Dua

1721 Words
Setelah keluar dari pintu tol Sentul, Bogor. Mobil Zayn melaju menuju desa Bojong Koneng. Tujuan mereka kini menuju ke air terjun Bidadari. Beberapa jam berkendara, Zayn memarkirkan mobilnya di parkiran yang tersedia lalu mengajak Belva berjalan kaki. Dia tahu Belva bukan gadis manja yang tak suka berjalan kaki, karena Belva kini justru sudah berjalan lebih dahulu. Udara sejuk seolah menyambut mereka ketika mereka berada tepat di hadapan air terjun Bidadari. Zayn menyewa satu buah gubuk untuknya dan Belva lalu mereka memesan makan dan juga es kelapa yang tersedia. Zayn sangat menikmati makan siangnya yang hampir kesorean itu, ditemani panorama alam yang indah membuat hidangan yang tersaji kian nikmat. Belva mendesah kecewa ketika sinyal ponselnya tak terisi penuh sehingga dia kesulitan mengakses beberapa situs yang dibutuhkan untuk pekerjaannya. Hingga akhirnya dia melepas ponsel yang biasa selalu menempel di tangan itu sepenuhnya, bersandar di salah satu tiang gubuk, memperhatikan pengunjung yang datang bersama keluarga mereka, tampak menikmati berenang di air dingin yang turun langsung dari pegunungan itu. “Wajahnya sedih banget?” ujar Zayn, karena Belva tampak memperhatikan satu keluarga kecil, sang ayah membantu anaknya berenang, sementara ibunya tampak memotret mereka sambil terus tersenyum lebar. Hal yang tak pernah Belva dapatkan selama ini. “Ah nggak kok, hanya itu lagi lihat anak kecil, anaknya lucu,” ucap Belva, mengalihkan pandangan menuju para remaja perempuan yang asik berkumpul dengan teman-temannya dan saling mencipratkan air lalu tertawa bebas. Dia juga hampir tak mendapatkan itu, sikapnya cukup dingin dulu, yang ada di otaknya hanya belajar, belajar dan belajar, karenanya dia hanya mempunyai sedikit teman. Salah satunya Renata, orang yang bisa dianggapnya teman meskipun sebenarnya dia merupakan bosnya, sikap polos Renata membuat Belva nyaman bersama dengannya. Termasuk Willi yang ramah dan hangat, namun mereka bertemu justru setelah dewasa, sehingga tak dapat menghabiskan waktu bermain-main seperti itu. Terkadang Belva menyesali, mengapa dia melepas masa remajanya yang indah dengan berkutat pada rumus dan angka? Disaat gadis seusianya yang lain akan menangis karena putus cinta, justru satu-satunya hal yang dapat membuatnya menangis adalah ketika dia mendapatkan angka dibawah sembilan puluh untuk nilainya. Dia akan sangat sedih bahkan hampir depresi. “Sejak kapan suka anak-anak?” sindir Zayn yang kini sudah menumpuk piring bekas makannya dan memanggil pelayan untuk membereskan piring-piring itu. Pelayan wanita itu tersenyum kepada Zayn yang memberikan tip cukup besar kepadanya, karena cekatan dalam pekerjaannya. Belva tak menanggapi ucapan Zayn, dia lebih fokus melihat anak remaja itu yang kini saling bermain menceburkan temannya bergantian ke dalam air. “Oiya bagaimana keluarga kamu?” tanya Belva. Zayn yang sedang menyesap air kelapa menggunakan sedotan itu pun mengangkat wajahnya dan menatap Belva. “Baba masih koma, tahun ini merupakan tahun ke sepuluh dia terbaring antara hidup dan mati,” ucap Zayn. Belva mengernyitkan keningnya, dulu dia hanya tahu bahwa ayah Zayn sakit namun dia tak tahu jika ayahnya itu koma, di Turki, orang biasa memanggil Baba untuk ayah dan Anne atau ana untuk ibu. “Koma? Kamu nggak pernah cerita?” tanya Belva. “Aku nggak mau kamu memandang aku dengan tatapan kasihan,” kekeh Zayn membuat Belva mendengus. “Jauh lebih menyedihkan kehidupan aku!” sungut Belva, “kalau boleh tahu kenapa sampai koma?” lanjutnya. “Ingat saat kita olimpiade matematika sepuluh tahun lalu? Sepulang dari olimpiade itu mobil Baba kecelakaan, saat berniat menjemput aku, dan otaknya cedera dan Baba koma sampai sekarang,” tutur Zayn. “Kasihan, lalu ibu kamu bagaimana?” tanya Belva. “Anne? Baik-baik saja, dia yang merawat Baba selama ini,” ucap Zayn. Belva tahu Anne atau ibu Zayn adalah ibu sambungnya karena ibu kandung Zayn yang merupakan wanita berkebangsaan Indonesia itu meninggal tak lama setelah melahirkan Zayn. “Bagaimana dengan Bunda Tere?” tanya Zayn, menyebut nama ibu panti yang mengasuh Belva sejak bayi. Mereka memang pernah saling bercerita namun hanya sekilas saja, hanya seolah seperti bertukar informasi karena usia muda mereka membuat gengsi mereka kian tinggi mencurahkan segala keluh kesah yang tersirat. “Baik, masih sibuk ngurus panti,” jawab Belva. “Kamu sudah bertemu dengan ibu kandung kamu?” tanya Zayn, melihat ke arah Belva yang ekpresinya berubah menjadi tampak sedih. Bukan maksud Zayn membuka luka hati Belva, namun dia ingin lebih dekat dengan wanita itu, dan sepertinya waktunya tepat sekarang ini. “Aku nggak pernah mencarinya,” ucap Belva, mengambil kelapa yang telah dibuka atasnya itu dan menyesapnya, rasa manis air kelapa bercampur dengan gula mampu melepas dahaga di tenggorokan. “Kenapa?” “Takut ditolak, bukankah dia telah membuangku dahulu?” tanya Belva seolah ke dirinya sendiri. “Dia pasti punya alasan melakukan itu,” tukas Zayn. Belva hanya terdiam tanpa mau menanggapi, dia sangat tak ingin membicarakan hal itu saat ini. *** Hari semakin sore, Zayn pun mengajak Belva turun dan kembali pulang, lelaki itu ingin menunjukkan huniannya kepada Belva, tempat tinggalnya selama beberapa bulan ini. Mobil Zayn memasuki sebuah komplek perumahan yang bisa terbilang cukup elite, dia menekan remote untuk membuka gerbang otomatis rumah nya. Rumah itu tak terlalu besar, hanya terdiri dari dua lantai dan mungkin hanya ada empat kamar di dalamnya, namun halamannya cukup lebar dan rumah itu sudah dilengkapi smart asisten untuk membantu memudahkan sang pemilik. Belva bisa melihat gerbang yang tertutup sendiri bergantian dengan pintu rumah yang terbuka ketika Zayn menekan remote di tangannya. “Sewa atau beli?” tanya Belva. “Awalnya sewa, tapi kemudian aku membelinya, harganya fantastis karena pemiliknya nggak mau melepasnya,” kekeh Zayn, Belva hanya mengerucutkan bibirnya, dia tahu Zayn memang dari keluarga berada sejak dahulu. Mungkin baginya tak perlu bersusah payah untuk mencari uang karena pundi keuangannya selalu terisi setiap menit dari usaha keluarganya. “Sudah sejak awal dilengkapi smart asisten?” tanya Belva sambil membuka sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah yang tersedia di rak sandal tepat setelah pintu masuk. “Nggak, itu pengembangan dari produk yang aku buat,” ucap Zayn. “Hmmm apa usaha kamu juga berhubungan dengan smart asisten?” tanya Belva lagi, kini berjalan mengekori Zayn yang sudah mengedikkan dagu ke arah sofa lebar yang tampak sangat nyaman, menghadap televisi berukuran sangat besar yang menempel di dinding. Belva duduk di sofa itu, dan memperhatikan robot pembersih lantai yang berada di sudut ruangan. “Kita mau bahas bisnis sekarang?” kekeh Zayn. Menyalakan televisinya dan memberikan remote itu ke Belva agar wanita itu tak bosan. Belva mendengus, dia memang mempunyai rasa penasaran yang tinggi akan hal-hal yang menurutnya baru. Zayn mengambil jus di kulkas dan menuangkan ke gelas lalu memberikan ke Belva, dia juga mengambil toples kue kering dan meletakkan di meja dekat Belva. “Ya, bangunan yang aku kerjakan memakai smart sistem semua, masih terbilang baru di negara ini jadi saingannya nggak terlalu banyak,” ucap Zayn. “Pintar cari peluang,” seloroh Belva, membuat Zayn tersenyum lebar. Belva menyesap minumannya yang terasa sangat manis. Dia pun meletakkan gelas itu di meja dekat toples kue kering. “Aku mandi dulu ya, lengket. Kamu mau mandi juga nggak? Bagaimana kalau kita mandi bareng?” ucap Zayn nakal. “m***m!” rungut Belva membuat lelaki itu tertawa, dia pun meninggalkan Belva yang sudah mengganti channel televisi, rasanya sangat bosan. Dia pun mencari menu di televisi itu dan menemukan kolom pencarian youtube, sebaiknya dia memutar video musik yang dia suka dari kanal tersebut sambil menunggu Zayn menyelesaikan mandinya. *** Zayn sudah memakai kaos putih oblong santainya, dengan celana panjang bahan yang persis seperti piyama. Lalu duduk di samping Belva yang sedang memainkan ponselnya, tangan Belva lincah menari diatas keyboard ponsel seolah melakukan pekerjaan besar. Aroma parfum yang dipakai Zayn membaui hidung Belva. Dia pun menoleh dan mendapati Zayn yang menatapnya lekat. “Ada apa?” “Kamu sudah punya pacar?” tanya Zayn membuat Belva memberikan tatapan sinisnya. “Belum, kenapa?” “Pernah pacaran?” “Ya pernah lah, memangnya aku tinggal di hutan!” ketus Belva membuat Zayn tertawa. “Terus alasan putus, biasanya karena apa?” Zayn mengangkat sebelah kaki dan melipatnya, lalu menopang wajah dengan tangan di sandaran sofa, menghadap ke arah Belva yang sudah tak tertarik dengan ponsel di tangannya itu. “Hmmm apa ya, rasanya sama semua sih, membosankan,” ucap Belva. Dia memang pernah menjalin hubungan dengan pria, namun dia merasa semua pria sama, dan sangat membosankan. Alasan dia berpacaran pun sangat klasik, dia tak mau dianggap penyuka sesama jenis karena penampilannya yang tomboy, dan dia tak suka ketika kekasihnya mulai mengaturnya, meminta memakai pakaian wanita atau memanjangkan rambutnya. Hal sepele sih namun itu merupakan prinsip yang tak ingin Belva ubah. “Coba sama aku, pasti nggak membosankan,” ucap Zayn dengan percaya diri. “Terus pacar-pacar kamu mau di kemanain?” “Aku nggak punya pacar, yang terakhir putus setahun lalu dan sampai sekarang masih setia dengan status single,” ucap Zayn. Jika Belva putus dengan kekasihnya karena alasan sang kekasih yang mengaturnya. Berbeda dengan Zayn, kebanyakan wanita yang mendekatinya karena hartanya, mereka akan memberikan kasih sayang penuh ketika dirinya menghadiahkan sesuatu, dan sikapnya berubah jika Zayn tak membelikan apa yang mereka inginkan. Beberapa diantaranya hanya hobi memamerkan rupa Zayn yang lumayan tampan itu, Zayn bahkan tak melihat mata penuh cinta yang disiratkan dari para wanita yang pernah dipacarinya itu. “Aku lagi nggak mood pacaran,” jawab Belva sambil menyandarkan kepalanya di sofa. Tubuhnya mulai terasa lelah kini dan dia ingin beristirahat namun entah mengapa bersama Zayn membuatnya sedikit senang, ada saja bahan pembicaraaan yang dilontarkan Zayn yang membuatnya kian tertarik. Dan Belva sedang menimbang perasaannya sendiri, apakah dia masih merasakan rasa yang dulu pernah hadir diantara mereka? Rasa berdebar bahkan jika hanya melihat namanya saja. Rasa yang harus dipendam rapat-rapat karena dia merasa tak mungkin bisa bersanding dengan Zayn. Rasa yang membuat mulutnya terbungkam, karena berpikir Zayn menciumnya hanya untuk melampiaskan kekesalan karena telah mengalahkannya itu. Terlebih setelah hari itu, Zayn tak mengiriminya kabar lagi, namun kini Belva tahu alasan Zayn tak menghubunginya karena kecelakaan yang dialami ayahnya. Belva sedikit menyesal harusnya dulu dia lebih membuka dirinya, mungkin dia dan Zayn sudah menjalani romansa percintaan yang sesungguhnya kini. “Va, jujur aku merindukan kamu, butuh waktu lama untukku menemui kamu. Dan hari ini aku menyadari bahwa aku benar-benar telah jatuh cinta sama kamu,” ucap Zayn, hari yang semakin malam membuat pikiran tenangnya mendorong lebih keras untuk mengutarakan apa yang ingin diucapkannya. Belva hanya terdiam, lidahnya kelu hingga Zayn mendekatkan wajahnya dan Belva dapat menghirup aroma mulutnya yang harum dengan jarak sedekat itu. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD