Empat Puluh Tiga

1249 Words
"Tentu," kataku sambil melipat jas di atas susuran dan mencabut dasi. "Apa kabar, Sayang?" ia berkicau ke atas. la mulai memakai kata "sayang" ini sekitar satu minggu Sayang ini dan sayang itu. "Baik-baik saja. Letih. Punggung saya agak sakit." Sudah beberapa hari ini aku melontarkan isyarat bahwa punggungku sakit, dan sejauh ini ia belum memakan umpan itu. Aku duduk di kursi biasanya, sementara ia mencampur ramuannya yang memuakkan itu di dapur. Saat itu sudah senja, bayang-bayang jatuh ke halaman belakang. Aku menghitung karung pupuk itu. Delapan ke samping, empat ke belakang, delapan ke atas. Itu berarti 256 karung. Masing-masing berbobot setengah kuintal, berarti semuanya 12.300 kilogram. Pupuk. Untuk ditaburkan. Olehku sendiri. Kami meneguk kopi, tegukan-tegukan yang sangat kecil bagiku, dan ia ingin tahu segala yang kukerjakan hari ini. Aku berbohong dan menceritakan bahwa aku bicara dengan beberapa pengacara tentang beberapa perkara gugatan, kemudian aku belajar untuk persiapan ujian pengacara. Sama untuk besok. Sibuk, sibuk, kau tahu, dengan urusan-urusan pengacara. Pasti tidak ada waktu untuk mengangkat dan menggotong satu ton pupuk. Kami berdua menghadap ke karung-karung putih itu, tapi sama-sama tak ingin melihatnya. Aku menghindari kontak mata. "Kapan kau akan mulai bekerja sebagai pengacara?" ia bertanya. "Belum pasti," kataku, kemudian kujelaskan padanya untuk kesepuluh kalinya bagaimana aku akan belajar dengan keras dalam beberapa minggu mendatang, mengubur diri dalam buku-buku di kampus, dan berdoa mudah mudahan aku lulus ujian pengacara. Aku tak bisa praktek sampai lulus ujian itu. "Sungguh menyenangkan," katanya, menyimpang sejenak. "Kita benar-benar harus mulai dengan pupuk itu," ia menambahkan, mengangguk, dan memutar mata ke tumpukan itu. Saat itu aku tak bisa memikirkan apa pun untuk diucapkan, lalu aku harus mengatakan, "Banyak sekali." "Oh, tidak akan terlalu repot kok. Aku akan membantu." Itu berarti ia akan menunjuk-nunjuk dengan sekopnya dan terus menerus mengoceh tak henti-hentinya. "Ya, mungkin besok. Sekarang sudah sore dan hari ini benar benar berat." la memikirkan ini sedetik. "Tadinya aku berharap kita bisa mulai sore ini," katanya. "Aku akan membantu. " "Ah, saya belum makan malam," kataku. "Akan aku buatkan sandwich untukmu," ia cepat cepat menawarkan. Sandwich bagi Miss Streep adalah seiris kalkun kaleng di antara dua iris tipis roti putih. Tanpa setetes pun moster atau mayones. Tanpa mentimun atau keju. Sedikitnya butuh empat potong untuk meredakan sedikit rasa lapar. Ia berdiri dan beranjak ke dapur ketika telepon berdering. Aku masih menunggu untuk mendapatkan sambungan telepon terpisah ke apartemenku, meski pun ia sudah dua minggu menjanjikannya. Saat ini aku punya sambungan paralel, yang berarti tak ada privasi pada telepon. la memintaku membatasi telepon, sebab ia butuh akses sepenuhnya pada telepon tersebut. Tapi telepon itu jarang berdering. "Untukmu, Edward," ia memanggil dari dapur. "Dari seorang pengacara." Itu dari Gibson. la mengatakan sudah membicarakannya dengan Jonathan Stone, dan sebaiknya kami bicara lagi. Ia bertanya apakah aku bisa datang ke kantornya sekarang, saat ini juga. Katanya ia bekerja sepanjang malam, dan ia ingin aku membawa berkas perkara itu. la ingin melihat seluruh berkas kasus ingkar janji tersebut. Sementara kami berbicaras aku melihat Miss Streep menyiapkan sandwich kalkun dengan sangat hati hati. Tepat ketika ia mengirisnya jadi dua aku nutup telepon. "Harus pergi, Miss Streep," kataku terengah-engah. "Ada sesuatu yang terjadi. Harus rapat dengan pengacara ini untuk membahas kasus besar." "Tapi bagaimana dengan...” "Maaf. Saya akan mengurusnya besok.” Aku meninggalkannya berdiri di sana, separo sandwich pada masing-masing tangan, wajahnya melorot ke bawah, seolah-olah ia tak bisa percaya aku tidak akan makan malam bersamanya. *** Gibson menemuiku di pintu depan yang sudah terkun ci, meskipun masih banyak orang bekerja di dalamnya. Aku membuntuti ke kantornya, langkahku lebih cepat daripada beberapa hari ini. Aku tak tahan untuk tidak mengagumi karpet, rak-rak buku, dan karya seni. Dalam hati berpikir aku akan jadi bagian dari semua ini. Akü, anggota biro hükum Stone, pengacara pengadilan terbesar di sini. la menawarkan telur gulung, Sisa makan malamnya. Katanya ia makan tiga kali sehari di meja kerja. Aku ingat ia sudah bercerai, dan sekarang aku tahu mengapa. Aku tidak lapar. la menghidupkan dictaphone dan meletakkan mikrofonnya di tepi meja, dekat denganku. "Kita akan merekam pembicaraan ini. Akan kusuruh sekretarisku mengetiknya besok. Apakah itu oke?” "Tentu,” kataku. Silakan saja. "Aku akan mempekerjakanmu sebagai paralegal selama dua belas bulan. Gajimu 21.000 dolar setahun, dibayar dua belas kali dalam jumlah yang sama, pada tanggal lima belas tiap bulan. Kau tidak berhak mendapatkan asuransi kesehatan atau fasilitas lain sampai kau sudah bekerja di sini selama setahun. Dan pada akhir bulan kedua belas, kita akan mengevaluasi hubungan kita, dan saat itu juga kita akan meninjau kemungkinan mempekerjakanmu sebagai pengacara, bukan paralegal." "Baik." "Kau akan punya kantor, dan kami dalam proses mengambil seorang sekretaris untuk membantumu. Kerja minimum enam puluh jam seminggu, mulai pukul delapan pagi dan terus sampai kapan saja. Tak ada pengacara di biro hukum ini yang bekerja kurang dari enam puluh jam seminggu.” "Tak ada masalah.” Aku akan bekerja sembilan puluh jam. Aku akan menyingkir jauh dari Miss Streep dan pupuk kulit kayu pinusnya. la memeriksa catatan dengan hati-hati. "Dan kita akan jadi penasihat hukum yang sah dari... uh, apa nama kasusmu?" "Jack. Jack melawan State Farm Insurance. " "Oke. Kita akan mewakili kepentingan hukum keluarga Jack lawan State Farm Insurance. Kau akan menggarap berkas perkaranya, tapi tidak berhak atas uang jasanya, kalau memang ada. " "Benar.” "Ada pertanyaan lain?" katanya, berbicara ke arah mikrofon. "Kapan saya mulai?" "Sekarang. Aku ingin mempelajari kasus tersebut malam ini, kalau kau punya waktu." "Tentu." "Ada yang lain?" Aku menelan ludah. "Saya menyatakan bangkrut awal bulan ini. Panjang ceritanya." "Itu saja? Tujuh atau tiga belas?" "Tujuh." "Kalau begitu, itu tidak akan mempengaruhi gajimu. Di samping itu, kau belajar untuk persiapan ujian pengacara pada waktumu sendiri, oke?" "Baik.” la mematikan dictaphone dan sekali lagi menawarkan telur gulung padaku. Aku menolak, Aku mengikutinya menuruni tangga spiral, menuju sebuah perpustakaan kecil. "Mudah untuk tersesat di sini," katanya. "Tempat ini luar biasa," kataku, mengagumi labirin ruangan dan lorong-lorong. Kami duduk pada sebuah meja dan mulai menggelar berkas Jack di hadapan kami. Ia terkesan dengan keteraturanku menyusunnya. la minta beberapa dokumen tertentu. Semuanya ada di ujung jariku. la ingin tanggal dan nama-nama. Aku sudah menghafalkannya. Aku membuat salinan dari semuanya— satu copy untuk berkasnya, satu untukku. Aku sudah punya segalanya, kecuali kontrak resmi layanan hukum yang ditandatangani keluarga Jack. la tampak terperanjat dengan hal ini, dan kujelaskan bagaimana mungkin aku mewakili mereka. Kita perlu punya kontrak, katanya lebih dari satu kali. *** Aku pulang sesudah pukul sepuluh. Di cermin mobil kupergoki diriku tersenyum ketika mengemudi melintasi kota. Aku akan menelepon Bolie besok pagi dengan kabar baik ini. Kemudian aku akan membawakan bunga untuk Altha Abigail dan mengucapkan terima kasih. Ini mungkin pekerjaan rendah, tapi tak ada tempat lain kecuali menanjak naik. Beri aku waktu satu tahun, dan aku akan menghasilkan lebih banyak uang daripada Anya Joy Moretz, Tom Evans, N. Mila Fox, dan seratus b*****h lain yang harus kuhindari selama satu bulan terakhir ini. Beri aku waktu. Aku mampir di Yugo’s dan minum dengan Prince. Kuceritakan padanya kabar baik ini, dan ia beriku pelukan mabuk. Katanya ia tak suka melihatku pergi. Kukatakan padanya bahwa aku akan sering ke situ selama satu-dua bulan, mungkin bekerja pada akhir pekan sampai ujian pengacara selesai. Apa saja oke bagi Prince. Aku duduk seorang diri di meja di belakang, meneguk bir dingin dan mengamati pengunjung yang tak begitu banyak, Aku tidak lagi malu, Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu aku tidak lagi dibebani perasaan rendah diri, Aku siap beraksi sekarang, siap meniti karier ini. Aku bermimpi suatu hari nanti berhadapan dengan Vikki Salve di ruang pengadilan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD