Lima Puluh Lima

1734 Words
MISS Streep beranjak ke tempat tidur setelah usai pemutaran film ‘c***k’ pada pukul sebelas. Beberapa kali ia mengundangku duduk bersamanya sesudah makan malam dan menonton televisi, tapi sejauh ini aku selalu bisa mencari alasan yang tepat. Aku duduk pada anak tangga di luar apartemenku, menunggu rumahnya gelap. Aku bisa melihat siluetnya bergerak dari satu pintu ke pintu berikutnya, memeriksa kunci-kunci, menarik tirai. Aku rasa orang tua jadi terbiasa dengan kesepian, meski tak seorang pun ingin melewatkan tahun-tahun terakhirnya terasing seorang diri, terpisah dari orang orang yang dicintai. Ketika masih muda, aku yakin ia tentu membayangkan masa depan dengan penuh keyakinan bahwa tahun-tahun ini akan ia lewatkan dengan dikelilingi para cucu. Anak-anak Mom sendiri akan tinggal berdekatan, setiap hari mampir untuk menengoknya, membawakan bunga, makanan kecil, dan hadiah. Miss Streep tidak merencanakan untuk menghabiskan tahun-tahun terakhirnya seorang diri, di sebuah rumah tua dengan kenangan yang kian memudar. la jarang bicara tentang anak dan cucunya. Ada beberapa foto terpajang di sana-sini, tapi, dinilai dari gayanya, foto-foto itu sudah cukup lama. Sudah beberapa minggu aku tinggal di sini, dan tak sekali pun melihat ada kontak antara dia dan keluarganya. Aku merasa bersalah karena tidak duduk menemaninya di waktu malam, tapi aku punya sendiri. la terus-menerus menonton film-film tua yang konyol, dan aku tak tahan melihatnya, Aku tahu ini, sebab ia terus-menerus bicara tentang film film itu. Plus, aku perlu belajar menghadapi ujian. Ada alasan baik lainnya mengapa aku tetap menjaga jarak. Miss Streep sudah melontarkan isyarat kuat bahwa rumah itu perlu dicat, ia ingin segera membereskan penaburan pupuk, agar punya waktu untuk proyek berikutnya. Hari ini aku menyusun dan mengeposkan surat untuk seorang pengacara di Savannah, membubuhkan tanda tanganku sebagai paralegal pada Jones Craig, dan di dalamnya aku mengajukan beberapa pertanyaan tentang harta Aaron Wesly, suami terakhir Miss Streep. Aku menggali perlahan-lahan, tanpa mendapatkan banyak hasil. Lampu kamar tidurnya padam. Aku menuruni anak tangga yang berkeriutan dan berjingkat dengan kaki telanjang melintasi halaman rumput yang basah, menuju buaian cabik yang terayun-ayun berbahaya di antara dua pohon kecil. Kemarin malam aku berayun-ayun di situ selama satu jam tanpa mendapat kecelakaan. Memandang ke balik pepohonan, buaian itu memberikan pemandangan bulan purnama yang memesona. Aku berayun-ayun pelan. Hawa malam itu hangat. Perasaanku resah sejak episode Van Nozick di rumah sakit hari ini. Aku mulai kuliah hukum tak sampai tiga tahun yang lalu, dengan cita-cita mulia bahwa suatu hari dengan izin praktek aku akan memperbaiki masyarakat dengan cara sederhana, menjalankan profesi terhormat sesuai kitab-kitab etika yang kupikir dijunjung tinggi oleh semua pengacara. Aku benar-benar percaya akan hal ini. Aku tahu aku tidak akan bisa mengubah dunia, tapi aku berangan-angan untuk bekerja dalam lingkungan bertekanan tinggi, penuh orang-orang pandai yang berpegang teguh pada seperangkat standar tinggi. Aku ingin bekerja keras dan tumbuh dalam profesiku, menarik klien bukan karena iklan licik, melainkan karena reputasi. Dan seiring dengan meningkatnya keterampilan serta uang jasaku, aku akan bisa menangani kasus-kasus dan klien yang tidak populer, tanpa beban mendapatkan bayaran atau tidak. Impian-impian ini bukan hal luar biasa bagi mahasiswa mahasiswa hukum yang baru mulai kuliah. Demi sekolah hukum itu, kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar dan berdebat tentang etika. Mata kuliah itu mendapat tekanan sangat besar, sehingga kami beranggapan profesi ini dengan tekun melaksanakan seperangkat tuntunan kaku. Sekarang aku kecewa dengan kenyataan sebenarnya. Selama satu bulan terakhir ini, aku telah menemui pengacara-pengacara sejati yang satu per satu membuyarkan semua impianku. Martabatku diturunkan sampai menjadi pemburu gelap di kafetaria rumah sakit, untuk seribu dolar sebulan. Aku muak dan sedih melihat apa yang terjadi padaku, dan aku terguncang dengan cepatnya diriku jatuh. Sahabat terbaikku di college adalah Paul Sweezy. Selama dua tahun kami berbagi kamar. Aku hadir pada pernikahannya tahun lalu, Sweezy punya satu cita-cita ketika kami mulai kuliah di college, yaitu mengajar sejarah di sekolah menengah. la sangat cerdas dan college terlalu mudah baginya. Kami kerap berdiskusi lama tentang apa yang akan kami kerjakan dengan hidup kami. Awalnya aku pikir ia merendahkan diri karena berniat mengajar, dan ia jadi gusar ketika aku membandingkan profesi masa depanku dengannya. Aku akan mengumpulkan banyak uang dan mencapai sukses pada tingkat tinggi. Ia akan menuju ruang kelas, tempat gaji tergantung pada faktor-faktor di luar kendalinya. Sweezy meraih gelar master dan menikah dengan seorang guru. Ia sekarang mengajar sejarah dan ilmu sosial di kelas sembilan. Istrinya sedang hamil dan mengajar di taman kanak-kanak. Mereka mempunyai rumah indah di tepi kota, dengan kebun serta lahan beberapa hektar, dan mereka orang-orang paling bahagia yang kukenal. Pendapatan bersama mereka mungkin sekitar 50.000 dolar setahun. Namun Sweezy tak peduli dengan uang. Ia melakukan tepat seperti yang selalu ia idamkan. Aku, di lain pihak, tidak tahu apa yang sedang kukerjakan. Pekerjaan Sweezy memberikan kepuasan yang luar biasa, sebab ia membentuk jiwa-jiwa muda. Ia bisa membayangkan hasil kerjanya. Aku, di lain pihak, akan pergi ke kantor besok, dengan harapan bisa menangkap klien yang tidak menaruh curiga dan sedang bergelimang penderitaan. Seandainya pengacara mendapat gaji sebesar guru sekolah, mereka akan langsung menutup sembilan dari sepuluh sekolah hukum. Keadaan harus membaik. Tapi sebelum itu terjadi, sedikitnya masih ada dua peluang terjadi bencana. Pertama, aku bisa ditahan atau dipermalukan karena kebakaran biro hukum Stone, dan kedua, aku bisa gagal dalam uijan pengacara. Memikirkan kedua hal itu bisa membuatku berkunang kunang di buaian sampai pagi. *** Henry tiba di kantor pagi-pagi sekali, matanya merah dan mabuk, tapi ia memakai pakaian pengacara terbaik— jas wol mahal, kemeja katun putih yang tersetrika rapi, dan dasi sutra mewah. Rambutnya yang berjumbai kelihatan baru dicuci pagi ini. Rambut itu tampak berkilau bersih. 1a akan pergi ke pengadilan untuk memperdebatkan mosi prapengadilan dalam perkara perdagangan obat bius, dan ia penuh semangat serta b*******h. Aku dipanggil untuk berdiri di depan meja kerjanya dan menerima instruksi. "Bagus kerjamu dengan Van Nozick ," ia berkata, terbenam di tengah tumpukan kertas dan berkas. Kru sibuk hilir-mudik di belakangnya, tanpa mengganggu. Ikan-kan hiu itu mengawasinya dengan lapar. "Aku bicara dengan perusahaan asuransi beberapa menit yang lalu. Ganti kerugiannya besar. Tampak jelas siapa pihak yang salah. Seberapa parah luka bocah itu?” Tadi malam aku melewatkan satu jam yang meruntuhkan saraf di rumah sakit, bersama Van Nozick dan istrinya. Mereka punya banyak pertanyaan, terutama berapa banyak yang mungkin mereka dapatkan. Aku punya sedikit jawaban pasti, tapi bermain hebat dengan segala omongan hukum. Sampai sejauh ini mereka tetap bersama kami. "Kaki, lengan, rusuk patah, banyak luka gores. Dokternya mengatakan dia harus tinggal sepuluh hari di rumah sakit." Henry tersenyum mendengar ini. "Tanganilah terus. Kerjakan penyelidikannya. Dengarkan Smith. Ini bisa menghasilkan ganti rugi lumayan.” Lumayan untuk Henry, tapi aku tidak akan mendapatkan jatah imbalan. Kasus ini tidak akan dihitung sebagai penghasilan dariku. "Polisi ingin mendengarkan pernyataanmu tentang kebakaran itu," katanya sambil meraih sebuah berkas. "Aku bicara dengan mereka tadi malam. Mereka akan melakukannya di sini, di kantor ini, dengan kehadiranku.” la mengucapkannya seolah-olah hal ini sudah direncanakan dan aku tak punya pilihan lain. "Dan seandainya aku menolak?" aku bertanya. "Kalau begitu, mereka mungkin akan membawamu ke kota untuk ditanyai. Kalau kau tidak punya apa pun yang perlu disembunyikan, kusarankan kau memberikan pernyataan pada mereka. Aku akan berada di sini. Kau bisa berkonsultasi denganku. Bicaralah dengan mereka, sesudah itu mereka tidak akan mengusikmu." "Jadi, mereka pikir pembakaran itu disengaja?" "Mereka cukup yakin.” "Apa yang mereka inginkan dariku?" "Berada di mana kau waktu itu, apa yang kau kerjakan, kapan, tempat, alibi, hal-hal seperti itulah.” "Aku tak bisa menjawab segalanya, tapi aku bisa mengatakan yang sebenarnya.” Henry tersenyum. “Kalau begitu, kebenaran akan membebaskanmu.” "Biar kutuliskan saja." "Mari kita kerjakan pukul dua nanti.” Aku mengangguk setuju, tapi tak mengatakan apa apa. Rasanya ganjil bahwa dalam keadaan lemas seperti ini, aku sepenuhnya menaruh kepercayaan pada Henry, orang yang tidak akan pernah kupercaya dalam hal lain. “Aku butuh waktu istirahat sebentar, Henry,” kataku. Tangannya terhenti di tengah udara dan ia menatapku. Bro, di sudut sedang mengaduk-aduk lemas arsip, berhenti dan menatap. Salah satu ikan hiu itu sakan-akan mendengarku. "Kau baru saja mulai," kata Henry. “Yeah, aku tahu. Tapi ujian pengacara tinggal sebentar lagi. Aku benar-benar sudah ketinggalan pelajaran.” la memiringkan kepala ke satu sisi dan membelai jenggot. Henry benar-benar punya mata ceria ketika minum dan bersenang-senang. Sekarang mata itu bagaikan laser. "Berapa lama?" "Well. Aku mau datang tiap pagi dan bekerja sampai Siang. Lalu, tergantung jadwal sidang dan janji pertemuan, aku mau pergi ke perpustakaan dan belajar." Usahaku untuk bergurau terasa sangat hambar. "Kau bisa belajar bersama Smith," kata Henry sambil tersenyum tiba-tiba. ltu lelucon, jadi aku tertawa konyol. "Begini saja," katanya, kembali serius. "Kau bekerja sampai Siang, lalu kemasi buku-bukumu dan pergilah ke kafetaria di Santo Petrus. Belajarlah mati-matian, oke? Tapi tetaplah buka mata. Aku ingin kau lulus ujian pengacara, tapi saat ini aku lebih ingin kasus-kasus baru. Bawa telepon seluler, supaya aku bisa menghubungimu setiap saat. Cukup adil bukan?” Mengapa ini aku lakukan? Aku membuat pantatku ditendang dengan menyebut-nyebut ujian pengacara. "Baik," kataku sambil berkernyit. Kemarin malam, di buaian, aku berpikir bahwa dengan sedikit keberuntungan, aku mungkin bisa menghindari Santo Petrus. Sekarang aku malah dipasang di sana. *** Dua polisi yang dulu datang ke apartemenku menghadap Henry, meminta izin menginterogasi aku. Kami berempat duduk di sekeliling meja bundar kecil di tengah kantornya. Dua tape recorder diletakkan di tengah, keduanya dihidupkan. Acara itu dengan cepat jadi menjemukan. Aku mengulangi cerita yang sama seperti yang aku ceritakan kepada dua badut ini saat pertama kali kami bertemu, dan mereka menghamburkan banyak waktu mengulang-ulang setiap aspek kecil cerita itu, mereka berusaha menyudutkanku pada ketidakcocokan detail yang sama sekali tidak penting—”Kupikir kau mengatakan memakai kemeja biru tua, sekarang kau mengatakan biru”—tapi aku mengatakan yang sebenar-benarnya. Tak ada kebohongan yang perlu ditutupi, dan sesudah satu jam mereka rasanya menyadari bahwa aku bukan sasaran mereka. Henry jadi kesal dan lebih dari satu kali meminta mereka untuk terus. Mereka mematuhinya sebentar. Terus terang aku merasa dua polisi ini takut terhadap Henry. Mereka akhirnya berlalu, dan Henry mengatakan itu tadi yang terakhir. Aku sama sekali sudah bukan tersangka lagi; mereka cuma cari dalih untuk menutupi ketidakmampuan mereka. la akan bicara dengan letnan mereka besok pagi dan meminta namaku dicoret dari buku. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Kemudian ia menyerahkan sebuah telepon mungil yang bisa dilipat dałam genggaman telapak tangan. "Bawalah ini selalu," katanya. "Terutama saat kau belajar untuk ujian. Aku mungkin membutuhkanmu segera. Telepon mungil itu sekonyong-konyong jadi jauh lebih berat. Melalui alat itu, aku akan jadi bulan-bulanannya setiap saat. la melepaskanku kembali ke kantor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD