Korban

1267 Words
Terlahir dari keluarga sederhana, ayahnya Damar Rahit hanya seorang kepala bagian pada sebuah pabrik milik Negara. Dia meninggal akibat kecelakaan kerja pada saat Damar masih duduk di bangku sekolah dasar pada tahun terakhir. Akibat kematiannya karena kecelakaan kerja, pihak pabrik memberikan tunjangan yang cukup besar kepada Maryam selaku istri dari korban. Namum Maryam menulis surat permohonan kepada pabrik agar uang pesangon itu bisa diterimanya setiap bulan sebesar gaji suaminya selama ini, dengan alasan, dia lebih mementingkan hidup dengan keterjaminan dari hari ke harinya, dibandingkan mendapat uang banyak sekaligus tanpa mengerti cara mengelolanya. Permohonan Maryam dikabulkan, terlebih dia hanya seorang ibu rumah tangga biasa, harus mengurus putranya yang masih kecil dan terkenal sebagai anak yang sulit diatur. Tunjangan itu akan diterimanya selama sepuluh tahun kedepan. Maryam berharap, putranya akan segera menjadi seseorang yang sukses karena dia tahu, Damar adalah seorang anak yang genius. Maryam telah menghabiskan waktunya untuk meluruskan sifat-sifat aneh dari putranya akibat keaktifan otaknya yang sulit dibendung, pada masa kanak-kanak. Tidak ada anak genius yang bisa bersikap layaknya anak-anak ber-IQ normal. Di situlah Maryam berperan aktif mengendalikan putranya dengan perjuangan yang luar biasa. Hal itu membuat hubungan mereka semakin erat. Sepuluh tahun berlalu tanpa terasa, tepat di bulan terakhir tunjangan dari pabrik tempat suaminya bekerja dulu, Maryam mendapatkan hadiah indah berupa rumah kecil bergaya minimalis dari putra kesayangannya. Rumah yang dibeli atas namanya tersebut adalah kebahagiaan Maryam yang terbesar karena hasil dari kerja keras putranya. Terutama, perihal penepatan janji Damar sewaktu meminta ijin untuk menjual rumah dari mendiang ayahnya demi perkuliahan di Universitas swasta nasional yang terkenal mahal. Kini, putranya tengah menghadapi masalah besar, menyangkut hilangnya nyawa seseorang. Kenyataan pahit yang harus ditelannya mentah-mentah. Maryam tampak murung, diam-diam dia menangis tengah malam di dalam Do'anya. Pagi itu, Damar masih tertidur lelap. Maryam tidak berani membangunkannya. Semalam dia tahu, putranya gelisah dan bersumpah serapah di kamarnya. Entah apa sesungguhnya yang terjadi, Damar hanya menceriterakan bahwa seseorang menghembuskan napas terakhirnya di depan matanya, dalam kondisi yang mengerikan. ◇◇◇ Delapan hari yang lalu, di hari yang biasa, pada rutinitas yang sama, Damar terlihat bersama seorang wanita cantik yang baru saja dikenalnya di sebuah Mal. Setelah saling melempar lirikan dan senyuman, Damar mendekati wanita tersebut dan menyodorkan tangannya untuk berkenalan. Tatapan mata Damar yang dibuat sengaja menyiratkan sorot kekaguman pada wanita itu, telah berhasil meluluhkan hatinya, membuatnya menerima uluran tangan perkenalan dari lelaki yang namanya sedang naik daun itu. "Hai, Damar ...," sapanya seraya memamerkan senyum menawannya. Wanita itu membalas senyum Damar dengan wajah merona karena malu. "Aku tahu kamu Damar Rahit 'kan? Pengacara terkenal yang masih lajang. Aku Devi ...," sahut wanita itu yang kemudian terkejut atas ucapannya sendiri. "Ah, kenapa harus menyinggung masalah lajang sih. jadi malu aku," rutuk Devi di dalam hatinya. Damar terkekeh dengan gaya yang mempesona di mata wanita itu. Ia menjejeri langkah Devi dengan suka cita. Mereka bersenda gurau, ingin menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan dan nongkrong. "Kita ngopi yuk," ajak Damar tetap dengan senyum menawannya. "Ayo, siapa takut?" jawab Devi mengangkat kedua bahunya seolah bersiap menerima tantangan. Tidak berapa lama, Damar mengajak Devi memasuki sebuah kedai kopi, untuk mengenal Devi lebih jauh. Mereka hanya memesan dua cangkir kopi dan makanan ringan. Damar menatap lekat wanita cantik di hadapannya. Bayangan di kepalanya adalah khayalan tentang betapa menyenangkan memandangi wajah cantik itu di atas ranjang. Itulah kebiasaan Damar, berpikir m***m setiap kali menemukan wanita yang memikat hatinya. Damar merasakan hembusan angin aneh di belakang punggungnya ketika beberapa pemuda-pemudi melewatinya. Tiba-tiba, sesuatu terjadi pada Damar Rahit, sesaat setelah merasakan hembusan itu. Pandangan matanya mendadak buram seketika. Tubuhnya menggigil panas dingin, jantungnya berdegup kencang, samar-samar penciumannya mengerucut, dan hanya bisa mengenali satu aroma saja, yaitu wangi kembang melati. Kepalanya sebentar terasa melayang, sebentar terasa berat. Semua terjadi sangat cepat sebelum dirinya berada pada posisi yang stabil dua menit kemudian. Stabil dalam arti tidak ada perubahan lagi di dalam tubuhnya. Pandangannya hanya terbuka dan melihat pada sosok seorang pemuda, Damar tidak merasakan atau melihat orang-orang lainnya, selain pemuda itu yang sedang duduk di meja, berjarak tiga meter darinya. Pandangan itu begitu fokus, hanya pada satu titik yaitu pemuda tersebut, sementara sekelilingnya buram, bagaikan salah satu pilihan aksi bokeh pada sebuah aplikasi poto. Selain pandangan mata yang fokus, tubuhnya pun terasa ringan melayang. Kesadaran akan siapa dirinya telah lenyap, tergantikan dengan dengung sebuah komando. Dia harus bergerak saat itu juga. Damar melesat secepat kilat, menembus meja dan orang-orang yang ada di depannya, bagaikan menembus cahaya. Tangannya meraih leher sang Pemuda dari belakang, menguncinya dan menarik Pemuda itu hingga terangkat naik dari tempat duduknya. Kemudian, dalam sekejap saja mereka telah menghilang. Saat Damar melesat menghampiri pemuda yang tidak dikenalnya itu, dalam kehidupan normalnya, Damar berpamitan dengan tatapan mesra kepada wanita cantik di hadapannya, untuk mengunjungi kamar kecil yang dibalas dengan senyum serta anggukan anggun wanitanya. Sisi lain, saat lehernya ditarik oleh Damar Rahit, pemuda itu berpamitan kepada teman-temannya, "Gue ke toilet ya guys." ◇◇◇ Maryam menyibukkan diri di dapurnya yang bersih dan apik, mengambil kue yang telah matang dari panggangan di bawah kompornya, lalu membawa kue yang telah tertata rapi ke ruang keluarga. Tayangan sinetron yang sedang ditontonnya, disela oleh tayangan Present News, berita tentang ditemukannya sesosok mayat di pinggiran kota, di tengah-tengah kebun pisang milik warga setempat. Identitas dari mayat tersebut berinisial TA. Sumber berita menyatakan bahwa TA telah menghilang selama seminggu, terakhir terlihat di sebuah mal bersama rekan-rekannya. TA adalah cucu ketujuh dari mantan Presiden yang telah digulingkan delapan tahun lalu melalui kudeta veto akibat krisis ekonomi. Penyelidikan atas dugaan pembunuhan terhadap TA, mulai dilakukan oleh aparat yang berwenang. Maryam merasakan hal yang aneh. Jantungnya seketika berdegup kencang, perasaannya sangat tidak nyaman dan gelisah. "Apakah Tian Adijaya yang dilihat oleh putraku? Astaga ...," batin Maryam. Maryam masih mengingat apa yang telah diucapkan oleh putranya kemarin dalam sedu sedan tangisan Damar yang gagah dan tampan itu, "Aku ... aku melihat wajahnya yang memohon, melihat sorot matanya yang seolah bertanya 'Apa salahku'?, melihat mulutnya menghembuskan napas yang terakhir, aku ... tidak tahu apa yang terjadi Ma ...." "Aku berlari tidak tentu arah untuk keluar dari sana, semuanya pohon pisang yang berdiri rapat. Aku panik dan ... dan ... kebun itu jauh dari pemukiman penduduk." Deg. Pemuda. Kebun pisang. "Kenapa putraku tidak sadar dirinya berada di sana? Siapa yang membawanya? Apakah dalam kondisi tidak sadarkan diri?" gumam Maryam merasa heran. Perasaannya tiba-tiba merasa sakit, karena jauh di lubuk hatinya, entah kenapa dia merasa putranya terlibat dalam kematian Tian Adijaya. Seluruh tubuh Maryam bergetar, wajahnya sangat pucat pasi. Dia segera menyangkal diri. "Tidak, tidak mungkin Damar terlibat. Tidak!" serunya. Penyangkalan diri bertentangan dengan firasat yang dirasakannya, bergolak dalam hati Maryam. Wanita setengah baya itu, bukan wanita bodoh dan polos. Tidak semata-mata Damar Rahit meninggalkan pekerjaannya yang padat demi untuk menemui dirinya dan bersimpuh di kakinya, menumpahkan seluruh perasaannya dalam tangisan yang menyayat hati. Sumpah serapah kekesalan yang didengarnya dari kamar Damar Rahit, adalah bukan kebiasaan putranya. Seandainya Damar hanya sebagai saksi mata yang kebetulan sedang berada di tempat yang salah, tidak mungkin membuat Damar begitu down seperti tadi. Kecuali, Damar Rahit terlibat langsung dalam pembunuhan tersebut. Maryam jelas-jelas menangkap rasa bersalah yang begitu besar dari mimik wajah putranya. Wanita yang selama ini merawat dan mendidik Damar dengan kedua tangan dan sepenuh hatinya itu, menangis pilu merasakan hati yang bagaikan tercabik-cabik. "Kenapa Damar ... kenapa?" tanya Maryam disela-sela tangisnya. Jantung seorang ibu setengah baya itu berpacu hingga tiga kali lipatnya dari biasa, rasa sakit terus menusuk dadanya, kepalanya terasa berat memikirkan seandainya, fakta yang terjadi adalah ... putranya yang menghabisi nyawa Tian, ia tidak akan sanggup menghadapinya. Tangisannya pecah seketika, ia menangis pilu dan merasa sesak, "Anakku ...," lirihnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD