Lima Puluh Sembilan

1867 Words
Hampir pukul delapan ketika aku menyeret tubuh menerobos labirin koridor di jantung Rumah Sakit Santo Petrus dan menemukan meja favoritku diduduki oleh seorang dokter dan perawat. Aku mengambil kopi dan duduk di dekat mereka. Sang perawat sangat cantik dan agak bingung, menilai dari bisik bisik mereka, bisa kukatakan affair mereka sedang gawat. Sang dokter berusia enam puluh tahun dengan cangkok rambut dan janggut baru. Si perempuan umur tiga puluh, dan jelas tidak akan diangkat sebagai istri. Sekadar gundik simpanan untuk sementara ini. Bisik bisik serius. Aku tidak berminat belajar. Aku sudah cukup kenyang belajar sehari ini, tapi aku hanya termotivasi oleh fakta bahwa Bolie masih ada di kantor, bekerja dan bersiap menghadapi ujian itu. Sesudah beberapa menit, dua kekasih itu sekonyong-konyong berlalu. Sang wanita berurai air mata. Sang pria dingin dan tanpa perasaan. Aku duduk dan menggelar catatan, mencoba belajar. Dan aku menunggu. Anne tiba beberapa menit sesudah pukul sepuluh, tapi kali ini seorang laki-laki baru mendorong kursi roda. la melirikku dengan dingin, dan menunjuk ke sebuah meja di tengah ruangan. Laki-laki itu memarkirnya di sana. Aku memandangnya. la memandangku. Aku menduga kalau itu Yarber. la kira-kira setinggi diriku, tidak lebih dari 183 sentimeter, dengan tubuh kekar dan perut mulai membuncit karena bir. Tapi pundaknya lebar, otot biseps menyembul dari T-shirt yang terlalu ketat dan dipakai khusus untuk memamerkan lengannya. Jeans ketat. Rambutnya yang cokelat ikal terlalu panjang untuk disebut bergaya. Lengan dan wajahnya berbulu lebat. Yarber adalah bocah yang sudah bercukur di kelas delapan. la punya mata kehijauan dan wajah tampan yang tampak jauh lebih tua daripada sembilan belas tahun. la melangkah mengitari pergelangan kaki yang ia patahkan dengan pemukul softball dan berjalan ke counter untuk membeli minuman. Anne tahu aku menatapnya. la dengan sangat hati-hati melihat sekeliling ruangan, lalu pada saat terakhir melontarkan kedipan cepat kepadaku. Aku nyaris menumpahkan kopi. Tak perlu banyak imajinasi untuk mendengarkan kata-kata antara mereka berdua akhir-akhir ini. Ancaman, permintaan maaf, permohonan, lebih banyak ancaman lagi. Tampaknya malam ini pun mereka sedang berselisih hebat. Wajah keduanya keras dan tegang. Mereka meneguk minuman diam-diam. Sekali-sekali terucap satu-dua patah kata, tapi mereka seperti dua kekasih muda di tengah acara pacaran mingguan. Satu kalimat pendek di sini, ditimpali jawaban lebih pendek lagi di sana. Mereka saling pandang hanya bila diperlukan, lebih banyak menatap tajam ke lantai dan dinding. Sedang bersembunyi di balik buku. Anne menempatkan diri sedemikian rupa, sehingga bisa melihatku tanpa tepergok. Punggung suaminya hampir menghadap langsung ke arahku. Setiap kali ia melihat sekeliling, namun gerakannya bisa diduga. Aku bisa menggaruk rambut dan menekuni pelajaranku lama sebelum ia bisa melihatku. Sesudah sepuluh menit dalam keheningan, Anne mengucapkan sesuatu yang menimbulkan balasan panas. Aku ingin sekali bisa mendengar. Sang suami mendadak gemetar dan berteriak kepadanya. Ia langsung membalas. Volume makin naik dan aku dengan cepat memahami bahwa mereka sedang berunding, apakah Anne akan memberikan kesaksian memberatkan di pengadilan atau tidak. Sepertinya ia belum mengambil keputusan. Sepertinya hal ini sungguh mencemaskan Yarber. La gampang marah, tidak mengherankan bagi seorang Bojan Krick, dan Anne memintanya agar tidak berteriak. la melihat sekeliling dan mencoba merendahkan suara. Aku tak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Sesudah memanasi, Anne menenangkannya, meskipun sang suami masih sangat murung. la mendidih dan mereka saling tak menghiraukan. Kemudian hal yang sama terjadi lagi. Anne menggumamkan sesuatu dan punggung suaminya menegang. Tangannya gemetar, kata-katanya penuh dengan omongan kotor. Mereka bertengkar selama satu menit, laiu Anne berhenti bicara dan tak menghiraukan. Yarber tidak terima dirinya tak dihiraukan, jadi ia bicara makin keras. Anne menyuruhnya tenangt mereka ada di tempat umum. la jadi makin keras, bicara apa yang akan ia lakukan kalau istrinya tidak mencabut semuanya, dan bagaimana ia akan maşuk penjara, dan seterusnya, dan seterusnya. Anne mengatakan sesuatu yang tak bisa aku dengar; Yarber mendadak memukul cangkir styrofoamnya dan melompat berdiri. Soda itu melayang melintasi separo ruangan, menyemburkan buih ke meja meja lain dan lantai. Minuman itu membasahi Anne. la terengah, memejamkan mata, mulai menangis. Yarber terdengar berjalan mengentak-entakkan kaki dan mengumpat sepanjang gang. Secara naluriah aku berdiri, tapi ia cepat-cepat menggelengkan kepala. Aku duduk. Kasir melihat kejadian ini dan datang dengan sehelai handuk. La memberikannya kepada Anne yang memakainya untuk menyeka Coke dari wajah dan lengan. "Maaf,” katanya kepada si kasir. Gaunnya basah kuyup. la bergulat menahan air mata sambil menyeka balutan gips dan kaki. Aku berada di dekatnya, tapi tak bisa membantu. Aku menduga bahwa ia takut suaminya kembali dan memergoki kami sedang berbicara. Banyak tempat di rumah sakit ini untuk duduk minum coke atau kopi, tapi ia membawa suaminya ke sini karena ia ingin aku melihatnya. Aku hampir pasti ia sengaja memancing kegusaran si suami, sehingga aku bisa menyaksikan kebengisannya. Kami lama saling pandang sementara ia perlahan lahan menyeka wajah dan lengan. Air mata mengalir turun di wajahnya, dan ia menyekanya. la memiliki kemampuan feminin yang sulit dijelaskan untuk mengeluarkan air mata, tanpa kelihatan menangis. Tangannya tidak gemetar. la cuma düdük di sana, di dunia lain, menatapku dengan mata berkaca-kaca, menyentuh kulitnya dengan handuk putih. Waktu berlalu, tapi kehilangan jejak. seorang pembersih cacat datang dan mengepel lantai di sekitarnya. Tiga perawat berbondong masuk sambil berbicara dan tertawa-tawa keras sampai melihatnya, lalu mereka tiba-tiba diana. Mereka menatap, berbisik, dan sekali-sekali memandangku. Yarber sudah cukup lama berlalu, sehingga bisa diasumsikan ia tidak akan kembali, dan pikiran untuk menjadi gentleman terasa menarik. Para perawat itu berlalu, dan Anne perlahan-lahan menggoyangkañ jari telunjuk ke arahku. Sekarang aku sudah boleh mendekat. "Maaf," katanya ketika aku membungkuk di dekatnya. "Tidak apa-apa.” Kemudian ia mengucapkan kata-kata yang tidak akan pernah kulupakan, "Maukah kau membawaku ke kamarku?" Pada setting yang berbeda, kata-kata ini bisa menimbulkan konsekuensi luar biasa, dan seketika pikiranku terapung ke pantai eksotis, tempat dua kekasih muda akhirnya memutuskan untuk b******a. Kamarnya, tentu saja, sebuah bilik semiprivat dengan pintu yang boleh dibuka oleh banyak orang. Bahkan pengacara pun bisa menerobos masuk. Dengan hati-hati aku mendorong Anne dan kursi rodanya berkelok-kelok mengitari meja-meja dan menuju gang. "Lantai lima," katanya. Aku tidak tergesa gesa. Aku bangga dengan diri sendiri karena bersikap begitu jantan. Aku senang melihat bahwa laki laki memandangnya dua kali ketika kami berjalan di sepanjang koridor. Kami sendirian selama beberapa detik di dalam lift. Aku berlutut di sampingnya. "Kau tidak apa apa?" tanyaku. la tidak menangis sekarang. Matanya masih basah dan bersemu merah, tapi sikapnya terkendali. la mengangguk cepat dan berkata, "Terima kasih." Kemudian ia memegang tanganku dan meremasnya de ngan kuat. "Terima kasih banyak.” Lift berguncang dan berhenti. Seorang dokter melangkah masuk, dan ia cepat-cepat melepaskan tanganku. Aku berdiri di belakang kursi roda, bagaikan suami setia. Aku ingin memegang tangannya lagi. Menurut jam pada dinding lantai lima, saat itu hampir pukul sebelas. Kecuali beberapa perawat dan mantri, gang itu sunyi dan kosong. Seorang perawat di kantor melihat dua kali kepadaku ketika kami lewat. Mrs. Marlie pergi dengan seorang laki-laki, dan sekarang ia kembali dengan laki-laki lain. Kami berbelok ke kiri dan ia menunjuk ke pintunya. Sungguh mengejutkan dan menyenangkan bagiku. Ternyata ia punya kamar pribadi dengan jendela dan kamar mandi sendiri. Lampu-lampunya menyala. Aku tidak tahu pasti sejauh mana ia leluasa bergerak, tapi saat ini ia sama sekali tak berdaya. "Kau harus menolongku," katanya. Dan ia hanya mengucapkan itu satu kali. Dengan hati-hati aku membungkuk di atasnya, dan ia melingkarkan tangan pada leherku, la menekan lebih keras daripada yang diperlukan, tapi tak ada keluhan. Gaunnya ternoda oleh soda, tapi aku tak begitu peduli. la begitu memesona, begitu dekat denganku, dan dengan segera aku tahu bahwa ia tidak memakai BH. Aku menekannya lebih keras ke tubuhku. Dengan lembut aku mengangkatnya dari kursi, tugas yang mudah karena bobotnya tak lebih dari 55 kilo, berikut gips dan Iain-Iainnya. Kami bermanuver ke ranjang, bergeser selama mungkin, berbasa-basi tentang kakinya yang lemah mengatur tubuhnya setepat mungkin sementara aku perlahan-lahan membaringkannya di tempat tidur. Dengan enggan kami saling melepaskan wajah kami hanya terpisah beberapa inci ketika si perawat yang sama menerobos masuk, sol karetnya berdecit pada lantai keramik. “Kenapa ini?” ia berseru, menunjuk pada gaun yang ternoda. Kami sedang saling melepaskan diri dan mencoba menjauh. ”Oh, itu. Cuma kecelakaan,” Anne menerangkan. Perawat itu tak pernah berhenti bergerak. Ia meraih ke dalam sebuah laci di bawah televisi dan mengeluarkan sehelai gaun yang masih terlipat. ”Nah, kau harus ganti," katanya sambil melemparkan gaun itu ke ranjang di samping Anne. ”Dan kau perlu mandi basuh dengan spons. Ia berhenti sedetik, memalingkan wajah ke arahku, dan berkata, "Suruh dia membantumu. Aku menghela napas dalam dan merasa berkunang-kunang. ”Aku bisa melakukannya,” kata Anne, meletakkan gaun itu di meja di samping ranjang. "Jam kunjungan sudah habis, Sayang," katanya padaku. “Kalian harus menyudahi urusan kalian.” Ia keluar dari kamar. Kami saling mengawasi. "Mana sponsnya?" aku bertanya, dan kami berdua tertawa. Ia punya lesung pipi yang terbentuk sempurna di sudut-sudut senyumnya. "Duduklah di sini," katanya, menepuk tepi ranjang. Aku duduk di sampingnya dengan kaki terkatung-katung. Kami tak bersentuhan. Ia menarik selimut putih sampai ke ketiak, seolah bermaksud menyembunyikan noda tadi. Aku cukup tahu keadaan ini. Istri yang teraniaya tetaplah perempuan yang sudah bersuami, sampai ia mendapatkan surat cerai. Atau sampai ia membunuh b*****h itu. ”Jadi, bagaimana pendapatmu tentang Yarber?” ia bertanya. ”Kau ingin aku melihatnya, bukan?" ”Aku rasa begitu.” "Dia seharusnya ditembak.” “Itu terlalu keras untuk sedikit marah-marah, bukan?" Aku berhenti sejenak dan memalingkan muka. Aku memutuskan untuk tidak akan main-main dengannya. Karena sudah membicarakannya, lebih baik kami bersikap jujur. Apa yang aku kerjakan di sini? ”Tidak, Anne, itu tidak berat. Laki-laki mana pun yang memukuli istrinya dengan tongkat aluminium harus ditembak.” Aku mengawasinya lekat-lekat ketika mengucapkan ini, dan ia tidak tersentak. “Bagaimana kau tahu?" ia bertanya. ”Jejak yang ditinggalkan oleh dokumen. Laporan polisi, laporan ambulans, catatan rumah sakit. Berapa lama kau akan menunggu sebelum dia memutuskan untuk memukul kepalamu dengan tongkatnya? Itu bisa membunuhmu, kau tahu? Beberapa kali pukulan keras pada tengkorak..." ”Hentikan! Jangan katakan padaku bagaimana rasanya.” la menatap dinding, dan ketika ia kembali memandangku, air matanya sudah mulai mengalir lagi. “Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan.” "Kalau begitu, ceritakanlah padaku.” “Kalau ingin membicarakannya, aku tentu sudah mengatakannya, Kau tak berhak membongkar bongkar urusanku.” "Ajukan gugatan cerai. Aku akan membawa dokumen-dokumennya besok. Kerjakanlah sekarang, saat kau masih dirawat di rumah sakit karena penganiayaan terakhir. Apakah ada bukti yang lebih baik? Itu pasti berhasil. Dalam tiga bulan, kau akan jadi wanita bebas." la menggelengkan kepala, seolah-olah aku orang t***l. Barangkali aku memang t***l. "Kau tak mengerti." "Aku tahu aku tak mengerti. Tapi aku bisa melihat gambaran kasarnya. Kalau kau tidak menyingkirkan b*****h ini, kau mungkin akan mati dalam sebulan. Aku punya nama dan telepon tiga organisasi pembela wanita teraniaya." "Teraniaya?" "Benar. Teraniaya. Kau dianiaya, Anne. Tidakkah kau tahu? Pin dalam pergelangan kakimu itu berarti kau dianiaya. Memar ungu di pipimu itu bukti jelas bahwa suamimu memukulmu. Kau bisa mendapatkan pertolongan. Ajukan gugatan cerai dan dapatkan pertolongan." la memikirkan ini sejenak. Kamar itu sunyi. "Perceraian tidak akan berhasil. Aku sudah mencobanya." "Kapan?" "Beberapa bulan yang lalu. Kau tidak tahu? Aku yakin ada catatannya di pengadilan. Apa yang terjadi dengan dokumen-dokumen itu?" "Apa yang terjadi dengan gugatan itu?" "Aku mencabutnya." "Kenapa?" "Sebab aku bosan dilempar ke sana kemari. Dia akan membunuhku kalau aku tak segera mencabutnya. Dia mengatakan kalau dia mencintaiku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD