Empat Puluh Tujuh

1357 Words
AKU sudah siap menjelaskan pada Gibson bahwa aku tidak akan bisa bekerja pada hari Sabtu, karena tuntutan mendesak di rumah dan sebagainya. Dan aku sudah siap mengusulkan untuk bekerja beberapa jam pada Minggu sore, kalau ia benar benar membutuhkanku. Tapi aku khawatir itu akan percuma. Gibson akan ke luar kota untuk bérakhir pekan, dan karena aku tidak akan berani memasuki kantor tanpa kehadirannya, masalah itu takkan bisa diperdebatkan. Entah karena apa, Miss Streep tidak menggedor pintuku sebelum matahari terbit, sebaliknya memilih menyibukkan diri di depan garasi, di bawah jendelaku, dengan segala macam peralatan. la menjatuhkan garu dan sekop. la mengupas kerak dari bagian dalam kereta sorong dengan beliung yang berat. la mengasah dua cangkul tumpul sambil bernyanyi. Akhirnya aku turun, beberapa saat selewat pukul tujuh, dan ia berlagak kaget melihatku. "Selamat pagi, Edward. Dan bagaimana keadaanmu?" "Baik, Miss Streep. Anda sendiri?" "Baik sekali, sangat baik. Bukankah ini hari yang indah?" Hari ini belum lagi mulai, dan masih terlalu pagi untuk mengukur keindahannya. Kalau harus dikomentari, hawanya agak panas untuk sepagi itu. Hawa musim panas Memphis yang tak tertahankan sudah tak jauh lagi. la menyediakan secangkir kopi instan dan sepotong roti bakar untukku sebelum mulai ribut tentang pupuk tersebut. Aku mulai beraksi dan ia melihatnya dengan gembira. Di bawah petunjuknya, aku angkat karung pertama, mendorongnya melintasi halaman depan, ke rumpun mawar kurus di dekat jalan. la memegang kopinya dengan tangan terbungkus sarung dan menunjuk ke tempat pupuk itu harus ditebarkan. Aku sudah cukup letih oleh perjalanan itu, terutama ketika melangkah di rumput basah, tapi aku merobek karung itu dengan penuh semangat dan mulai menaburkan rabuk dengan garpu rumput. Kaosku basah kuyup ketika aku menyelesaikan karung pertama sepuluh menit kemudian. la mengikutiku dan kereta sorong itu kembali ke pinggir teras, tempat kami mengisinya kembali. la menunjuk karung tertentu yang ia inginkan berikutnya, dan kami menyeretnya ke sudut dekat kotak surat. Dalam satu jam pertama kami menaburkan lima karung. Dua setengah kuintal rabuk. Dan aku sengsara. Suhu mencapai tiga puluh derajat pada pukul sembilan. Aku membujuknya untuk istirahat minum pada pukul setengah sepuluh, dan merasa sulit untuk berdiri setelah duduk selama sepuluh menit. Sakit punggung menimpaku beberapa saat sesudah itu, tapi aku mengiggit lidah dan hanya meringis sedikit. Ia tidak melihat. Aku bukan orang malas, dan sewaktu masih kuliah di college, tak berapa lama yang lalu, kondisi fisikku amat bagus. Aku melatih fisikku dengan serius, tapi kemudian aku mulai kuliah hukum dan punya banyak waktu untuk kegiatan seperti itu lagi. Aku merasa seperti orang loyo sesudah beberapa jam bekerja keras. Untuk makan siang, ia memberiku dua poton sandwich kalkunnya yang tanpa rasa dan sebut apel. Aku makan perlahan-lahan di teras, di bawah kipas angin. Punggungku nyeri dan kakiku kebas tanganku benar-benar bergetar ketika aku menggerumis seperti kelinci. Sewaktu menunggunya selesai di dapur, aku menatap ke seberang petak rumput, di balik monumen pupuk, ke apartemenku yang bertengger polos di atas garasi. Aku begitu bangga dengan diri sendiri ketika menegosiasikan 150 dolar per bulan yang tak ada artinya itü sebagai uang sewa, tapi sepintar apakah sebenarnya aku waktu itu? Siapa yang mendapatkan hasil terbaik dari transaksi ini? Aku teringat bahwa aku merasa sedikit jengah pada diri sendiri karena mengambil keuntungan dari perempuan kecil yang manis ini. Sekarang aku ingin menjejalkannya ke dalam karung pupuk kosong. Menurut termometer kuno yang terpaku pada garaşi, suhu pada pukul satu siang adalah 34 derajat Celsius. Pada pukul dua, punggungku akhirnya terkunci kaku, dan aku menjelaskan pada Miss Streep bahwa aku harus istirahat, la memandangku dengan sedih, kemudian berbalik perlahan-lahan, mengamati tumpukan karung putih yang belum berkurang. Kami hampir tak mengikisnya secuil pun. "Ah, baiklah. Kalau kau memang harus istirahat.” "Cuma satu jam.” Aku memohon. la mengalah, tapi pada pukul setengah empat aku sekali lagi mendorong kereta sorong dengan Miss Streep di belakangku. Sesudah delapan jam kerja kasar, aku sudah menebarkan 79 karung pupuk, kurang dari sepertiga kiriman dari yang ia pesan. Tak berapa lama sesudah makan siang, aku lontarkan isyarat pertama bahwa aku ditunggu di Yugo’s pada pukul enam. Sudah tentu ini bohong, Aku dijadwalkan untuk menjaga bar mulai pukul delapan sampai tutup. Tapi ia tak pernah tahu bedanya, dan aku bertekad membebaskan diri dari pupuk itu sebelum gelap. Pukul lima aku berhenti. Aku bilag padanya bahwa aku sudah letih, punggungku sakit. Aku harus bekerja dan aku menyeret tubuh menaiki tangga, sementara ia mengawasi dengan sedih dari bawah. Ia bisa mengusirku. Aku tak peduli. *** Suara gemuruh petir membangunkanku pagi hari Minggu. Aku berbaring kaku di seprai, sementara hujan lebat mendera atap. Kepalaku baik-baik saja— tadi malam aku berhenti minum ketika masih bertugas. Tapi bagian lain tubuhku bagaikan terpaku pada beton, tak bisa bergerak. Sedikit geseran menimbulkan rasa sakit yang menyiksa. Untuk bernapas pun terasa sakit. Suatu saat selama siksaan berat kemarin, Miss Streep menanyai apakah aku mau mengikuti kebaktian dengannya pagi ini. Datang ke gereja bukan syarat dalam perjanjian sewa, tapi kenapa tidak? pikirku. Kalau perempuan tua yang kesepian ini ingin aku pergi ke gereja bersamanya, biarlah sedikitnya itulah kebaikan kecil yang bisa aku berikan padanya. Aku tidak akan rugi apa-apa. Kemudian aku bertanya, gereja apa yang ia kunjungi. Calvary Chapel di Missouri, jawabnya. Siaran langsung via satelit. la akan mengikuti kebaktian bersama Pendeta Ivan Stefanus, di dalam keheningan rumahnya sendiri. Aku menolak. la tampak agak tersinggung, tapi pulih dengan cepat. Ketika masih kanak-kanak, jauh sebelum ayahku menyerah pada alkohol dan berniat mengirimku ke sekolah militer, aku sekali-sekali pergi ke gereja bersama ibuku. Satu-dua kali ayahku ikut pergi, tapi tak melakukan apa-apa kecuali berkeluh kesah, jadi Ibu dan aku lebih suka ia tinggal di rumah, membaca koran. Gereja itu Gereja Methodis kecil dengan pendeta yang ramah, Pendeta Gurira, yang suka menceritakan kisah-kisah lucu dan membuat setiap orang merasa dicintai. Aku ingat betapa puasnya perasaan ibuku tiap kali kami mendengarkan khotbahnya. Banyak anak di Sekolah Minggu, dan aku tidak keberatan dimandikan bersih-bersih, disuruh memakai pakaian tersetrika kaku pada Minggu pagi, dan digiring ke gereja. Suatu ketika, ibuku menjalani operasi kecil dan harus menginap tiga hari di rumah sakit. Tentu saja ibu-ibu di gereja tahu perincian paling dalam mengenai operasi tersebut, dan selama tiga hari rumah kami dibanjiri casserole, kue, pie, roti, panci-panci penuh makanan, lebih daripada yang bisa dimakan Oleh aku dan ayahku dalam setahun. Ibu-ibu itu membentuk kelompok untuk merawat- kami. Mereka bergiliran mengurus makanan, membersihkan dapur, menyambut banyak tamu yang membawa lebih banyak lagi casserole. Selama tiga hari ibuku berada di rumah sakit, dan tiga hari sesudah ia pulang, kami sedikitnya ditemani oleh seorang perempuan yang tinggal bersama kami dan bagiku, sepertinya bertugas menjaga makanan. Ayahku benci siksaan itu. Pertama, ia tak bisa menyelinap dan minum—tak mungkin dengan adanya ibu-ibu gereja. Aku pikir mereka tahu kalau ia suka mencuri minum dari botol, dan karena sudah berhasil menerobos ke dalam rumah, mereka bertekad untuk memergokinya. Dan ia diharapkan menjadi tuan rumah yang ramah, sesuatu yang memang tak bisa dikerjakan oleh ayahku. Sesudah 24 jam pertama, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit, tapi bukan untuk menjaga istrinya yang sedang sakit. la tinggal di ruang duduk pengunjung, menonton TV dan meneguk cola campur minuman keras. Aku punya kenangan indah tentang saat itu. Rumah kami tak pernah merasakan kehangatan seperti itu, tak pernah melihat begitu banyak makanan lezat. Perempuan-perempuan itu begitu mengurusiku, seolah-olah ibuku sudah meninggal, dan aku gembira menikmati perhatian tersebut. Mereka adalah bibi dan nenek yang tak pernah aku kenal. Tak lama sesudah ibuku sembuh, Pendeta Gurira melakukan suatu tindakan tidak bijaksana yang tak pernah sepenuhnya aku pahami, dan gereja itu terpecah. Seseorang menghina ibuku, dan itulah akhir riwayat gereja bagi kami. Aku pikir ia dan Curtis, suami barunya, pergi ke gereja secara sporadis. Untuk beberapa lama aku merindukan gereja, lalu mengembangkan kebiasaan untuk tidak pergi. Teman-temanku sekali-sekali mengundangku untuk kembali, tapi tak lama kemudian aku jadi terlalu pongah untuk pergi ke gereja. Seorang pacar di college pernah beberapa kali membawaku menghadiri misa, selalu pada Sabtu sore, tapi aku terlalu Protestan untuk memahami semua ritual tersebut. Miss Streep dengan takut-takut menyebut kemungkinan untuk menggarap kebun sore ini. Aku menjelaskan padanya bahwa sekarang hari Sabat, hari suci untuk Tuhan, dan aku sama sekali tak mau bekerja pada hari Minggu. Dan ia tak tahu harus mengatakan apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD