Dua Belas

1405 Words
Dua Belas Pernikahan tiba lebih cepat daripada kariernya di college dimulai, dan pernikahan tersebut pada akhirnya juga membuahkan perceraian lebih cepat. Setelah perceraian itu, dia kemudian pergi ke Myanmar untuk sebuah urusan militer yang genting pada tahun 1968. Nicki pernah mendengar beberapa kisah hebat tentang masa kecil dari David Stone. Dulu sebelum pertandingan tahun pertama Nicki di college, Pelatih Maggie sempat mampir untuk berkisah sedikit mengenai David Stone. Maggie menceritakan bagaimana dulu David Stone pernah bertahan di bawah tiang gawang sekuat tenaga padahal dia sedang bermasalah dengan ligamen bahunya. Bahkan dalam kondisi yang seperti itu, David Stone masih semangat meneriaki rekan-rekan di lapangan dalam upaya mengingatkan posisi mereka. Entah mengapa, Maggie begitu menyukai setiap kisah dari para pemainnya yang menolak meninggalkan lapangan permainan meskipun dengan tulang yang nyaris hancur, tubuh yang berdarah-darah, dan segala macam cedera lainnya. Beberapa tahun berselang setelah kisah itu, Nicki mendengar bahwa ligament bahu penjaga gawang legenda itu sudah pulih. Seiring berjalannya waktu, legendanya berkembang, minimal dalam ingatan Maggie. Si Sherif itu berjalan perlahan di sepanjang tribun, melewati bangku-bangku tak beratap dan berbicara pada orang-orang lain yang sedang mengisi waktu luang. Semakin dia naik hingga melewati beberapa baris bangku lagi dan tibalah dia di depan mereka. Dia menyapa Denis, kemudian pada Bruno, Leo, Andy, Sancho, Robert—dia mengenal di antara mereka semua dengan memanggil nama pertama atau julukan mereka. “Katanya kau sedang ada di kota,” katanya menyasar ke Nicki, dilanjutkan dengan jabat tangan. “Sudah sangat lama.” “Memang.” Cuma kata itu yang keluar dari mulut Nicki. Sepanjang yang dia ingat, dia baru kali ini bertemu dengan David Stone. David Stone masih belum dikenal sebagai Sherif ketika Nicki masih tinggal di Lambeth. Nicki hanya mendengar nama orang itu secara samar-sama, dia belum pernah bertemu dengan orangnya. Tapi itu tidak penting. Mereka sama-sama anggota di tim yang sama. “Cuaca sudah redup, Leo, mengapa kau masih di sini? Tidak segera mencuri mobil?” tanya David. “Masih redup, belum benar-benar gelap.” “Aku akan menangkapmu, kau tahu, kan?” “Aku memiliki pengacara.” “Beri aku bir. Mumpung aku sedang tidak bertugas.” Leo menyodorkan satu botol bird an David menghabiskannya dalam sekali tenggak. “Aku barusan mampir di rumah Maggie,” katanya. Dengan kecapan bibirnya usai menenggak bir itu, terlihat sekali kalau dia sudah berminggu-minggu berjauhan dengan minuman keras. “Tak ada perubahan sama sekali. Tinggal menunggu kabar kepergiannya.” Informasi itu entah kenapa terdengar biasa saja. Entah karena sudah sering terdengar, atau mereka hanya mengharapkan berita membaiknya kondisi Maggie saja. “Selama ini, kau sembunyi di mana saja?” tanya David pada Nicki. “Kau ini bertanya apa. Tidak di mana-mana.” “Jangan berbohong padaku. Sepuluh tahun lamanya, tak ada satu pun yang menemukanmu di sini, bahkan sepertinya lebih lama lagi.” “Orang tuaku telah pensiun di London. Aku tidak punya alasan untuk kembali lagi ke sini.” “Kau mengada-ada saja. Kau telah tumbuh di kota ini. Kota ini adalah rumahmu. Apa itu bukan termasuk alasan?” “Bagimu mungkin iya.” “Mungkin itu omong kosong. Kau punya begitu banyak teman di sini. Salah jika kau tiba-tiba melarikan diri seperti itu.” “Mau bir lagi, David?” Denis menawarkan. Leo segera memberikan satu botol lagi, dan David dengan terbuka menerimanya. Setelah itu dia mengatakan, “Kau sudah punya anak?” “Tadinya.” “Gimana lututmu saat ini?” “Hancur.” “Sayang sekali.” David meminum agak lama. “Sungguh kekerasan yang sebetulnya tidak perlu. Kau sudah tampak jelas di luar batas.” “Semestinya aku tetap pada tempo yang biasa saja. Tak perlu menyerang begitu keras saat posisi sudah unggul,” kata Nicki sambil mengubah posisi duduknya. Dia berusaha sangat keras agar bisa mengubah topik pembicaraan. Apa masih belum puas mereka membicarakan kekerasan yang tidak perlu yang mampu menghancurkan kariernya? David kembali menyeruput birnya. Kemudian berucap, “Bung, kau dulu yang paling hebat.” “Lain kali saja kita membicarkan ini, oke?” balas Nicki. Dia baru saja ada di sana hampir tiga jam, dan mendadak dia merasa ingin sekali pergi, meski dia belum tahu akan ke mana setelah itu. Sementara, dua jam sebelumnya sempat ada tawaran soal Julia Lennon yang memasak makan malam, namun sayangnya dia juga tak begitu tertarik dengan tawaran itu. “Oke, apa?” “Kita bicara soal Maggie,” jawab Nicki. “Yang mana tim paling buruk?” Suasana berubah bergeming. Bahkan tidak ada gesekan botol sedikit pun yang terdengar. David yang berbicara duluan. “Dia mengalami empat kekalahan selama pertandingan di musim 1976. Miss Pratiwi bersumpah akan mengurung diri sepanjang musim dingin, tak menghadiri misa, bahkan menolak hadir di depan publik. Dia menerapkan program seleksi yang benar-benar gila. Dia membuat regulasi yang memaksa mereka berlari-lari seperti anjing—beserta lidah yang menjulur akibat kelelahan—sepanjang musim panas. Dan tidak tanggung-tanggung, program seleksi itu diterapkan dalam model TC—Training Camp—di mana latihan dilakukan selama dua kali dalam sehari, pagi dan sore di bulan Agustus. Namun ketika mereka bertanding pada tahun 1977, mereka menjadi tim yang sungguh berbeda. Mereka nyaris menyapu bersih semua pertandingan dengan kemenangan di tingkat regional.” “Bagaimana Maggie bisa kalah empat pertandingan dalam satu musim?” tanya Nicki. David merubah posisi duduknya agak condong ke belakang, kini dia lebih nyaman karena punggungnya disandarkan pada deretan bangku yang ada di belakangnya. Sejauh ini dia termasuk anggota tim Red Circle tertua yang hadir. Dan karena dia belum pernah melewatkan satu pertandingan pun selama tiga puluh tahun, maka dia yang berbicara. “Ya, faktor pertama bisa dibilang timnya pada saat itu dipenuhi pemain yang kurang berbakat. Mungkin bisa dihitung bahwa cuma ada sebelas orang di tim utama yang punya potensi sangat bagus. Tapi itu tidaklah cukup. Harus ada pemain cadangan yang punya kemampuan untuk mengimbangi pemain inti. Tapi sayangnya jarak kemampuan mereka jauh sekali. Ketika pertandingan, beberapa pemain inti harus absen karena masalah cedera, ada yang terpaksa absen dalam pertandingan karena sering terkena ganjaran kartu kuning, bahkan sesekali kartu merah. Kami bertanding melawan Kidderminster tahun itu dan sama sekali tak berkutik. Pertandingan semakin bertambah sulit ketika mereka mengeluarkan sejumlah pemain kunci mereka. Pertandingan itu sungguh merupakan bencana.” “Kidderminster mengalahkan kita?” tanya Nicki, wajahnya menunjukkan bahwa dirinya sama sekali tak percaya dengan kisah itu. “Ya, itu merupakan kekalahan menyedihkan selama empat puluh tahun terakhir. Dan aku perjelas lagi, tertinggal skor 4-0, kami dibuat tak berkutik. Mereka seperti bermain kucing-kucingan. Tim kami tak bisa mencuri bola itu. Malam terburuk sepanjang sejarah sepak bola Lambeth. Jadi mereka menduga sudah berhasil membalikkan keadaan dalam persaingan kecil antara pertarungan kita dengan mereka, dan mereka memutuskan untuk memperlebar jarak skor. Dengan sisa tambahan waktu yang cuma dua menit, dan sisa stamina yang masih ada, mereka membuat satu gol lagi. Entah kenapa, mereka sengaja meremehkan kita dengan membuat skor akhir menjadi telak 5-0. Mereka benar-benar terlihat semangat, kau tahu, mereka benar-benar menghajar Red Circle Lambeth habis-habisan. Tapi, Maggie tetap tenang. Dia mencatat setiap kekurangan di bench. Musim selanjutnya, di tempat ini kami bertanding lagi dengan Kidderminster. Para penggemar berduyun-duyun kemari. Mereka sengaja meminta cuti kerja. Mereka datang ke sini dengan rasa marah, dengan dendam yang menggebu. Kami banyak mendapatkan pelanggaran dari Kidderminster. Empat kartu kuning dalam babak pertama. Tiga tendangan bebas, satu penalti.” “Aku ingat pertandingan itu,” sahut Denis. “Waktu itu aku masih duduk di kelas satu. Skor akhir, tujuh melawan kosong.” “Delapan melawan kosong, tepatnya.” David mengoreksi dengan bangga. “Kami sudah mencetak lima gol di babak pertama. Setelah itu di babak kedua, Maggie terus berteriak, semakin kencang. Dia mengatakan tidak akan mengganti pemain utama kalau kami tidak mampu menambah skor lagi. Kami terus gencar menyerang mereka. Hingga mampu menambah tiga skor lagi.” “Finalnya?” tanya Nicki. “Sepuluh kosong. Masih menjadi rekor di Lambeth. Satu-satunya momen di mana aku tahu James Maggie sedang memburu angka habis-habisan. Mungkin sebagai upaya membalikkan citra kami yang kalah telak di musim sebelumnya.” Kelompok lain yang ada di sebelah utara merespon dengan gelak tawa ketika David Stone berhasil menyelesaikan ceritanya. Tidak diragukan lagi mengenai sosok Maggie atau pertandingan yang bersejarah itu. Sama-sama mempunyai sejarah yang luar biasa. Leo tiba-tiba berubah menjadi sangat pendiam bersamaan dengan hadirnya sang penegak hukum itu, dan ketika merasa waktunya tepat, dia mengatakan, “Yah, aku harus segera pergi. Kau bisa hubungi aku, jika kau ada kabar soal Maggie.” “Siap ,” jawab Denis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD