segitu,” ujar Adin ketika masih menilik tampilan dari tas tangannya yang berwarna krem ini. “Santai aja. Setelah aku beneran udah nikah sama si Steve, aku nggak bakalan lupain kamu. Pasti bakalan kuajak buat belanja tiap hari—aku yang traktir.” “Enak banget hidup kamu, Fai. Oke kalau gitu, aku bantuin kamu deket sama Steve. Eh tapi, ini bukannya kedengeran matre banget nggak, sih? Kamu nikah sama dia beneran cuman karena harta, Fai? Gimana nih, ya, kalau mendadak Pak Anton itu bangkrut. Nggak ada duit. Lebih buruk kondisinya daripada kamu sekarang?” Faira kikuk sebentar. “N—nggak bakalan lah. Yakali usahanya Om Anton rusak dalam semalam. Kalau pun menjelang bangkrut, pastinya Om Anton udah tahu caranya perbaiki masalah dalam perusahaannya. Jadi, mustahil lah, mustahil Om Anton bangkrut. Lagian, aku nggak 100% nikah sama Steve karena hartanya kok. Aku nikah sama Steve 5% aku merasa udah cinta sama dia, dan 15% karena dia ugh ... maskulin, ganteng, berotot, keren .... Gila ... gila.” “Sadar, Fai. Otak kamu beneran udah gesrek! Parah, anak gadis kok bahas begituan!” Faira belum sempat membalas teguran Adin, tetapi pintu kamarnya sudah diketuk. Disusul seruan dari ibunya. Faira segera keluar bersama Adin, untuk memamerkan tampilan barunya saat ini. “Beli baju lagi kamu, Faira? Astagfirullah, hemat-hemat, Nak. Kamu masih harus bayar uang kuliah—” “Ini ditraktir Om Anton, bagus nggak?” Faira segera memotong, agar ibunya tidak lanjut berceramah. Benar saja, Maya langsung berhenti bicara, beralih mengamati tampilan putrinya saat ini. Kerutan tidak nyaman mendadak muncul di keningnya ketika ia melihat dress di tubuh putrinya itu. “Wih, yang sudah jadi calon menantu kesayangan.” Dari arah dapur, Rizal datang memberikan komentar atas obrolan Faira dan Maya tadi. “Bagus, Fai. Harganya mahal, nggak?” “Hm ....” Faira bergumam pelan, dengan senyum malu-malunya. “Aku bilang nggak nih, Yah?” Tanpa menunggu jawaban sang Ayah, Faira langsung menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah kanannya untuk membentuk huruf V. “Dua digit, Yah.” “Astaga, kamu beneran porotin si Anton!” Rizal tampaknya tidak masalah dengan hal itu, malah terkekeh geli. “Kalau udah gitu, kamu juga harus tingkatkan kualitas diri, Faira. Sana, masak sama ibu kamu! Jangan cuman ngabisin uang mertua aja nomor satu!” Faira yang semula bahagia karena merasa didukung oleh ayahnya, seketika cemberut. Ia tetap masuk ke kamar, untuk berganti pakaian dulu, lalu menuju dapur bersama Adin. Sahabat Faira itu memang sudah menganggap rumah ini seperti rumah sendiri, bahkan bersih-bersih dan memasak pun, seperti di rumah sendiri. Sementara kedua anak gadis itu sudah berlalu, Rizal malah beralih pada istrinya yang mendadak diam dengan raut tidak nyaman. Ia mendekat, merangkul istrinya, tidak lupa memberi senyum hangat. “Kenapa, hm? Mau aku beliin kayak gitu juga?” Rizal mengangkat alisnya dua kali, seolah menggoda, tetapi hal itu malah mendapat cibiran dari sang istri. Sama sekali tidak tersinggung, Rizal malah tertawa ringan. “Aku bukannya peduli sama pakaiannya Faira. Cuman ... perasaanku kok nggak enak, ya? Nggak enak banget sampai ... aku khawatir Faira kenapa-napa. Kamu tahu gimana sifat anaknya Anton? Jangan main jodoh-jodohin kayak gitu. Ini bukan masalah anak kita bakalan jadi menantu orang kaya; tapi mental dan fisiknya nanti bakalan dikasih beban lebih banyak daripada sekarang, seumur hidup lagi. Kalau suaminya beneran baik, nggak masalah. Siapa yang tahu sifatnya Tyler? Dia katanya lepas pengawasan dari Anton selama bertahun-tahun? Ini tentang sisa umur Faira, Mas. Nggak bisa ... nggak bisa disepelekan.” Panjangnya penjelasan Maya, hanya ditanggapi oleh kekehan ringan dari Rizal. Ia semakin mengeratkan tangannya yang bertengger di bahu seberang milik sang istri. “Kamu tenang saja. Aku nggak bakalan asal lanjutkan perjodohan, kok. Pasti bakalan diskusi lanjutan sama Anton. Nggak usah khawatir, oke?” Namun, Maya tidak bisa mengikuti saran suaminya untuk tenang. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD