Tiga Puluh Delapan

2048 Words
Bolie menemukan formulir-formulir itu di suatu tempat dalam biro hukum Matthew. Katanya di sana ada seorang associate yang terselip di lantai bawah tanah dan kadang-kadang menangani kasus pernyataan bangkrut; ia bisa mencuri formulir-formulir yang diperlukan. Formulir-formulir itu cukup jelas. Daftar aset pada satu halaman; dalam kasusku, itu tugas mudah dan cepat. Daftar utang pada halaman lain. Tempat kosong untuk informasi pekerjaan, litigasi pending, dan lain-lain. Inilah yang dikenal sebagai Pasal 7, kebangkrutan total, di mana aset terhapus bersih untuk menutup utang, yang ikut terhapus bersih. Aku tidak lagi bekerja di Yugo’s. Aku bekerja, tapi sekarang dibayar tunai, tanpa catatan. Tanpa apapun untuk hiasan atau ditempelkan. Tanpa kewajiban untuk membagi upahku yang kecil dengan Halter Grisworld. Aku membicarakan kesulitanku dengan Prince, tentang bagaimana parahnya keadaanku, menimpakan ke alahan pada uang kuliah dan kartu kredit, ia senang dengan gagasan membayarku kontan dan mengecoh pemerintah. la penganut teguh perekonomian kontan, tanpa pajak. Prince menawariku pinjaman untuk membayar uang jamìnan, tapi itu percuma. Ia pikir sebentar lagi aku akan punya penghasilan besar sebagai pengacara muda kaya raya, dan aku tidak sampai hati mengatakan padanya bahwa aku mungkin akan lebih lama bekerja untuknya. Tidak pula aku mengatakan tentang betapa besar pinjaman itu jadinya. Halter Grisworld menggugatku sebanyak $612,88, termasuk biaya pengadilan dan bayaran pengacara. Induk semangku menggugat $809, dito untuk biaya pengadilan dan bayaran pengacara. Tapi serigala yang sesungguhnya baru saja mendekati. Mereka menulis surat jorok itu, mengancam untuk mengirimkan pengacaranya. Aku punya satu MasterCard dan satu Visa, masing-masing diterbitkan oleh bank yang berbeda di Southaven sini. Antara Thanksgiving dan Natal tahun lalu, selama periode pendek penuh kebahagiaan ketika aku terjamin akan punya pekerjaan yang baik beberapa bulan lagi, dan ketika aku jatuh cinta sia sia pada Anya Joy, aku memutuskan akan membelikannya beberapa hadiah indah untuk hari besar itu. Aku ingin barang-barang mahal yang tahan lama. Dengan MasterCard itu aku membeli gelang tenis dari emas dan berlian seharga 1.700 dolar, dan dengan Visa aku membelikan kekasihku sepasang anting-anting perak antik. Aku harus membayar seribu seratus dolar. Pada hari sebelum ia mengatakan kalau tak ingin melihatku lagi, aku pergi ke toko makanan mewah dan membeli sebotol Dom Perignon, satu kilogram hati bebek, kaviar, keju bagus, dan beberapa makanan lezat lain untuk jamuan Natal kami. Aku membayar tiga ratus dolar, tapi sungguh celaka, hidup ini pendek. Bank-bank berakal busuk yang menerbitkan kartu kredit itu, karena alasan yang tak bisa dijelaskan, menaikkan batas kreditku hanya dalam beberapa minggu sebelum liburan, Aku tiba-tiba bisa belanja semauku. Dengan wisuda dan pekerjaan hanya beberapa bulan di depan mata, aku tahu bisa bersúsah payah melunasi sejumlah kecil pembayaran minimum sampai musim panas tiba. Jadi, aku belanja dan belanja, dengan impian akan kehidupan indah bersama Anya Joy. Sekarang aku benci diri sendiri karena sudah melakukan semua itu, tapi sebenarnya aku sudah mencatat dan mengkalkulasi segalanya. Itu bisa dibereskan. Hati bebek itu membusuk ketika suatu malam aku membiarkannya di atas lemari es, sementara aku terlibat pergulatan hebat dengan bir murahan. Untuk jamuan Natal, aku seorang diri makan keju dan sampanye di dalam apartemen yang gelap. Kaviarnya tak tersentuh. Aku duduk di sofaku yang goyah, menatap perhiasan di lantai di depanku. Ketika menggigiti sepotong besar keju Brie dan meneguk Dom, aku melihat hadiah Natal untuk kekasihku, dan menangis. Pada suatu saat yang tak kuketahui dengan tepat, antara Natal dan Tahun Baru, aku menenangkan diri dan mengusahakan untuk mengembalikan barang-barang mahal itu ke toko asalnya. Aku bermain-main dengan gagasan untuk melemparkan mereka dari jembatan, seperti Billy Joe, atau melakukan tindakan dramatis semacam itu. Namun melihat keadaan emosiku saat itu, aku tahu sebaiknya aku tidak dekat-dekat dengan jembatan. Saat itu sehari sesudah malam Tahun Baru. Ketika kembali ke apartemen, sesudah jalan-jalan dan lari, kusadari bahwa aku baru saja dirampok. Pintu didobrak dengan linggis, Maling-maling itu mengambil TV dan stereo tuaku, satu stoples uang logam 25 sen di meja riasku, dan—tentu saja—perhiasan yang kubeli untuk Anya Joy. Aku menelepon polisi dan mengisi formulir laporan. Aku memperlihatkan pada mereka tanda transaksi kartu kredit itu. Si sersan cuma menggelengkan kepala dan menyuruhku menghubungi perusahaan asuransi. Aku membuang tiga ribu dolar lebih dalam transaksi dengan uang plastik. Saatnya sudah tiba untuk membereskannya. Aku dijadwalkan untuk diusir besok. Undang-undang Kebangkrutan punya ketentuan yang sangat bagus, yang memberikan penundaan otomatis segala tindakan hukum terhadap orang yang berutang. Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan besar kaya raya, termasuk sobatku Halter Grisworld, berlari ke pengadilan kebangkrutan ketika membutuhkan perlindungan sementara. Induk semangku tak bisa menyentuhku besok; bahkan tidak bisa meneleponku dan menyemburkan caci maki. Aku keluar dari lift dan menarik napas dalam. Gang itu penuh sesak dengan pengacara. Ada tiga hakim bekerja penuh mengurus kasus kebangkrutan, dan ruang sidang mereka ada di lantai ini. Mereka menjadwalkan berpuluh-puluh sidang pemeriksaan tiap hari, dan tiap sidang melibatkan sekelompok pengacara; satu untuk debitor, beberapa untuk kreditor. Tempat ini seperti kebun binatang. Ketika berjalan levat, aku mendengar berpuluh-puluh konferensi penting. Para pengacara melakukan tawar-menawar mengenai tagihan biaya pengobatan yang tak terbayar dan berapa nilai truk pickup-nya. Aku memasuki kantor panitera dan menunggu sepuluh menit, sementara para pengacara di depanku berlambat-lambat mengisi formulir petisi. Mereka kenal baik dengan para asisten panitera di situ, dan banyak main mata serta berbasa-basi tak keruan. Aduh, aku suka jadi pengurus kebangkrutan, sehingga perempuan-perempuan di sini akan memanggilku Finley atau Sean. Tahun lalu ada seorang profesor mengatakan pada kami bahwa kasus kebangkrutan adalah bidang yang akan berkembang untuk masa depan, apalagi dengan ketidakpastian situasi ekonomi, pemangkasan tenaga kerja, penciutan perusahaan, demikian ia memperhitungkan. Ini pendapat yang tak pernah mengajukan sepeser pun tagihan dalam praktek hukum. Namun hal itu memang tampak menguntungkan saat ini. Petisi kebangkrutan diajukan dari berbagai penjuru. Semua orang jatuh miskin. Kuserahkan formulir-formulirku pada seorang kerani yang tampak bosan, seorang gadis manis dengan mulut penuh permen karet. la melirik petisi itu dan mengamatiku dengan cermat. Aku memakai kemeja denim dan celana khaki. "Kau pengacara?" ia bertanya agak keras. Kulihat orang-orang memandangku. "Bukan." "Apa kau debitor?" ia bertanya -lebih keras lagi, permen karetnya berdecak-decak. "Ya," jawabku cepat-cepat. Debitor yang bukan pengacara bisa mengajukan petisinya sendiri, meski hal ini tak pernah diiklankan di mana pun. la mengangguk dan membubuhkan cap pada petisi tersebut. "Biaya pengajuan petisi delapan puluh dolar." Kuangsurkan empat lembar dua puluh dolar kepadanya, lalu ia mengambil uang itu dan memandangnya dengan curiga. Petisiku tidak mencantumkan rekening koran, sebab aku sudah menutupnya kemarin, secara efektif menghapuskan aset senilai $11,84. Aset lain yang terdaftar adalah: sebuah mobil Toyota yang sangat tua— $500; macam-macam perabot—$150; koleksi SCD $200; buku-buku hukum—$125; pakaian—$150. Semua aset ini dianggap barang pribadi, jadi dibebaskan dari tindak hukum. Aku baru saja mulai. Aku boleh menyimpan semuanya, tapi diminta menerus kan pembayaran Toyota tersebut. "Tunai nih?” katanya, kemudian memberiku sehelai tanda terima. "Aku tidak punya rekening bank,” aku nyaris berteriak kepadanya, agar bisa didengar oleh mereka yang menguping dan mungkin menginginkan sisa ceritanya. la memandangku berapi-api; aku membalas tatapannya. la kembali pada kesibukannya dan dalam semenit menyodorkan salinan petisi itu dengan sehelai tanda terima. Aku melihat tanggal, jam, dan tempat sidang pemeriksaanku. Aku hampir sampai ke pintu ketika seseorang menyetopku. Seorang laki-laki muda berperawakan kekar dengan wajah berkeringat dan jenggot hitam menyentuh lenganku pelan. "Maaf, Sir," katanya. Aku berhenti dan memandangnya. La menyelipkan sehelai kartu nama ke tanganku. "Oscar Milos, pengacara. Saya kebetulan mendengar pembicaraan Anda di sana tadi. Saya pikir Anda mungkin butuh bantuan dengan BK Anda." BK adalah istilah pengacara unluk menyebut bangkrut. Aku melihat kartu nama itu, kemudian beralih pada wajahnya yang bopeng. Aku sebenarnya sudah mendengar nama Oscar. Aku pernah melihat ikiannya pada ikian mini di surat kabar. la mengiklankan penanganan kasus Pasal 7 untuk 150 dolar ke bawah dan ini dia orangnya, berkeliaran di kantor panitera seperti burung pemakan bangkai, menunggu untuk menerkam si g****k yang mungkin bisa memberikan 150 dolar. Dengan sopan aku mengambil kartunya. "Tidak, terima kasih,” kataku, mencoba bersikap ramah. "Aku bisa menanganinya.” "Ada banyak cara untuk mengacaukannya,” katanya cepat, dan aku yakin ia sudah memakai kalimat ini seribu kali. "Pasal 7 bisa mengecoh. Saya menangani seribu kasus tiap tahun. Dua ratus dolar kurang, dan akan saya urus segalanya. Saya punya kantor dan staf.” Sekarang ongkosnya dua ratus dolar. Kurasa apabila bertemu langsung dengan orangnya, ia akan menambahkan lima puluh dolar. Sampai di sini, akan sangat mudah mengumpatnya, tapi perasaanku mengatakan Oscar jenis manusia yang tak bisa dipermalukan lagi. "Tidak, terima kasih,” kataku, dan menerobos melewatinya. Perjalanan ke bawah berlangsung lamban dan menyebalkan. Liftnya penuh sesak dengan pengacara, semuanya berpakaian buruk, dengan koper rombeng dan sepatu lecet. Mereka masih berceloteh tentang pengecualian serta apa yang bisa diselamatkan dan apa yang tidak. Omong kosong pengacara. Diskusi yang luar biasa penting. Mereka sepertinya tak bisa berhenti. Ketika kami hampir berhenti di lantai dasar, hal itu terlintas dalam pikiranku. Aku tidak tahu apa yang akan aku kerjakan setahun dari sekarang, dan bukan sekadar ada kemungkinan, tapi kemungkinan amat besar aku akan naik lift ini, terlibat dalam perdebatan dangkal dengan orang-orang yang sama. Kemungkinan besar aku akan jadi seperti mereka, bergelandangan di jalanan, mencoba memeras bayaran dari orang-orang yang tak mampu membayar, luntang-lantung di sekitar pengadilan, mencari pekerjaan. Aku berkunang-kunang membayangkan pikiran mengerikan ini. Lift itu panas dan pengap. Kupikir aku akan muntah. Lift berhenti, mereka menghambur ke dalam lobi, berpencar sambil masih bicara dan berdiskusi. Udara segar menjernihkan kepalaku ketika aku berjalan di sepanjang pelataran mal Southaven, jalan khusus untuk pejalan kaki, dengan sebuah gerobak buatan untuk mengangkut para gelandangan ke sana sini. Dulu jalan ini disebut Main Street, dan masih merupakan sarang bagi banyak pengacara. Gedung pengadilan hanya beberapa blok dari sini. Aku melewati gedung-gedung jangkung di pusat kota, dalam hati bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi di berbagai biro hukum yang tak terhitung jumlahnya itu: para associate berjuang mati-matian, bekerja delapan belas jam sehari, sebab orang berikutnya bekerja dua puluh jam sehari; partner junior berdiskusi membahas strategi perusahaan; partner senior bicara di dalam kantor-kantor pojok mereka yang didekorasi mewah, sementara sekelompok pengacara yang lebih muda menunggu instruksi. Sejujurnya, inilah yang aku inginkan ketika mulai kuliah hukum. Aku menginginkan tekanan dan kekuasaan yang memancar dari bekerja bersama orang orang pandai dan bermotivasi besar, yang semuanya di bawah tekanan, desakan, dan batas waktu. Biro hukum tempatku magang musim panas kemarin adalah biro hukum kecil, hanya ada dua belas pengacara, tapi banyak sekretaris, paralegal, dan kerani lainnya. Kerap kali aku mendapati suasana kacau di sana memesona. Aku adalah bagian yang sangat kecil dalam tim itu, dan aku ingin suatu hari kelak menjadi kaptennya. Aku membeli es krim dari penjaja jalanan dan duduk di sebuah bangku di Court Square. Burung burung merpati mengawasiku. Terbayang di atasnya adalah First Federal Town, gedung tertinggi di Southaven, sarang Chris & Fou. Aku bersedia membunuh untuk bisa bekerja di sana. Memang gampang bagiku dan rekan-rekanku untuk mengutuk Chris & Fou. Kami mengutuki mereka, sebab kami tidak cukup baik bagi mereka. Kami membenci mereka, sebab mereka tidak akan memandang kami, bahkan tak mau repot mewawancarai kami. Aku mengira kalau ada Chris & Fou di setiap kota, di segala bidang. Aku tidak bisa bekerja di sana dan tidak menjadi bagiannya, jadi aku akan terus menjalani hidup sambil membenci mereka. Bicara tentang biro hukum, aku pikir karena sudah berada di kota, aku akan menghabiskan beberapa jam untuk mengetuk pintu. Aku punya daftar pengacara yang kalau tidak bekerja sendirian, tentu bergerombol bersama satu-dua praktisi lain. Satu-satunya faktor pemberi semangat dalam memasuki bidang yang sudah begitu penuh sesak adalah banyak sekali pintu yang bisa diketuk. Ada harapan, demikian yang aku katakan pada diri sendiri, bahwa pada saat yang tepat aku akan menemukan kantor yang belum pernah ditemukan orang lain, dan berjumpa dengan pengacara yang merengek-rengek membutuhkan orang baru untuk menggarap pekerjaan sampahnya. Entah laki-laki atau perempuan. Aku tak peduli. Aku berjalan beberapa blok menuju Chrysler Building, gedung tinggi pertama di Southaven, yang sekarang menjadi sarang beratus-ratus pengacara. Aku mengobrol dengan beberapa sekretaris dan menyerahkan resume-anku. Aku benar-benar tercengang ketika melihat betapa banyaknya kantor pengacara yang mempekerjakan resepsionis pemurung dan bahkan kasar. Jauh sebelum kami menyentuh masalah pekerjaan, aku kerap kali diperlakukan seperti pengemis. Beberapa orang mengambil resumeku dan memasukkannya ke laci Aku tergoda untuk memperkenalkan diri sebagai klien potensial, suami yang sedang berduka cita atas kematian istrinya karena tertabrak truk besar, truk yang diasuransikan dalam jumlah besar. Dan seorang sopir mabuk. Truk Exxon, mungkin. Tentu menyenangkan melihat b*****t-b*****t judes itu melompat dari kursi mereka, menyeringai lebar, bergegas mengambilkan kopi untukku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD