7. Bukan CEO Lagi

1933 Words
Mobil yang Rusma dan Asri tumpangi berhenti tepat di sebuah rumah megah yang harganya jelas saja sangat fantastis. Begitu mereka turun dari mobil, seluruh anggota keluarga yang memang menunggu kedatangan pasutri di depan rumah itu pun nampak senang. Mereka semua langsung menghampiri Rusma dan Asri, Rusma yang melihat itu berdecak sebal. Mengapa kini mereka malah dikerubungi layaknya ia adalah seorang presiden saja? Tidak bisakah keluarganya itu menyuruhnya dan Asri masuk dulu? Sangat tidak elite sekali mereka ditanyai ini itu di depan rumah seperti ini. Di sini jelas saja tidak ada tetangga, mengingat rumah ini merupakan rumah yang sangat megah dengan halaman yang sangat luas. Namun, tetap saja ini sangatlah tidak sopan. Kalau saja di hadapannya ini bukanlah orangtua, jelas saja ia sudah marah-marah. Benar-benar mengesalkan, apalagi ketika melihat Nino yang berada di barisan paling belakang itu terlihat mengejeknya. Awas saja! Akan Rusma sumpahi kalau Nino suatu saat nanti pasti akan merasakan apa yang ia rasakan. Dasar adik menyebalkan! Kentara sekali kalau Nino itu sepertinya memang sedang mengejeknya, dari raut wajahnya yang tengah menahan tawa itu Rusma jadi tahu. Suatu saat nanti Nino pasti akan berada di posisinya, usia Nino itu sudah dua puluh enam tahun. Tinggal menghitung bulan dan Rusma pastikan mamanya pasti gencar mencari istri untuk Nino. Lihat saja. "Astaga, Ma, semuanya. Bisa biarin Rusma sama Asri masuk dulu enggak? Masa iya Mama dan semuanya nanya ini itu di depan rumah? Kayak enggak tahu tempat aja," protes Rusma yang mulai kesal dengan keadaan. "Eh iya, Mama lupa. Ya udah kalian masuk dulu, tadi Mama ada buat kue loh. Kalian mau nyicipin 'kan? Asri mau nyobain kue buatan Mama?" Asri mengangguk antusias. "Boleh, Ibu ...." jawab Asri antusias. "Eh jangan panggil ibu, panggil mama aja, ya?" Asri mengangguk ragu. "Minggir! Rusma mau lewat!" Rusma langsung keluar menerobos kerumunan itu, ketika melewati Nino ia menabrak keras lengan Nino. "Hati-hati lo, Bang. Kalo jalan!" protes Nino sambil mengusap lengannya. "Bodo! Gue emang sengaja!" balas Rusma tak melihat ke arah Nino sama sekali. Pria itu lebih memilih menaiki anak tangga menuju kamarnya yang letaknya berada di lantai dua, ia tak perlu berkata pada mamanya lagi karena mamanya sudah sibuk dengan Asri si gadis kampung. Bahkan, mamanya sendiri terlihat lebih sayang pada Asri daripada dirinya yang anaknya sendiri. Cih, sebenarnya yang anaknya itu siapa? Mengapa ia diperlakukan seperti seorang anak pungut saja. Jangan-jangan memang ia adalah anak pungut, buktinya ia dipaksa menikah dengan Asri si gadis kampung padahal ia setengah mati menolak. Bahkan, mamanya berani mengancam dirinya bahwa namanya akan dicoret dari kartu keluarga jika ia menolak pernikahan bersama Asri. "Ini, Mama tadi buatin bolu kukus. Kamu cobain, rasanya gimana?" Mama Nana menggiring Asri menuju dapur. Wanita paruh baya itu langsung meminta Asri mencoba kue buatannya itu. "Asri cobain ya, Bu? Eh maksudnya, Ma." Asri mengambil satu buah bolu kukus itu kemudian memakannya di hadapan Mama Nana yang menatapnya penuh harap. "Enak, Ma. Asri suka banget, bolunya enak." Asri mengatakan itu dengan antusias, ia bahkan kembali melahap bolu kukus di tangannya seakan mempertegas kalau kata-katanya tidak berbohong. "Syukurlah kalo kamu suka, Mama khawatir kalo kamu enggak suka sama kue buatan Mama. Mama 'kan kalah saing kalo soal buat kue sama kamu, kamu mah udah jago. Beruntung Mama dapatin menantu sepertinya kamu," ucap Mama Nana membuat Asri tersipu. "Bu Yanie beruntung memiliki putri seperti Asri, udah cantik, baik hati, pintar bikin kue lagi." Mama Nana beralih menatap seorang wanita yang usianya di bawahnya. "Bu Nana bisa aja, justru kami yang beruntung karena bisa berbesanan dengan keluarga kalian," balas Bu Yanie membuat Mama Nana mengusap lembut lengan ibu Asri itu. "Eh iya, Asri. Semalam gimana?" tanya Mama Nana pada Asri yang masih menikmati bolu kukus buatan mertuanya. "Apanya yang semalam, Ma?" tanya Asri menatap bingung mertuanya. "Semalam kamu jadi 'kan sama Rusma jejeritannya?" tanya Mama Nana membuat Asri seketika kembali mengingat kejadian semalam. "Asri ndak jerit, Ma. Yang jerit pakde eh maksudnya Mas," jawab Asri polos. Asri tidak salah 'kan? Semalam Rusma memang menjerit tidak karuan dan terkadang mengigaukan hal-hal yang aneh ketika Asri terbangun untuk melapisi lingerie yang ia kenakan dengan kaus dan celana panjang karena merasa kedinginan. Semalaman sebenarnya Asri tidak bisa tidur karena mendengar suara berisik Rusma, tetapi Asri jelas saja tak mau mengganggu tidur Rusma karena takut suaminya itu akan memarahinya. Namun, Asri tak bisa berhenti senyum-senyum sendiri ketika mengingat kalau ternyata pakde suaminya memimpikannya. Tanpa tahu kalau yang dimimpikan Rusma adalah hal yang berbau dewasa, ah Asri terlalu polos untuk mengerti itu semua. "Melihat senyum kamu, Mama jadi bisa menyimpulkan apa yang terjadi," ucap Mama Nana ketika melihat Asri yang tersenyum sendiri. Sekarang semuanya jadi salah paham karena melihat senyum Asri, jika saja Rusma tahu dan pria itu ada di sini. Jelas saja ia akan mengelak, tidak adanya Rusma membuat para orangtua menyimpulkan kesalahpahaman itu menjadi sebuah kebenaran. "Baguslah kalau gitu, Mama udah enggak sabar nimang cucu dari kalian," sambung Mama Nana membuat Asri langsung tersedak. "Pelan-pelan tho, Nduk. Ma'eme," ucap Bu Yanie sambil menyodorkan segelas air putih pada putrinya. (Ma'eme : Makannya) "Asri kaget denger omongannya Mama, Bu. Cucu opo? Asri 'kan masih kecil," ucap Asri setelah selesai meminum air putih hingga tenggorokannya kembali lega. "Shutt ... ojo ngomong ngunu, Asri," tegur Bu Yanie pada putrinya. (Jangan bicara begitu, Asri.) "Enggak apa-apa, Bu Yanie. Aku ngerti kalo Asri pasti masih belum bisa berpikiran dewasa, usianya 'kan masih muda. Kalo dia udah hamil juga lambat laun dia pasti bisa menerima dan berpikir dewasa," ucap Mama Nana. "Nggeh, Bu. Maafin putriku kalo omongannya kadang suka asal ceplos begitu," balas Bu Yanie tak enak hati. "Enggak apa-apa, Bu. Sudah ...." "Ah iya, Asri. Mama boleh minta tolong?" Asri langsung menoleh pada mama mertuanya. "Apa, Ma?" "Tolong panggilin Rusma di kamarnya bisa? Dari tadi Mama tunggu tapi itu anak belum juga turun, padahal akan ada pembicaraan yang penting," ujar Mama Nana. "Kamarnya yang mana, ya, Ma?" tanya Asri sambil berdiri dari duduknya. "Ada di lantai dua, kamarnya yang di ujung kanan, enggak perlu ketuk pintu kamu bisa langsung masuk. Suruh Rusma ikut turun sama kamu, ya? Kami menunggu di ruang keluarga, ya, Sayang?" Asri mengangguk patuh, gadis itu langsung menuruti apa yang mertuanya katakan. "Asri begitu penurut, ya? Enggak salah aku pilih dia sebagai menantuku," ucap Mama Nana pada Bu Yanie sambil matanya memperhatikan Asri yang sudah mulai menghilang dari pandangan mereka. Asri mondar-mandir di depan sebuah pintu kamar Rusma yang tertutup, gadis itu ragu apakah ia harus mengetuk pintu dulu ataukah langsung masuk. Hal yang membuat Asri terganggu adalah tulisan di depan pintu itu. JANGAN GANGGU KALAU GAK ADA URUSAN PENTING! Kira-kira seperti itulah tulisan yang ada di depan pintu itu, Asri takut mengganggu suaminya. Kalau sampai suaminya marah kemudian memarahinya bagaimana? Asri takut dibentak Rusma. Suaminya itu kalau marah sangat menakutkan, matanya seakan suka sekali melotot. CKLEK .... Asri terperanjat ketika melihat pintu yang sedari tadi membuatnya galau itu terbuka, menampilkan Rusma yang menatapnya dengan bingung. Rusma sendiri menatap heran istrinya yang sepertinya dalam keadaan linglung, kira-kira apalagi yang sedang Asri pikirkan kali ini? Awas saja kalau gadis itu ingin mencari masalah dengannya. "Ngapain kamu berdiri di depan pintu kamarku!?" tanya Rusma galak membuat Asri tersentak. "A-anu ... pakde ...." Rusma berdecak kesal ketika Asri selalu saja memanggilnya pakde, ia menatap sekeliling kemudian mendekati Asri. "Asri ... kamu bisa enggak sih ubah nama panggilan kamu itu buat aku? Kesal lama-lama aku mendengarnya," ucap Rusma membuat Asri gemetar. Mata Rusma menatap tajam Asri yang sudah ketakutan. "Kamu juga itu? Apa-apaan ekspresinya kayak gitu? Emangnya aku kelihatan seperti kanibalisme, ya?" tanya Rusma yang dibalas gelengan kepala Asri. "Ndak, bukan itu P-pa ...." Asri tak jadi melanjutkan perkataannya ketika melihat Rusma mendelik, pria itu seakan memberi peringatan pada Asri agar tak lagi memanggilnya dengan sapaan kampungan itu. "Cepat! Katakan maksud dan tujuanmu ke sini!" titah Rusma karena Asri hanya menunduk sesekali menatap ke sembarang arah. "I-itu, Mama nyuruh kita buat turun. Katanya ada yang mau diomongin, Asri disuruh manggil Pakde biar cepat turun ... eum anu ... Asri bingung apa Asri harus panggil Pakde dengan sebutan mas atau bukan?" Asri segera menambahkan sebelum si raja singa itu marah padanya. "Ya haruslah!" Asri terperanjat ketika tiba-tiba Rusma berteriak. "Emangnya aku akan diam aja kamu terus manggil aku dengan sebutan kampungan dan tua itu!? Kamu bisa manggil adik ipar kamu itu dengan sebutan mas masa iya sama suami sendiri berat!?" tanya Rusma sinis. Ia kembali kesal mengingat kejadian kemarin pagi di mana Asri mempermalukannya dengan panggilan noraknya itu di depan semua orang, panggilan itu seakan mempertegas kalau ia memang sudah tua. "A-Asri usahain enggak salah manggil lagi," balas Asri. "Bagus! Terutama di depan keluarga! Awas aja kalo kamu salah sebut, ya! Sekarang, ayo kita turun! Kalo kelamaan di sini, yang ada mama ngira aku ngapa-ngapain menantunya lagi," ucap Rusma berjalan meninggalkan Asri menuruni tangga. "Asri!? Kamu enggak mau ikut turun!?" tanya Rusma berteriak ketika Asri hanya berdiri mematung. "I-iya, Asri ikut, Pakde! Eh Mas!" Asri bergegas menyusul Rusma. "Hmm ... akhirnya pasangan pengantin baru ini turun juga. Jangan bilang kalian lama karena tadi mengulangi kejadian di hotel, ya?" tanya Mama Nana tersenyum jahil. "Enggak ada kejadian aneh yang Mama pikirkan sewaktu di hotel kalo Mama mau tahu," balas Rusma sebal ketika lagi dan lagi ia menjadi bahan ledekan anggota keluarganya. "Mama enggak mau denger itu dulu, kamu sama Asri duduk dulu. Ada yang mau papa dan Mama bicarakan, ini sangat penting," ucap Mama Nana yang mulai serius. Rusma duduk di sebuah sofa panjang, Mama Nana mengkode agar Asri duduk di samping Rusma. Ragu-ragu, Asri mendekati Risma kemudian duduk di sebelah pria itu. "Mulai besok kamu enggak usah berangkat ke kantor lagi." "Maksud Mama apa?" tanya Rusma. "Mama mau minta Rusma bulan madu sama Asri? Rusma enggak bisa, Ma! Ada banyak pekerjaan di kantor yang menunggu Rusma. Kalau masalah bulan madu bisa kok ditunda, Asri juga pasti ngerti. Ya 'kan?" Asri mengangguk walaupun tak paham. "Bukan itu maksud Mama," ujar Mama Nana. "Terus apa, Ma? Jangan membuat Rusma salah paham dengan kata-kata Mama yang menggantung ini." Rusma begitu kesal karena mamanya seakan mengajak dirinya main tebak-tebakan. "Jabatan kamu sebagai CEO di perusahaan keluarga sudah Mama alihkan pada Nino." Rusma langsung menoleh ke arah Nino yang nampaknya santai-santai saja mendengar kata-kata Mama Nana, seakan pria itu sudah tahu tentang masalah ini. "Kenapa, Ma? Rusma udah nurutin Mama buat nikah sama dia. Kenapa Mama malah ngasih jabatan yang penting itu ke Nino?" tanya Rusma tak percaya. "Kalau aja kamu enggak bohong kemarin, Mama enggak mungkin ambil keputusan ini. Kamu 'kan tahu kalau Mama itu enggak suka dibohongi dan kemarin kamu udah buat kesalahan yang fatal. Jangan kamu pikir Mama enggak tahu ke mana kamu kemarin, ya? Mama tahu kemarin kamu pasti ke kantor semalaman dan meninggalkan Asri sendirian di hotel?" Mata Rusma membola, matilah dirinya. Mamanya mengetahui hal itu dan tentunya ia tidak akan selamat dari amukan mamanya. "Besok kamu siap-siap, kamu akan ikut Asri dan ibunya ke kampung halaman mereka. Kamu akan tinggal di sana dalam kurun waktu yang akan Mama tentukan kapan berakhirnya," ucap Mama Nana yang bagaikan petir di siang bolong ketika Rusma mendengarnya. "Ma, Rusma enggak mau!" teriak Rusma tak terima dengan keputusan mamanya. "Pa, please. Tolongin Rusma," ucap Rusma menatap papanya yang sedari tadi hanya menjadi pendengar. "Kalo mama kamu udah bilang gitu, Papa sebagai suami bisa apa? Turuti aja kemauan mama kamu, Rusma." Rusma mengacak-acak rambutnya frustasi mendengar jawaban papanya. *** Hallo semuanya, Mas Rus sama Asri dah up nih. Holla holla siapa yang enggak sabar lihat si CEO Rusma ke kampung halamannya Asri si gadis ndeso? Wajib follow akun author dan wajib tap love cerita ini sebelum lanjut .... Jangan lupa dikomen juga ya guys ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD