Bab 1. Kehidupan Setelah Dirimu

1180 Words
“Sudah cukup, berhenti semua!” teriak sang pemilik bar berkali-kali. Dua pria berotot gempal, bertato dan mengenakan jaket lusuh mengabaikan peringatan si pemilik bar. Mereka terus saling tonjok satu sama lain. Pecahan gelas berserakan saat memantul di lantai bar. Kursi berserakan dan sorakan para pengunjung yang berubah jadi penonton dadakan memenuhi seisi bar. Sang pemilik bar mulai kesulitan melerai perkelahian yang menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. “Ah, b******k kau!” umpat pria yang satunya. “Akan kubunuh kau!” balas yang satunya. Lemari kaca hancur sudah. Salah satunya mengeluarkan senjata lalu menembak. Untungnya pelurunya meleset dan mengenai lemari kaca berisi minuman dan gelas. “Sialan, kalian menghancurkan tokoku! Berhenti. Panggil Polisi!” teriak pemilik bar memerintah pada salah satu pelayannya. Pelayan itu mengangguk ketakutan dan buru-buru berlari ke arah konter bar untuk menghubungi Polisi. Sementara itu Cassidy Belgenza sedang minum dengan santainya di konter bar tersebut tanpa peduli dengan kejadian di sekitarnya. “Polisi, polisi tolong! Ada kericuhan di Stone Bar ... AHH!” sebuah peluru menyasar lagi nyaris mengenai si pelayan. Peluru itu melewati ujung telinga Cassidy yang sedang menegak wiskey dan menembus botol wiskey di lemari depannya. “Oh Tuhan tolong aku. Aku tidak mau mati!” rapal si pelayan memilih menundukkan tubuhnya meringkuk di balik konter meja bar dari pada mati konyol dengan terus berdiri. Sedangkan Cassidy sedikit kaget karena waktu mabuknya kini terganggu. Ia menoleh ke belakang dan melihat kekacauan di belakang punggungnya. “Apa yang sudah terjadi?” tanya Cassidy dengan suara serak karena pengaruh alkohol. Ia tersentak sedikit saat desingan peluru melewatinya sekali lagi. Ajaib memang karena tidak ada satu pun yang mengenainya. Cass mengambil gelas wiskey-nya lalu menegak isinya sampai habis. Jangan sampai ada yang bersisa. Ia menggenggam gelas tersebut lalu mengeker jarak dari posisinya ke salah satu preman gendut yang cukup jelek dan rusuh menurutnya. Cass melemparkan kuat gelas whiskey itu dan tepat mengenai kepala si preman. “AHHHK!” erangnya kesakitan. Ia memegang kepala dengan sebelah tangan masih memegang pistol. Ia celingukan melihat kanan dan kiri sampai menemukan pria mabuk di konter bar sedang berusaha untuk berdiri. “Kau, kau yang melemparku! Kau mau mati ya!” ancamnya menunjuk pada Cass. Cass menyeringai sombong dan mengambil botol wiskey miliknya di atas meja. Isinya tinggal sedikit lagi dan ia segera menghabiskannya. Hanya orang gila dan sudah mabuk yang menghabiskan wiskey dalam sekali tenggak. Pria itu berjalan ke arah Cass dan bersiap menembak. Cass lantas memecahkan p****t botol dengan ujung meja lalu melemparkan sisa badan botol tepat mengarah pada leher si penyerang. “AHHK!” pria itu mengerang kesakitan karena kaca botol mengenai salah satu urat di lehernya. Ia ambruk tanpa sempat menembak. Cass dengan cekatan menendang senjata dari tangannya lalu menginjak d**a pria itu sampai ia tersungkur. Seluruh isi bar terdiam mendapati salah satu pelanggan mabuk dengan jaket denim yang cukup lusuh berhasil melumpuhkan seorang pria yang membuat onar dan sudah memukul banyak orang. “Jangan suka membuat keributan. Jika kau ingin minum dan mabuk, jangan ganggu orang lain. mengerti?” tunjuk Cass dengan sikap mabuk yang begitu kentara. Kepala pusing, wajah dan mata merah lalu bicara sembarangan. Baunya sangat alkohol bahkan tak jelas lagi yang mana bau keringat. “Leherku,” erang pria itu kesakitan. Cass mencoba berdiri dan jatuh ke lantai. Saat itulah polisi masuk dan mengamankan tempat tersebut. “Jangan bergerak. Kalian ditangkap!” bentak para petugas polisi tersebut. Mereka mendekat pada Cass dan hendak menariknya. “Jangan, Pak. Dia hanya pelanggan biasa. Bukan dia yang membuat keributan!” tukas si pemilik bar menyelamatkan Cass yang mengerang sakit karena punggungnya membentur lantai. “Uweekk!” Cass tiba-tiba muntah di sepatu polisi yang akan menangkapnya. “Ahhh, apa-apaan ini!!” teriak si polisi kaget. Sepatunya kini dimuntahi lagi oleh Cass yang tak peduli tentang kebersihan sama sekali. “Dasar pemabuk b******k! Urus dia!” perintah si polisi itu pada pemilik bar. Pemilik bar tidak bicara selain hanya menarik Cass menjauh. Polisi tidak lagi bertanya siapa yang telah melukai salah satu pria dengan kaca masih tertancap di leher. “Tolong amankan mereka. Mereka mengganggu bisnisku!” seru si pemilik bar begitu kesal. Polisi mengiyakan dan langsung membawa semua orang yang membuat keributan kecuali Cassidy. Cass duduk terengah bersandar di dinding bar dengan sisi mulut masih kotor oleh bekas muntahan. Seorang gadis lalu datang dari belakang, melongok ke dalam melihat keadaan di bar ayahnya. Ia ketakutan sedari tadi sehingga bersembunyi di dalam. “Lihatlah semua ini! Semuanya hancur. Aku rugi besar,” gerutu si pemilik bar begitu kesal dan marah. Saat ia melihat putrinya, si pemilik bar langsung memintanya mendekat. “Sayang, tolong aku. Itu pelanggan yang membantu kita. Tolong urus dia. Dia memuntahkan isi perutnya di lantai dan aahkkk! Urus dia!” tunjuk si pemilik bar meminta pada putrinya. Sang putri mengangguk cepat lalu mendekat pada Cassidy yang sedang memejamkan matanya. Ia melihat ke sekelilingnya dan begitu kacau. Gadis itu berjongkok dan menatap Cassidy yang begitu kacau serta jorok. Sambil meringis, gadis itu melepaskan celemek yang ia kenakan untuk membersihkan sisa muntahan di dagu Cass. Saat sentuhan itu datang, Cass tiba-tiba bangun dan menangkap pergelangan tangannya. Matanya membesar saat menatap wajah sang gadis. “Sweet Pea,” sebut Cass pelan. Gadis itu mengerucutkan bibirnya dan mengernyit. “Maaf, Tuan. Biar aku bantu,” tawar gadis itu pada Cass yang masih menatapnya. Mata Cass beberapa kali mengerjap dan akhirnya ia melepaskan pegangannya. “Siapa kamu?” tanya Cass mengerang kecil. “Aku akan membantumu membersihkan diri. Ayo!” gadis itu menarik tubuh tinggi Cass yang oleng lalu memapahnya ke belakang. Ia akan membantu pelanggannya untuk membersihkan diri. Cassidy dibawa ke sebuah kamar mandi dan bisa membersihkan wajah serta kepalanya. “Jika sudah selesai, panggil saja aku. Aku akan membersihkan lantai terlebih dahulu. Aku tidak akan lama,” ujar gadis itu pada Cass yang masih bengong. Ia diberikan sebuah handuk dan pintu kamar mandi sempit itu pun ditutup. Cass celingukan dengan mata merah dan kepala pusing. Saat ia menatap cermin lama yang mulai buram, sosoknya seperti seorang monster jelek di film animasi. Sudah lama ia tidak memperhatikan seperti apa tubuhnya menderita karena perilakunya. Enam bulan setelah kepergian istrinya, Sophie, hidup Cassidy berubah total. Tidak ada lagi CEO Belgenza yang jenius serta berwibawa. Cassidy meninggalkan rumah mewahnya dengan menjadi pemabuk dan gelandangan. Sesekali ia pulang ke rumah neneknya Tantria tapi tak sanggup terus berada di sana hanya untuk melihatnya menangis karena kekecewaan. Cassidy pernah mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan segala tekanan dan rasa cinta yang membunuhnya perlahan. Hanya sedikit basuhan ke wajahnya lalu Cassidy kembali terduduk di lantai kamar mandi seraya bersandar di dindingnya. Air matanya menetes lagi dan kali ini ia kembali terisak. “Tuhan, aku ingin mati. Aku ingin mati. Mengapa tak Kau biarkan peluru tadi menembus kepalaku? Aku mau mati ... aku mau mati ... “ isak Cassidy merapalkan terus kalimat yang ia sebutkan berkali-kali dalam doa. Gadis yang menolongnya tadi memenuhi janjinya. Ia kembali dan membuka pintu kamar mandi. Betapa terkejutnya dia saat melihat pria yang ditinggalkannya sedang mengantukkan bagian belakang kepalanya ke dinding. “Tuan, apa yang kamu lakukan? Jangan!”.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD