Setelah kepergian ibunya serta keluarga suaminya, Asri memutuskan kembali ke kamar hotel. Asri menjadi cemas karena suaminya tadi saat pergi sama sekali belum sarapan. Itu karena mulutnya ini yang asal bicara, Asri memukul-mukul mulutnya untuk melampiaskan rasa bersalahnya. Sungguh ia merasa sangat bersalah, pakde suaminya pasti sangat marah padanya. Kini bukan hanya rasa bersalah saja yang Asri rasakan, tetapi juga takut kalau Rusma akan menyakitinya karena ia sudah berani kurang ajar. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, seharusnya kata-katanya itu sama sekali tidak salah. Rusma usianya sangat jauh di atasnya, tidakkah aneh jika ia memanggil Rusma dengan sebutan mas? Lebih cocok memanggil Rusma dengan sebutan pakde sebenarnya.
'Pakde Rusma itu suami kamu, Asri. Jelas aja salah kalo kamu panggil dia pakde. Itu juga sama aja kamu bilang kalo dia begitu tua.' Batin Asri berbicara.
"Pakde atau mas? Mas atau pakde? Tau ah Asri pusing!" Asri memilih merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk ini.
Sejujurnya Asri merasa tak nyaman di sini, ia ingin ikut ibunya pulang. Namun, mertuanya melarang dan meminta ia agar tetap di sini sampai Rusma menjemputnya. Nah, kalau Rusma yang marah tak mau menjemputnya bagaimana? Bagaimana kalau ia malah ditinggalkan sendirian di sini? Tiba-tiba Asri merinding. Bagaimana kalau ada penculik di sini? Tempat ini 'kan sama sekali tidak ia kenali. Dan bahkan ia baru pertama kali pergi ke sini, Asri menggelengkan kepalanya.
Mengabaikan rasa takutnya, Asri memilih memejamkan matanya. Ia mengantuk dan sepertinya pesta semalam yang begitu megah itu lah yang membuatnya begini. Lagipula ibunya juga tak melarang kalau ia boleh tidur di sini, ia juga tidak diperkenankan keluar dari kamar. Sungguh Asri yang begitu penurut, mungkin jika orang lain yang menikahi Asri. Maka ia merasa beruntung, berbanding terbalik dengan Rusma yang merasa sial karena menikahi gadis kampung, bodoh dan ceroboh seperti Asri. Namun, mau apa dikata, mau menyesal pun tak ada gunanya karena mereka sudah menikah.
Cukup malam Rusma tiba di hotel tempatnya dan Asri menginap, tentu saja ia sengaja pulang malam karena ia sangat malas berlama-lama bersama Asri. Ia pulang ke hotel itu masih dengan setelan kerjanya yang lengkap, di kantornya memang ada ruangan khusus di mana itu adalah kamar pribadi berisi keperluannya. Sehingga ia tak perlu repot lagi membawa pakaian ganti jika sedang berada dalam masa genting.
Lampu kamar sepertinya sudah dimatikan, Rusma melangkah dengan pelan kemudian menghidupkan lampu kamar hingga kamar yang semula gelap menjadi terang. Rusma tak perlu bersikap berlebihan ataupun berteriak ketika melihat sesosok gadis berbaju putih dengan rambut hitam panjang yang menutupi wajahnya dan tengah tertidur di atas ranjang. Ia sudah tahu kalau itu adalah Asri dan akan sangat berlebihan kalau ia masih takut dengan hal yang sama.
"Enak banget dia tidur ya," gumam Rusma yang tiba-tiba merasa kesal karena mengingat kejadian tadi pagi.
Pria itu melepaskan jasnya, menaruh jasnya itu di atas sofa yang ada di kamar ini kemudian melepaskan kancing kemejanya satu persatu. Tak lupa ia juga melepaskan celana bahannya hingga yang tersisa kini hanya celana pendek dan juga kaus putih polos yang melekat ditubuhnya. Ia meletakkan kedua benda itu di dekat jas yang tadi sudah ia taruh.
"Enggak bisa dibiarin, makin lama kalo gini caranya dia makin ngelunjak," ucap Rusma sambil memperhatikan Asri yang masih terlelap dan sialnya tubuh kecil gadis itu menguasai ranjang.
"Cewek kok enggak ada cantik-cantiknya tidur, udah kayak monyet aja," ucap Rusma lagi.
Dalam hitungan satu sampai tiga, Rusma akan mendorong tubuh Asri. Satu ... dua tiga. BRUKK! Rusma tersenyum penuh kemenangan ketika tubuh Asri sudah berada di lantai yang dilapisi karpet.
"Aku juga enggak sejahat itu ya membiarkan kamu tidur di lantai yang dingin, hmm setidaknya kamu masih merasa hangat dengan karpet itu," ucap Rusma lagi kemudian naik ke atas ranjang.
Asri membuka kedua matanya dengan perlahan ketika merasakan ada sebuah goncangan. Gadis itu merasa bingung, setahunya ia tadi tidur di atas ranjang ya. Mengapa tiba-tiba ia jadi tertidur di lantai? Gadis itu memperhatikan sekitar kamar yang kini sudah terang. Dengan setengah kesadarannya Asri berdiri, matanya terbuka dengan lebar ketika melihat ada Rusma di atas ranjang yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Pakde udah pulang?" tanya Asri membuat Rusma menoleh sekilas pada Asri. Pria itu tak menjawab dan lebih memilih mengabaikan Asri, biar saja. Ia kesal karena Asri masih memanggilnya pakde, padahal sudah ia wanti-wanti kalau memanggilnya itu harus setidaknya sopan dan jangan terlalu sopan sekali.
"Pakde masih marah sama Asri?" tanya Asri menebak ketika Rusma tak menjawab pertanyaan pertamanya dan lebih memilih mengabaikannya.
"M-maafin Asri, Asri janji Ndak nakal lagi. Asri janji sama Pakde kalau Asri akan turutin semua kemauan Pakde, tapi Pakde jangan marah sama Asri." Asri menunduk, gadis itu meremas ujung baju yang ia kenakan.
"T-tadi yang dorong aku sampai jatuh ke lantai Pakde, ya? Enggak apa-apa kok. Asri ngerti kalo Asri salah sama Pakde, Pakde berhak marah sama Asri karena Asri emang salah. Tapi maafin Asri ya, Pakde? J-jangan sakitin Asri." Rusma menghela napas, ini kata-kata Asri mengapa seakan menuduhnya kalau ia orang jahat yang akan menyakiti siapa saja yang sudah membuatnya marah? Benar-benar ya!
"Asri kamu itu ya ...." Kata-kata Rusma menggantung ketika matanya melihat pakaian yang Asri kenakan malam ini.
Awalnya tadi Rusma tidak sadar, sekarang Rusma jadi sadar pakaian jenis apa yang Asri kenakan. Gadis itu memakai lingerie berwana hitam! Lingerie itu sangat cocok dipakai oleh Asri, Rusma yakin ini pasti kerjaan mamanya. Rusma mengikuti gerakan tangan Asri yang semula meremas ujung lingerie yang gadis itu kenakan kemudian beralih membenarkan tali gaun yang hampir melorot. Demi apapun ia pria normal! Dan sepertinya kini ia tengah mengalami pribahasa yang mengatakan kalau senjata bisa makan tuannya! Seperti saat ini, mengapa tiba-tiba saja tubuh Asri begitu menarik di matanya? Ia bahkan tak bisa mengalihkan pandangannya barang satu detik pun. Padahal niatnya tadi ia ingin memarahi Asri karena Asri terlalu berisik.
"K-kenapa pakde liatin Asri begitu?" tanya Asri gugup sekaligus risih dengan tatapan Rusma yang begitu intens.
Mendengar Asri yang kembali membuka suaranya, Rusma memalingkan wajahnya. Tidak, ia tidak boleh tergoda dengan tubuh kerempeng Asri. Dadà gadis itu pasti rata dan tidak enak dipegang, Rusma yakin itu. Eh? Ini pikirannya mengapa berubah menjadi mesúm seperti ini? Tidak! Ini tidak boleh dibiarkan!
"K-kamu malam ini tidur di lantai! Aku enggak mau ya kamu tidur satu ranjang sama aku! Ini sebagai hukuman buat kamu yang kurang ajar sama suami sendiri!" ujar Rusma ketus ketika ia sudah menetralkan wajah serta nada suaranya, ia bahkan tak mau melihat Asri karena takut tergoda dengan tubuh gadis itu yang ternyata lumayan membuatnya tertarik.
"T-tapi, Pakde ...."
"Berhenti panggil aku pakde! Kamu enggak lihat tadi pagi aku jadi bahan olokan karena panggilan kamu yang kelewat kampungan itu!?" tanya Rusma sinis membuat Asri terdiam.
"M-maaf, Asri ndak bermaksud begitu." Asri menundukkan wajahnya.
"Asri harus apa biar p-pakde bisa maafin Asri? Eum ... Asri bingung mau manggil apa," ucap Asri langsung ketika melihat wajah Rusma yang tak bersahabat.
"Panggil aku mas aja deh, itu lebih baik daripada kamu panggil aku pakde. Terlepas usia kita jauh banget selisihnya, kamu ngerti 'kan kalo aku itu suami kamu? Atau kamu emang mau dicerai cepat-cepat makanya suka ngelunjak gitu? Mau aku talak biar kamu bisa bebas?" Asri menggelengkan kepalanya, ia tidak mau bercerai. Perceraian itu dibenci Tuhan dan Asri juga tidak mau menjadi janda di usia muda.
"E-enggak mau! Asri ndak mau jadi janda muda! A-Asri janji akan ubah nama panggilan itu, tapi jangan marahin Asri kalo Asri kadang keceplosan. A-Asri akan berusaha, Asri ndak mau buat ibu khawatir sama Asri." Wajah Asri menatap Rusma memelas, sejujurnya kasihan juga melihat wajah Asri yang seperti itu.
"Ya sudah kamu boleh tidur."
"Terima kasih ...." Asri sudah akan tersenyum senang dan hendak menaiki ranjang sebelum suara Rusma menghentikannya.
"Eh mau apa kamu!?" tanya Rusma galak.
"Asri mau tidur, katanya tadi Asri udah boleh tidur karena P-pakde maksudnya Mas udah maafin Asri," ucap Asri polos.
"Siapa bilang kamu boleh tidur di sini!? Maksudnya kamu tidur di lantai. Hukuman buat kamu! Enak aja semudah itu kamu aku maafin! Setiap kamu bikin aku kesel tentu harus ada hukumannya biar kamu jera! Oh ya ini buat nutupin tubuh kamu." Rusma melemparkan selimut tebal itu hingga menutupi seluruh tubuh Asri.
"Lain kali jangan lagi pakai pakaian begitu!" peringat Rusma.
"Kenapa emangnya Pakde? Eh Mas. Ini tadi ibunya Pakde eh ibunya Mas yang beliin. Katanya cocok banget sama Asri, Asri lihat juga cocok. Asri jadi kelihatan seksi kayak artis-artis barat itu tuh loh, cantik-cantik." Mata Asri berbinar-binar ketika mengatakan itu.
"Tubuh kamu itu kerempeng! Enggak ada lekuk-lekuk sama sekali biarpun pake baju itu, enggak cocok dipake kamu!Udahlah pokoknya jangan pakai itu lagi, oh ya matiin lampunya. Aku mau tidur!" Rusma berbaring memunggungi Asri. Dapat ia dengar pergerakan Asri kemudian lampu kamar mati hingga menyisakan lampu tidur saja.
Rusma berusaha memejamkan matanya, tetapi ia ternyata tidak bisa tidur. Bayangan tubuh Asri yang memakai lingerie itu terus saja menghantui pikirannya, bohong jika ia bilang ia sama sekali tak tergoda setelah melihat Asri mengenakan lingerie itu. Ia juga pria normal yang memiliki hasrat terpendam, berdua saja dengan Asri ditambah gadis itu yang memandangnya dengan pakaian tipis kurang ajar itu membuat Rusma kini tak tenang. Ia penasaran, ia ingin melihat serta merasakan isi dibalik kain tipis itu. Rusma menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak boleh memikirkan hal itu.
Asri itu masih kecil, ia tidak boleh berpikir mesúm pada seorang gadis yang usianya jauh di bawahnya biarpun kini mereka sudah menjadi suami-istri. Apalagi dirinya sama sekali tidak mencintai Asri dan terpaksa menikahi Asri, sangat tidak sopan jika ia sembarangan memikirkan hal itu.
"Mas ...." Rusma terperanjat ketika merasakan sebuah pelukan serta lenguhan suara Asri yang mendayu-dayu.
"Asri!? Kamu ngapain ada di atas ranjangku!? kan aku udah bilang kalo kamu tidur di bawah!" Rusma langsung terduduk, ia menatap Asri kesal. Rusma tak berani menatap selain wajah Asri karena itu berbahaya bagi dirinya.
"Tadi ibu Mas bilang kalo Asri sama Mas harus cepat-cepat bikinin cucu, kita bikin sekarang yuk, Mas! Asri udah siap!" ucap Asri begitu semangat.
Rusma melotot mendengar perkataan Asri, mengapa gadis itu kini jadi lebih berani?
"K-kamu ngomong apa sih!? Sana turun!" bentak Rusma yang mulai gelisah. Apalagi Asri dengan sengaja mencondongkan tubuhnya ke depan sehingga lekuk-lekuk itu mulai kelihatan, Rusma meneguk ludahnya susah payah.
"Enggak mau! Asri mau bikin dedek sama Mas!" Dengan berani Asri mendekat, ia duduk dipangkuan Rusma sambil mengalungkan lengannya di leher Rusma hingga membuat pria itu belingsatan tak karuan.
"K-kamu ...." Cup ....
Rusma tak dapat melanjutkan kata-katanya ketika Asri memajukan wajahnya untuk mempertemukan kedua benda kenyal itu. Asri nampak bersemangat mencium Rusma layaknya gadis itu adalah seorang good kisser yang begitu handal. Rusma sampai kewalahan, astaga tak sadarkah kalau posisi mereka ini terbalik? Oke jika itu yang Asri mau! Kini sudah kepalang basah, sangat sayang jika tidak mencebur sekalian ke dalam air. Rusma membalikkan keadaan hingga Asri yang ada semula berada di atas tubuhnya kini berbalik berada di bawahnya.
"Jangan salahin aku kalo kamu nanti lupa bernapas, ya!" peringat Rusma yang dibalas tawa kecil Asri.
Namun, tak berlangsung karena Rusma kembali menghujani Asri dengan ciuman yang begitu memabukkan, tangannya kini bahkan sudah berani ke sana kemari mencari sebuah tempat yang sekiranya cocok untuk berlabuh.