Tiga Puluh Lima (Tamat)

3409 Words
Lambeth tidak pernah mengalami kedukaan yang teramat mendalam selain hari ini. Ketika jam sepuluh pagi, di hari Jumat yang setengah terik, semua gerai, termasuk kantor yang berlokasi di sekitar lapangan memilih untuk tidak beroperasi. Begitu juga dengan beberapa institusi terkait, pendidikan—memutuskan untuk memulangkan para murid lebih awal, bahkan Gedung Pengadilan pun dengan berani turut merayakan kedukaan itu dengan menutup kantor, semua ikut dalam suasana kepiluan. Arus lalu lintas di sekitar lapangan tampak penuh sesak menjelang tengah hari, David mengarahkan beberapa rekannya untuk berada di seputar SMA. Jam sebelas siang, lapangan sudah penuh sesak, para pemain berkumpul, para tokoh setempat, ada dokter, pengacara, dan bankir, mereka serentak memakai baju merah-merah kebanggaan, meskipun masalah baju ini tidak diregulasi secara khusus. Para penggemar fanatik yang memilih untuk menghindari desakan, berdiri di barisan tribun tertinggi, dengan harap mereka mampu melihat dengan jelas para pahlawan mereka. Di antara mereka yang nomornya sudah dipensiunkan menimbulkan gairah yang sangat besar di d**a mereka. Peti matinya sudah tak ada di sana. Maggie sudah menjadi satu dengan tanah. Sandra dan keluarga datang tanpa bermaksud memeriahkan upacara, dia hanya menghabiskan waktu dengan memberi salam dan pelukan hangat pada para pemain. Dan tepat sebelum matahari pada posisi puncak di atas, Pendeta Ivan Stefanus datang, susul-menyusul regu koor, dan keriuhan itu perlahan semakin menurun. Para penggemar mulai membentang di sepanjang tribun. Tidak ada desakan yang berlebihan. Hanya menyisakan keluarga mendiang, para pemain Red Circle beserta legenda di dekat tenda. Ini adalah saat-saat yang akan disanjung dan saat-saat yang paling dikenang oleh penduduk seluruh Lambeth. Dalam riwayat pesan terakhirnya, Maggie secara diam-diam menginginkan kalau semua anak asuhnya datang di lapangan dengan mengenakan seragam kebanggaan. Dan menjelang tengah hati, ratusan kursi lipat disebarkan membentuk setengah lingkaran. Pendeta Ivan Stefanus memberikan isyarat agar para pemain duduk di kursi yang telah disediakan. Keluarga besar mendiang menempati kursi di barisan paling depan. Andrea Nicki duduk di antara Denis Lennon dan Leo Silva, diikuti dengan para pemain angkatan ’87 yang lain di samping kiri-kanan. Pendeta Ivan Stefanus perlahan menuju podium dan menyambar mikrofon yang sudah disiapkan. “Selamat siang,” katanya dengan suara parau namun melengking menghunjam keramaian hingga terdengar setengah mil jauhnya. “Selamat datang ke dalam perayaan kehidupan James Maggie. Untuk Sandra dan keluarga besar, aku ucapkan banyak sekali sanjungan terima kasih karena telah datang.” Ada jeda sejenak, dia membuka catatannya. “James Arthur Maggie, tujuh puluh dua tahun silam, dia dilahirkan di  Yorkshire. Dan berani mempersunting Sandra sebagai istrinya sekitar empat puluh delapan tahun silam. Setelah itu dia dipekerjakan sebagai pelatih utama sepak bola oleh Dewan Sekolah Lambeth. Sementara pada saat itu dia masih berusia dua puluh delapan tahun, masih belum punya pengalaman sebagai pelatih kepala, dan selalu jika ditanya oleh orang lain bahwa mengapa dia mendapatkan pekerjaan itu, sebab tak ada orang lain lagi selain dirinya yang menginginkannya. Dia mengabdikan dirinya sebagai pelatih di sini selama lebih dari tiga puluh empat tahun, dan mampu memberikan lebih dari empat ratus kemenangan, dan menghadiahkan sekitar lima belas gelar juara negara se-Britania Raya. Namun ada titik nadir yang jauh lebih penting dari itu, dia memberikan makna hidup bagi kita semua…” Keheningan mulai menyergap ketika kalimat terakhir itu diucapkan. Mereka yang memiliki kenangan pribadi secara khusus dengan Maggie, mulai merenung, dan tidak sedikit di antara mereka yang matanya mulai berkaca-kaca. Pendeta itu melanjutkan pidatonya. “Dia dimakamkan tadi pagi dengan diiringi serangkaian upacara pribadi oleh keluarga, dan atas permintaan darinya yang sudah dikonfirmasi keluarga yang bersangkutan bahwa dia dibaringkan tepat di samping Marthin Lawther. Sebelumnya, Pelatih Maggie memberitahu padaku bahwa dia sempat didatangi Martin dalam mimpinya, bahwa Martin mengatakan kalau dirinya sudah tidak sabar menunggu Pelatih Maggie di surga, dan mengatakan kalau Martin ingin memeluknya serta ingin memberitahunya bahwa dia menyesal.” Dengan jeda yang sempurna, dia diam sejenak untuk menarik napas, dan membuka Alkitab. Ketika dia nyaris membumikan ayat-ayat Alkitab, muncul kegaduhan di dekat pintu gerbang. Terdengar gedoran pintu mobil yang sangat keras. Orang-orang berhamburan. Pendeta Ivan berhenti sebentar, dan melihat ke sumber suara itu. Seorang laki-laki bertubuh besar berjalan melewati gerbang. Dia adalah Jose, mengekor di belakangnya dua penjaga penjara. Dia berseragam khas tahanan penjara, dan borgol yang ditanggalkan. Kerumunan orang itu pada akhirnya tercenung ketika mengenali sosoknya. Saat Jose menginjak running track, kepalanya terangkat tinggi, tubuhnya tegak, langkah kakinya sempurna, laki-laki yang tampak bangga, namun ada sedikit pancaran raut wajahnya yang menunjukkan kebingungan. Di mana dia akan duduk? Apakah dengan tampilan dan statusnya kini, dia akan diterima? Ketika dia nyaris mendekat ujung panggung, seseorang di tengah-tengah kerumunan orang itu berteriak. Dan saat itu juga Jose berhenti mendadak. Orang tersebut yakni ibunya. Perempuan bertubuh mungil yang manis. Jose menerjang ke arahnya dan menyambar tubuhnya erat-erat dalam pelukannya. Sementara para penjaganya terdiam di tempat dengan mempertimbangkan tawanannya itu memeluk ibunya. Kemudian, dari tas belanja mungil yang nampak kusut, ibunya mengeluarkan kaus seragam berwarna merah. Di belakangnya terdapat nomor 3. Jose segera mengenakan kaus itu, di depan lima belas ribu orang yang sama, yang dulu kerap meneriaki namanya untuk menghancurkan kaki pemain lawan. Sesudah kaus itu dikenakannya, bahwa dia terlihat sangat mengesankan, di mana kaus itu terentang kencang pada bisepnya, dan sangat ketat di d**a dan lehernya. Setelah itu, Jose kembali memeluk ibunya. Tak disangka-sangka kalau dia kembali bisa memakai kausnya di momen yang sangat bersejarah. Peristiwa itu disambut oleh tepuk tangan. Awalnya tepuk tangan itu awalnya diinisiasi hanya satu orang, entah siapa orangnya, tapi setelah itu beberapa orang ikut berdiri dan bertepuk tangan. Selamat datang kembali, Jose, kami merindukanmu, dan kami masih mencintaimu. Dengan cepat, bangku-bangku itu bergemuruh seiring mereka bangkit dari duduknya satu per satu. Bersamaan dengan prosesi pelepasan Maggie, kota itu menyambut kembali pahlawannya yang sudah jatuh. Jose mengangguk takzim ke semua orang, lalu melambaikan tangannya dengan kikuk sambil berjalan perlahan ke arah rekan-rekannya yang lain. Riuh tepuk tangan kian meriah saat Jose menghampiri dan berjabat tangan dengan Sandra dan Pendeta Stefanus. Setelah itu dia menghampiri rekan-rekannya yang lain dan berpelukan dengan mereka. Dan bersamaan dengan itu, dia akhirnya mendapatkan satu kursi kosong, dan dia duduk di sana. Air mata mulai menetes di pelipisnya. Pendeta Stefanus kembali menyapu pandangannya ke semua orang. Dia sedang menunggu suasana kembali kondusif. Tenang, tidak harus buru-buru. Tak ada satu pun di antara mereka yang mempedulikan waktu. Pendeta Stefanus kembali mengkondisikan mikrofonnya. “Salah satu ayat kesukaan Pelatih Maggie yaitu Yohanes Dua Puluh Tujuh, ‘Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai SejahteraKu Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar darimu.’ Kita tahu bahwa Pelatih Maggie menjalani hidupnya tanpa rasa takut. Para anak asuhnya pun secara tidak langsung juga diajari dalam setiap latihan bahwa mereka yang penakut, tidak aka nada di barisan para pemenang. Beberapa bulan lalu, penyakit itu menyerangnya. Dan dia tidak gentar sedikit pun ketika dokter memvonisnya. Pun dia tidak takut mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang dia sayangi. Dia benar-benar tidak takut. Imannya pada Tuhan benar-benar tidak goyah. Dia sering bilang kalau kematian adalah awal.” Pendeta Stefanus meletakkan mikforon lalu membungkukkan badannya sedikit setelah itu mengundurkan diri. Regu koor mulai mengiringinya dengan alunan musik yang merdu. Semua yang hadir lantas tenggelam dalam bayangannya sendiri tentang James Maggie. Bagi Nicki—secara personal—ketika mengingat sosok Maggie, bayangan yang muncul pertama kali adalah tamparan di wajahnya, dan tinju yang menyebabkan pelatihnya tersungkur hingga jatuh pingsan, kemudian memori dramatis saat merebut gelar negara bagian. Bersamaan dengan itu, dia selalu mengingat betapa kerasnya dia memaksa diri untuk tetap maju, mengendalikan emosi yang menyakitkan itu serta sedikit demi sedikit mengingat kembali masa-masa yang menyenangkan. Sangat jarang menemukan pelatih yang benar-benar mampu memberikan dorongan hidup buat mereka. Tak hanya motivasi di dalam lapangan, pun juga di luar. Secara tidak langsung, sebagian besar anak didik Maggie menjalani hidupnya dengan berusaha mendapatkan persetujuannya. Bagi Nicki, tak ada yang lebih spesial dari memenangkan seluruh pertandingan dan menyambar gelar juara negara bagian selain mendapatkan pengakuan dari Maggie. Bahkan ketika dirinya memutuskan bergabung dengan Mifa pun, dia memimpikan telepon dari Maggie saat Mifa memenangkan gelar juara nasional. Ketika kabar buruk datang dari dokter yang mengatakan bahwa karier sepak bola Andrea Nicki sudah berakhir, dia merasa bahwa sepertinya dia sudah gagal memenuhi ambisi Maggie. Ditambah peristiwa memilukan ketika rumah tangganya berakhir. Dia melihat kalau Maggie akan memberikan kuliah pada dirinya jika mereka tengah berada cukup dekat untuk dapat saling mendengar. Lindsay Spears Maggie, yang merupakan putri tertua, perlahan berjalan ke arah podium, musik berhenti. Lindsay membuka catatannya. Menjadi panutan adik-adiknya. Usai lulus SMA, dia memutuskan untuk keluar dari Lambeth, dan akan kembali apabila ada masalah keluarga yang memaksa kepulangan mereka. Bayang-bayang sosok ayah yang begitu besar buatnya hingga menjadikannya seorang psikiater. Gelagatnya tidak memancarkan seorang penduduk luar. “Terhadap ribuan belasungkawa dan sanjungan, saya sebagai perwakilan dari keluarga mengucapkan terima kasih. Ayah saya meninggal dengan bahagia dan martabat yang teramat besar. Meskipun tahun-tahun terakhirnya di sini bukan termasuk tahun-tahun yang terbaik buat dirinya, tapi dia benar-benar menyayangi kota ini beserta penduduknya, terutama pada para pemainnya,” Kata ‘sayang’ bukanlah diksi pilihan yang digunakan Maggie untuk menggambarkan perasaannya, dan kata tersebut tidak pernah didengarkan satu kali pun oleh para pemainnya. Jika dia sungguh menyayangi seseorang, dia punya cara sendiri untuk memperlihatkannya. “Ayah saya memberikan pesan pendek untuk kalian semua yang hadir di sini.” Lindsay membenarkan letak kaca matanya. “Ini James Maggie, sedang berbicara dari dalam kuburnya. Apabila kalian menangis, tolong hentikan.” Kalimat itu sontak menimbulkan gelak tawa. “Kalian semua harus tahu bahwa air mata tak ada gunanya buatku. Kini hidupku telah lengkap, jadi jangan pernah lagi menangisi aku. Pun juga setiap kenangan-kenangan yang telah berlalu. Ada banyak hal ke depan yang harus dilakukan yang membutuhkan perhatian kalian. Tuhan memberikan aku otak agar aku bisa memanfaatkannya. Hingga aku dapat menikahi Sandra usai aku merayunya, dan dianugerahi dengan tiga putri yang sangat cantik, dan terakhir juga aku diberkati dengan delapan cucu yang manis. Bagi laki-laki di seluruh dunia, anugerah ini sudah lebih dari cukup. Tapi Tuhan masih memberikan banyak berkah padaku. Dia memberikan arah padaku ke sepak bola, dan mengukir jalan untuk aku bisa sampai Lambeth. Dan di sana lah aku bisa berjumpa dengan kalian. Walaupun ada kendala karena aku tidak mampu menyampaikan isi perasaanku, namun aku mau para pemainku tahu kalau aku menyanjung kalian semua. Kalau ditanya, mengapa ada orang berani menghabiskan tiga puluh empat tahunnya untuk melatih sepak bola SMA? Karena aku menyayangi para pemainku. Kekalahan, kemenangan dan kejuaraan, telah kalian raih. Pun begitu, aku ingin mengajukan dua penyesalanku.” Lindsay menjeda pidatonya sebentar. Degup kencang menyerang d**a setiap orang yang hadir. “Telah aku katakan di awal bahwa aku ini termasuk laki-laki yang beruntung. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bertanggung jawab atas kematian pemainku sendiri, Martin Lawther. Dan aku terima semua kesalahanku atas kematian yang dia alami. Ketika dia meninggal, aku memeluknya, dan setelah itu aku hanya bisa menangis setiap hari. Aku juga telah mengucapkan penyesalanku pada orang tuanya, dan aku mengira seiring berjalannya waktu, mereka akan memaafkanku. Kini aku sudah bersamanya, untuk selamanya.” Lindsay berhenti lagi usai membacakan penyesalan Maggie yang pertama. “Penyesalanku yang kedua adalah saat pertandingan final perebutan gelar juara negara bagian tahun delapan tujuh. Kejadian terjadi saat istirahat babak pertama, secara fisik aku sudah menyerang seorang pemain gelandang kami. Itu termasuk tindakan kriminal. Dan tindakan itu semestinya membuat aku dilarang untuk terlibat dalam urusan pertandingan selamanya. Aku menyesali tindakanku. Ketika aku menyaksikan tim benar-benar berjuang keras setelah babak pertama dengan jargon-jargon kemustahilan untuk menang, aku belum pernah merasa bangga luar biasa, ketika mereka justru berhasil bangkit dan meraih kemenangan.” Nicki melirik samping kanan-kirinya. Leo yang bertubuh besar di sebelahnya tengah sibuk menyeka wajahnya. Maggie meminta kepada satu pemain untuk memberikan eulogi singkat. Di mana ketika itu reaksi pertamanya adalah memaki saat dia menerima surat dari Sandra untuk menyampaikan eulogi. “Kenapa harus aku?” Sekian banyak orang dari berbagai generasi yang pernah dilatih Maggie jelas lebih dekat dengan Maggie daripada Nicki. Menurut perkiraan Denis, itulah cara Maggie melakukan perdamaian terakhir dengan Nicki atas kejadian yang paling kontroversial sepanjang sejarah kepelatihannya.  Sementara itu, Nicki jelas-jelas tidak mampu mengatakan keburukan apa pun soal pelatihnya itu, apalagi untuk saat-saat seperti ini—di depan banyak orang—tidak mungkin. Tapi apa pun alasannya, tetap tak ada cara yang tepat untuk menolak permintaan itu. Sebab Nicki sendiri pun belum pernah melakukan itu, jangankan di depan lima belas ribu orang, seratus orang pun tidak. Mau tidak mau, dia harus tetap melakukannya. Kalau tidak, peristiwa bersejarah ini akan ternoda karena satu orang yang terlalu mempedulikan kegugupannya sendiri. Akhirnya dia bangkit dan segera berjalan menuju podium. Dia merasa kewalahan untuk menyeret kakinya yang terasa begitu berat, dan yang paling riskan itu adalah lutut kirinya yang lebih sakit ketimbang biasanya. Namun dia adalah Andrea Nicki, seorang manusia yang masih memiliki se-inci sifat manipulatif untuk membuat semua orang meyakini bahwa dirinya tidak sedang gugup. Padahal faktanya dia hampir jatuh pingsan saat hendak menaiki podium. Setibanya di atas podium, dia menarik napas panjang dan menghembuskan sepenuhnya dengan agak menjauh dari mikrofon. Dia sepenuhnya pasrah terhadap ketakutan yang menyerangnya. Dia perlahan-lahan membuka catatan yang sudah dia siapkan dengan baik. Jangan pedulikan mereka, kau adalah seorang gelandang terhebat sepanjang sejarah kepelatihan Maggie, kau adalah pahlawan kebanggaan Lambeth, batinny. Dia menghibur dirinya dengan semua kenangan manis itu, bukan meyakini fakta bahwa kini dia adalah seorang pengecut bersuara pecah. “Aku Andrea Nicki,” katanya dengan susah payah. “Aku bermain untuk Pelatih Maggie hingga tiga tahun lebih. Dari tahun delapan puluh empat, sampai delapan puluh tujuh.” Dia berhenti sejenak. Sambil menatap kerumunan orang, dia menyesuaikan bahunya dengan nyaman dan tersenyum. “Dengar, aku bukan orang terhormat, aku bukan hakim atau pendeta. Maksudku, aku tidak punya kemampuan yang mumpuni untuk berbicara panjang lebar di depan banyak orang. Kalian harus bersabar denganku dan aku harap mengerti apa yang aku ucapkan.” Kerumunan orang yang ada di depannya memasang wajah yang seolah mempunyai arti bahwa Nicki bebas berbicara apa saja, dia adalah pahlawan Lambeth. “Aku bertemu dengan Pelatih Maggie terakhir kali pada tahun delapan puluh sembilan. Saat itu aku sedang di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, dan dia secara mengejutkan menyelinap masuk ke kemarku pada malam hari. Kemudian perawat rumah sakit datang dan mengatakan pada Maggie kalau dia harus pergi, jam besuk sudah berakhir. Tapi Maggie mengatakan bahwa dia akan pergi jika dia sudah siap. Lalu perawat itu meninggalkan kami di ruangan.” Nicki berhenti lagi. Dia menatap mata setiap orang dan memastikan kalau dia berhasil. Mereka mendengarkan dengan takzim, tak ada tatapan aneh atau tatapan menyepelekan. Saat aku mulai masuk SMA, aku benar-benar memantapkan pikiranku ke sepak bola. Dan ini menyebabkan minat belajarku turun, bahkan menghilang. Di tengah jalan, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dan berkeliaran ke mana pun, berharap aku bisa melupakan Lambeth dan Pelatih Maggie. Sepak bola menjadi sebuah istilah yang kotor. Aku membulatkan tekad untuk menepis jauh-jauh semua kenangan itu, kenangan yang berhubungan dengan sepak bola dan James Maggie. Dan sekitar dua-tiga bulan yang lalu, aku mendengar kalau dia sedang sakit keras, dan kemungkinan dia tidak akan bertahan. Empat belas tahun berlalu sejak terakhir kali aku menginjak lapangan ini, aku merasa bahwa aku terpanggil untuk pulang, sama seperti para pemain yang hadir di sini. Saat aku tiba di sini, aku merasa bahwa aku harus tetap di sini saat dia meninggal, terlepas dari perasaanku terhadap Pelatih Maggie. Setidaknya untuk mengucapkan selamat tinggal. Dan yang aku sesali adalah bahwa aku tidak sempat menerima permintaan maafnya secara langsung.” Kata-kata terakhir yang Nicki ucapkan terasa begitu berat. Dia mencengkeram mikrofon, menunduk dan kembali menatap Denis dan Leo, keduanya membalas tatapan itu dan berkata, “Teruskan.” “Sekali kau bermain untuk Pelatih Maggie, kau akan membawanya ke mana pun. Kau akan selalu teringat wajahnya, senyumnya, dan kau akan selalu merasa gemetar karena terus teringat dengan ketegasannya dan setiap nasihat-nasihatnya. Kau menjadi seserang yang menjadikan dia sebagai puncak orientasi terhadap setiap keberhasilan yang sudah kau capai. Kau selalu ingin mengatakan, ‘Pelatih, lihat apa yang telah aku lakukan.’ Dan kemudian kau akan mengharapkan sanjungan keluar dari mulutnya. Kau akan selalu ingin berterima kasih padanya atas semua nasihat yang sudah dia berikan. Apabila kau gagal, kau akan tergesa-gesa mengeluarkan permintaan maaf padanya, sebab Pelatih Maggie adalah orang yang menolak kegagalan. Lalu kau akan menunduk dan mengharapkan nasihatnya tentang cara mengatasinya. Namun terkadang pada suatu waktu, hati kecilmu ingin memberontak, kau merasa lelah karena membawa Pelatih Maggie ke mana-mana, sesekali kau ingin bebas, sesekali kau ingin telingamu dijauhkan dari salakannya. Kesabaranmu menurun, kau ingin mencari jalan alternatif agar kau bisa sampai tujuan hidupmu dengan cepat tanpa mendengar suara peluitnya. Tapi bunyi suara peluit itu tetap saja terdengar, mengingatkanmu untuk menenagkan diri sejenak, kembali mengingatkanmu cara yang bijak untuk mencapai tujuanmu, kau harus tetap di jalan bekerja keras daripada semua orang di sekelilingmu. Suara-suara itu tetap tidak pernah jauh. Mulai hari ini, kita meninggalkan tempat ini dengan tidak lagi disertai oleh kehadiran fisik pelatih kita. Tapi kita semua akan selalu merasakan kobaran semangatnya yang masih terpatri keras di dalam hati dan jiwa para pemuda yang pernah di sentuh, di dalam kalbu dan pemikiran semua anak yang menjadi laki-laki di bawah bimbingan James Maggie, tentunya. Ada keraguan yang tidak kalah pentingnya, yang mungkin juga menjadi buah pertanyaan bagi setiap pemain yang menghadapi masalah. Keraguan itu adalah, apakah aku menyayangi James Maggie atau justru membenci dia?” Suaranya kembali pecah, jantungnya berdegup kencang. Dia menggigit ujung lidahnya dan memejamkan matanya, dia berusaha dengan keras untuk bisa menyelesaikan ucapannya. “Entah kenapa, aku selalu menemukan jawaban yang berbeda setiap dia mulai meniupkan peluitnya. Maggie adalah seseorang yang tidak gampang disayangi, ketika kau memutuskan untuk bermain di sini, mustahil kau bisa menyukainya. Tapi sekali kau keluar dari sini dan mendapatkan kegagalanmu, kau lantas merindukannya. Kau baru menyadari seberapa penting sosoknya. Suaranya, ceramahnya kembali terdengar, kau baru bisa memahami ada semangat dalam setiap ucapannya. Kau akan selalu dihantui oleh kerinduan saat kau jauh dengannya.” Dia berhenti lagi. Pandangannya menyapu pada kerumunan orang yang ada di depannya. Dia sedikit kerepotan untuk mengatur emosinya. Dia menimbang-nimbang, apakah dia harus duduk atau mempermalukan dirinya sendiri. Dia menunduk, sangat lama. Keheningan terasa. Dari tatapan mereka yang menyimak, seolah-olah mereka sengaja tidak mau membuat suara sedikit pun agar tidak mengganggu pahlawan mereka yang tengah bicara. Dia melirik ke arah Leo yang tampak sedang memberikan pesan, “Cepat, selesaikan.” Nicki mendongak dengan tegar dan berkata, “Lima orang yang aku sayangi selama aku hidup.” Suaranya mulai berat. Dia mengertakkan gigi dan bersusah payah memaksa diri, “Kedua orang tuaku, satu gadis yang datang ke sini hari ini, mantan istriku, dan James Maggie.” Dia terdiam cukup lama setelah menyelesaikan kalimat itu. “Aku akan duduk.” Tepuk tangan mengiringi sekembalinya dia dari podium. Wajah penuh kelegaan terpancar dari semua orang, khususnya keluarga besar mendiang. Setelah itu Pendeta Stefanus menyampaikan kotbah singkat dan membubarkan kerumunan orang, namun cuma sedikit yang menanggapi pembubaran itu. Mereka masih ada di lapangan, mereka masih belum sap mengucapkan selamat berpisah pada pelatihnya. Regu koor mengalunkan lagu, dan kerumunan orang mulai berdiri dan berpencar. Setiap pemain yang hadir memutuskan untuk menghampiri Jose dan menyapa. Mereka berbicara dengan leluasa seolah-olah mereka bisa menunda Jose untuk kembali ke penjara. Tidak lama, Diego datang dan memberikan arahan kepada beberapa orang untuk membongkar tenda dan membersihkan terpal dan kursi-kursi yang ada. Bagaimana pun, hari ini adalah hari Jumat. Pertandingan akan tetap dilaksanakan. Sandra dan semua keluarganya perlahan meninggalkan lapangan. Para pemain mengikuti perlahan di belakangnya. Mereka semua memuja James Maggie, tapi mau tidak mau lapangan harus tetap dibersihkan dan disiapkan untuk menyambut pertandingan. Para pendukung bekerja mati-matian untuk memasang spanduk. Dan beberapa orang bekerja secara bergantian merapikan rumput dengan mesin pemotong.   Setiba di depan gerbang, para pemain berkumpul dan berjabat tangan, dan berjanji untuk lebih sering berkumpul. Para pemain muda berantusias untuk melakukan sesi foto dengan para pemain lama. Mereka berpelukan, dan memandang lagi ke arah lapangan serta berjanji bahwa mereka akan membawa nama James Maggie kapan pun mereka bermain. Akhirnya Nicki, Leo, dan Sancho pergi bersama menuju rumah Denis untuk menepati janji yang sempat tertunda, yaitu makan malam bersama Julia. Ketika dia melaju pergi, Nicki bersumpah bahwa dia akan sering kembali ke Lambeth. Lambeth adalah kampung halaman yang satu-satunya dia kenal. Di mana dia menghabiskan beberapa tahun terbaiknya di sini. Dia akan kembali lagi dan bersorak dari tribun ketika Red Circle sedang berlaga pada Jumat malam. Dia akan ada di sana bersama Denis dan Leo, mereka bertiga akan menceramahi para pemain muda yang masih bodoh ketika bermain. Lalu apabila nama James Maggie disebut-sebut lagi, dia akan tertawa dan menceritakan kisah panjangnya sendiri. Sebuah
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD