Di tengah hiruk pikuk suasana Bandara yang cukup ramai, Elard menatap sosok wanita di depannya yang tak henti menyusut ingus.
"Ck! Mau bulan madu malah mewek."
"Ish! Masnya kebiasaan, merus*k momen. Ini kan harusnya jadi ajang penuh haru."
"Ngapain? Kan mau bulan madu, bukan nganterin orang yang mau ke medan perang."
Mencebik sebal, Nara tak lagi membantah pria di depannya yang tampak menikmati raut kesalnya.
"Kenapa Korea?"
"Hm?" Mengerjap bingung, Nara tak mengerti arah pertanyaan yang Elard lontarkan secara tiba-tiba.
"Itu, kenapa pilih ke Korea? Gue udah siapin tiket ke Dubai tadinya."
Ber-oh panjang, Nara menggaruk pipi sembari cengar-cengir. "Mau coba-coba cari peruntungan, kali aja ketemu Ji Chang Wook Oppa—aduh! Ish! Kok aku di getok sih Masnya?"
Mendengkus, Elard yang tadi menjitak kening Nara karena gemas bercampur kesal hanya bisa menggelengkan kepala. "Udah punya laki, masih aja cuci mata. Jadi pilihan lo ke Korea ada misi terselubung?"
"Ya, nggak gitu," membenahi poni rambutnya, Nara berdeham, sebelum kemudian melanjutkan ucapannya. "Kan, kata pepatah juga, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Jadi, kurang lebih, itu juga yang sekarang aku lakukan."
Berdecak, Elard menyugar rambut, "suka-suka lo aja deh, Na. Tapi ingat, status lo sekarang."
"Ya nggak mungkin lupa Masnya. Nih," tunjuknya pada cincin cantik yang sudah melingkari jari manisnya. "Aku udah terikat sehidup semati," kikiknya sebelum kemudian mengecup cincin tersebut.
"Kalau mau liat Oppa nggak usah jauh-jauh, kan di sini ada Nassar Oppa yang lebih kiyowo."
"Astaga, Masnya kok bisa tau?" Tak lagi bisa menahan, Nara akhirnya meledakan tawa cukup keras, hingga membuat beberapa orang yang berlalu lalang atau berada di dekat mereka menolehkan kepala dengan raut penasaran.
Malu menjadi pusat perhatian, Elard segera membekap mulut Nara hingga gadis itu meronta minta dilepaskan. "Astaga ... Ketawa lo kayak speaker setel lagu dangdutan pagi-pagi tau nggak?"
Setelah bersusah-payah, Nara akhirnya bisa lepas dari bekapan Elard. "Ish! Kan Masnya yang—"
"Bahas apa sih seru banget?" Suara seseorang yang tertangkap pendengaran menginterupsi perdebatan Nara dengan Elard. Keduanya menolehkan kepala secara bersamaan, dan mendapati keberadaan Panca, Dika, serta Dava yang berjalan kearah mereka.
"Lo bertiga pipis sambil pasang puzzle ya? Lama banget!"
Tergelak, Dava menepuk-nepuk pundak Elard yang hanya mendengkus sebal. "Si Bos makin lucu deh. Dik, kayaknya lo kalah saing. Nggak bisa bikin lelucon lagi."
"Yah Bos, cukup ganteng aja, jangan lucu juga. Nanti makin banyak cewek yang suka." Keluh Dika dengan raut berlebihan.
Memutar bola mata, perhatian Elard kemudian tertuju pada Nara dan Panca yang sudah saling merangkul mesra. "Lo berdua baik-baik di sana. Jagain istri lo Ca, dia mau berburu Ji Chang Wook di Korea nanti." Elard menaikan satu alis mata sembari mengulum senyum. Tampak menikmati raut kesal dan pelototan yang Nara lemparkan padanya.
"Ji Chang Wook siapa, Bos?"
"B—bukan siapa-siapa kok Mas, Mas El ngaconya kumat." Terkekeh kering, Nara mempererat pelukannya dilengan Panca. Berusaha mengalihkan perhatian suaminya yang tengah penasaran dengan ucapan Elard.
Mengedikkan bahu tak acuh, Elard menepuk-nepuk pundak Panca. "Lupain, yang penting lo berdua bisa menikmati bulan madu di sana nanti. Gue pesan ponakan dua cowok satu cewek ya?"
Dika dan Dava kompak tergelak keras, sementara Panca dan Nara tak bisa menutupi wajahnya yang memerah karena menahan malu.
"Masnya minta ponakan kayak pesan martabak, terus topingnya request sesuai selera."
"Tau nih, Bos, bikin panas dingin aja." Mengusap tengkuk, Panca meringis malu.
"Kan, gue bilang juga apa? Si Bos makin lawak sekarang." Usai menghentikan tawanya, Dava menepuk punggung Elard.
"Udahlah, makin banyak aja cewek yang antri suka sama lo Bos." Sambung Dika.
"Untungnya Nara udah jadi alumni ya?" Menaik turunkan alisnya dengan wajah menggoda, Dava terkekeh saat mendapat pelototan dari Panca. "Ah, elah, santai Bro! Bini lo cuma alumni mantan penggemar si Bos. Sekarang udah jadi hak milik lo."
Meski mendengkus sebal, sudut bibir Panca tertarik membentuk senyuman. "Bos, makasih buat hadiah honeymoon gue sama Nara."
Mengangguk, Elard mengacungkan jempol, "yang penting request gue tadi jangan lupa."
Meringis sembari menggaruk kening dengan satu tangannya yang terbebas dari pelukan Nara, Panca hanya pasrah karena menjadi bahan tawa si kembar. "Do'akan aja Bos, syukur-syukur beneran langsung jadi tiga kayak yang Bos minta."
Suara pemberitahuan akan penerbangan pesawat yang Panca serta Nara naiki membuat obrolan mereka terputus, berganti ucapan pamit dan berbagai do'a untuk pengantin baru tersebut.
"Sekali lagi makasih ya, Masnya." Melepas pelukan singkatnya pada Elard, Nara menyeka sudut matanya yang basah dengan punggung tangan. Tak bisa menahan rasa haru yang menyesaki d*da. Dia ... Benar-benar merasa beruntung bisa dipertemukan dengan Elard. Tak pernah terbesit di pikiran jika bisa mendapat kebahagiaan seluar biasa ini. Hidupnya tak lagi terlunta-lunta atau di bawah tekanan Paman serta Bibinya yang kini mendekam di penjara. Nara, telah resmi menjadi istri seorang Panca. Salah satu sahabat dari Elard.
Sejujurnya, hubungan Panca dengan Nara bisa terjalin tanpa ada campur tangan dari Elard atau pun si kembar.
Nara yang bekerja di sebuah panti jompo, dikejutkan dengan kehadiran sosok Panca yang ternyata, mencari keberadaan sang Nenek yang tanpa persetujuan keluarga, dititipkan ke panti jompo di mana Nara bekerja.
Pria itu membujuk sang Nenek untuk tinggal dengannya. Mengingat, orangtua Panca pun tak bisa mengurusi sang Nenek karena kondisi kesehatan sang Mama. Sementara sang Bibi yang diberi kepercayaan untuk merawat Neneknya justru mengirimkan wanita tua yang mulai pikun dengan pandangan yang tak lagi jelas itu, di panti jombo dari salah seorang temannya yang juga menitipkan mertuanya di sana.
Panca jelas murka, karena sedari kecil cukup dekat dengan Neneknya. Dia mengajukan diri untuk merawat sang Nenek. Sekali pun belum berkeluarga, ia sudah memiliki rumah sendiri hasil kerja kerasnya. Rumah dua lantai bergaya minimalis yang telah Panca tempati dua tahun terakhir.
Sayangnya, sang Nenek tak mau pulang dengannya. Wanita tua yang ingatannya mulai pudar itu tak mengenali Panca dan menganggapnya sosok asing. Dia justru lebih dekat dengan Nara yang memang mengurusinya selama di panti. Meski ada petugas panti lainnya, Nenek Panca selalu memilih Nara untuk mengurusinya.
Sejak saat itu, Panca cukup sering mendatangi panti jompo Neneknya. Selain itu, dia kian dekat dengan Nara. Awalnya, memang sekadar untuk membicarakan perkembangan serta kondisi sang Nenek. Tapi ... Tiga bulan terakhir kedekatan mereka, topik pembicaraan keduanya tak sekadar tentang Nenek Panca atau pun panti. Melainkan ... Perhatian pada satu sama lain.
Lalu, setelah lima bulan hubungan keduanya kian dekat, Panca memberanikan diri menyatakan perasaan pada Nara. Awalnya, pria itu cemas dan takut mendapat penolakan. Terlebih, ia cukup tau jika sejujurnya, Nara menaruh hati pada Elard.
Tapi siapa sangka? Gadis itu menerimanya.
Setengah tahun menjalin hubungan, Panca membulatkan tekad untuk meminang Nara. Dia rasa, sudah tak perlu lagi menunggu waktu lebih lama. Dirinya sudah cukup mapan dan siap menjadi kepala keluarga.
Nara sempat terkungkung resah. Sewaktu mendapat lamaran dari Panca. Gadis itu merasa bahagia tentu saja. Tak menyangka, ada seseorang yang melamarnya dengan cara yang pantas. Tapi ... Yang membuatnya cemas, adalah masa lalunya. Terlebih, dia tak lagi memiliki siapa pun. Hidup bak sebatang kara. Tak memiliki orangtua, sementara Paman dan Bibi yang dipercaya menjadi walinya tengah mendekam di penjara.
Beruntung, Panca tak mempermasalahkan mengenai keluarga Nara. Pria itu, dibantu Elard, yang sudah menganggap Nara layaknya saudara, kemudian mengajukan diri mendampingi gadis itu. Keluarga Elard pun tak sungkan ikut turun tangan. Termasuk Iva yang antuasias, seolah mempersiapkan pernikahan putrinya sendiri.
Semua keluarga Panca pun menerima. Meski ... Nara merasa, ada sebagian lagi yang memandangnya sebelah mata dan menggosipkannya di belakang. Tapi ia tak peduli, selama Panca bersedia menerimanya apa adanya, apalagi yang perlu dikhawatirkan? Toh, kedepannya, yang akan menjalani pernikahan adalah dirinya dengan Panca.
Sang Nenek pun nantinya akan tinggal bersama mereka. Tapi, selagi bulan madu, Nenek Panca memilih tinggal di panti alih-alih menatap sementara di rumah anak-anaknya.
Melambaikan tangan, ketiga pria itu menatap pengantin baru yang akhirnya sudah harus pergi, karena pesawat yang akan keduanya tumpangi telah bersiap dan akan berangkat tak lama lagi.
"Bos!" Tepukan Dika dipundaknya membuat fokus Elard teralihkan. Usai mengantar Nara dan Panca, mereka berjalan menuju tempat parkir dan bersiap pulang.
"Apa?" Menaikan satu alis mata, Elard bertanya pada salah satu sahabatnya yang tadi memanggilnya.
"Lo baik banget sama Nara? Beneran nggak ada rasa?"
"Ck! Nggak semua hal harus menjurus ke sana."
Meringis kecil, Dika mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sorry, penasaran aja gue."
"Nara udah gue anggap kayak adek, jadi ... Ya, rasa gue ke dia, rasa sayang antar saudara."
"Kalau Anin?" Celetukan dari Dava membuat Elard mengerjap. "Sayangnya rasa adek juga? Apa ada rasa lain?"
"Itu mah, rasa-rasanya gue pengen jitak lo berdua deh." Dengkus Elard yang kemudian merangkul leher si kembar, sebelum kemudian memiting hingga keduanya memohon ampun secara serempak. Terlebih, posisi Elard yang berjalan di tengah memudahkan untuk melancarkan aksinya.
Aksi ketiganya sempat menjadi lirikan beberapa orang. Terlebih, para gadis yang mengulum senyum penasaran yang diselipi rasa terpesona.
Sesampainya di parkiran, Elard memasuki mobilnya sendiri usai berpamitan pada Dika dan Dava.
Mengela napas, Elard mengacak rambut. Sebelum kemudian menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya dalam keheningan.
Suara ponsel membuat fokus Elard teralihkan, mengangkat panggilan melalui Handsfree, ia berusaha menjaga konsentrasinya, "Halo, Ma?"
"El, kamu pulang ke rumah kan?"
Meringis, Elard tak lekas menjawab, hingga Iva kembali memanggilnya di seberang sambungan. "Hm ... Malam ini kayaknya pulang ke apartemen."
Suara decakan membuat Elard tau jika wanita paruh baya itu menahan kesal. "Kamu sama Gavin makin susah aja pulang ke rumah. Nanti Mama minta Papa jual apartemen kalian berdua lama-lama." Ancamannya yang membuat Elard mengerjap. Mengingat, itu pasti bukan sekadar omong kosong.
"Yah, jangan dong, Ma." Sejujurnya, Elard tak perlu khawatir. Toh, jika Iva benar-benar menjual apartemen yang di tinggali saat ini, dia bisa membeli yang baru. Tapi wanita itu pasti akan mencari cara lain agar ia dan Gavin tinggal di rumah utama. "Mama kenapa sih, mengharuskan aku sama Gavin tinggal di rumah? Kan kita udah punya tempat tinggal sendiri. Tapi sesekali bakal nginep di rumah kok."
Terdengar suara elaan napas panjang, sebelum kemudian, Iva menjawab ucapan Elard. "Kalian itu udah makin dewasa, dan mungkin ... Nggak lama lagi akan berumah tangga. Jadi, selagi masih sendiri, Mama mau, kamu sama Gavin menghabiskan waktu lebih banyak bersama Mama-Papa, Sayang. Mengingat, untuk mencapai di titik ini, bukan sesuatu yang mudah dan singkat. Kamu ... Mengerti kan maksud Mama?"
Menganggukkan kepala, Elard meringis saat sadar, kalau Iva tak mungkin melihat pergerakannya. Berdeham, Elard menjawab, "Iya Ma, nanti ... Aku usahakan sering-sering nginap di rumah. Tapi untuk hari ini, izin di apartemen ya? Aku baru aja antar Nara sama Panca ke bandara."
"Mereka sudah berangkat?"
"Sudah, Ma."
"Syukurlah, Mama ikut bahagia. Duh, jadi nggak sabar bantu-bantu pernikahan kamu atau Gavin nanti." Ucap Iva antusias, "kalian berdua jangan lama-lama jomlo dong. Mama tuh heran, anak-anak Mama dua-duanya tampan, mapan, dan menjadi idaman. Tapi kok gandengan aja nggak ada?"
Terkekeh kering, Elard kebingungan mencari jawaban. "Ma, hm ... Udah dulu ya, ini Elard masih di perjalanan."
"Aish ... Kenapa nggak bilang? Jangan kebiasaan nyetir sambil angkat telepon, bahaya. Yaudah, Mama tutup teleponnya."
"I—iya Ma, maaf."
Usai mengucap salam, Elard mengakhiri pembicaraannya dengan Iva melalui sambungan telepon. Pria itu mengembuskan napas panjang. Meski berhasil lolos kali ini, pada kesempatan lain, Iva pasti melakukan pembahasan yang sama.
Ck! Gimana mau punya gandengan, kalau sosok yang disuka juga tengah diincar saudara sendiri?
Hadeh, nasib ... Nasib!