Dua minggu setelah kejadian pahit dalam hidupnya, kini kehidupan Aira berjalan seperti biasa. Sepulang sekolah dia akan bekerja di warung grosir yang terletak kampung sebelah.
Kampung Aira bukan desa terpencil, bukan pula kota yang besar.
Sekolah Aira juga bukan sekolah yang elit, hanya sekolah SMA negeri dengan murid yang sedikit. Karena para pemuda pemudi di kampungnya hanya mau mengenyam pendidikan sampai SMP, dan setelah lulus mereka akan pergi merantau ke kota.
Dulu, Aira juga berpikiran seperti itu, tapi sang nenek tidak mengizinkan.
"Neng, gulanya sekilo berapaan atuh?" tanya seorang pembeli.
"18 ribu, Teh," jawab Aira sambil melayani pembeli yang lain, memang warung grosir ini cukup ramai. makanya Aira tidak ditolak untuk bekerja di sini.
Lama Aira melayani pembeli lalu, ia pergi keluar untuk mengangkat kardus dari dalam mobil box pengangkut barang, tapi panggilan dari depan ruko membuatnya menghentikan kegiatannya.
"Teh Aira, aku di suruh kang Ucup manggil kamu, soalnya di rumah ada tamu udah lama nunggu." Anak kecil dengan seragam SD itu memanggil Aira yang sedang mengangkat kardus baru turun dari mobil.
Anak SD itu adalah Ningsih, adiknya kang Ucup tetangga sebelah rumah Aira.
"Siapa emangnya Ning, ini aku lagi kerja segan kalo ditinggal gitu aja." pikiran Aira mungkin hanya tamu biasa atau orang-orang dekat rumah.
"Gak tau Teh, tapi pakai mobil bagus loh Teh, mana pakaiannya cantik pisan lagi kayak artis di tipi itu Lo Teh."
Aira mengerenyit heran, siapa tamu yang dimaksud Ningsih ini? Setahunya Nek Asih tak memiliki saudara sepupu dan kerabat jauh. Tak ingin ambil pusing, Aira pergi ke belakang untuk minta izin sebentar kepada pemilik grosir.
Setelah mendapatkan izin Aira pun pulang bersama Ningsih. Saat sampai rumah Aira melihat memang benar ada mobil mewah berdiri persis di halaman rumahnya.
"Assalamualaikum," salam Aira kepada 4 orang dewasa yang berdiri di teras rumahnya dengan kang Ucup sambil mengobrol.
2 orang dengan pakaian jas hitam, 1 orang dengan jas silver dan seorang perempuan dengan baju yang terlihat mahal. Persis seperti orang kaya.
Aira bingung sejak ia memberi salam tadi ia ditatap begitu dalam oleh perempuan tadi, seolah dari tatapan itu menyalurkan beribu duka dan kerinduan yang mendalam.
"Waalaikumsalam, ini yang namanya Aira?" tanya perempuan itu sambil mendekat kepada Aira.
"Iya Buk saya Aira, kalo bo---" belum sempat Aira melanjutkan ucapannya wanita tadi mendekapnya sambil menangis. Aira heran, kenapa pelukan ini begitu hangat seperti pelukan seorang ibu yang Aira belum dapatkan selama ini.
"Kita masuk dulu aja atuh supaya enak ngobrolnya." kang Ucup memecahkan suasana yang akaward di teras rumah ini.
Setelah duduk dan menyuguhkan minum, Aira duduk tepat di sebelah kang ucup. Bukan tempat duduk sofa yang ada di pikiran kalian, ini hanya duduk di lantai dengan alas tikar yang sudah sedikit robek di beberapa ujung.
"Saya BARA HARDI HANZEL dan ini istri saya SURYANI LESTARI HANZEL." tatapan pak bara mengarah pada istrinya yang sedari tadi terus menatap dalam Aira.
"Jadi bapak dan ibuk siapa? Ada urusan apa mencari saya kalo boleh tahu?" tanya Aira yang tak tahan ditatap oleh ibu itu, sehingga ia bertanya untuk menjawab kebingungannya.
"Kamu nggk ingat sama kami nak," lirih ucapan Bu Surayani terdengar ke telinga Aira.
"Maaf Buk saya tidak tau kalian siapa atau ibuk dan bapak salah orang atau rumah mungkin." Dipikiran Aira pasti orang-orang ini salah tujuan mengingat nek Asih tak memiliki kerabat yang penting seperti mereka ini.
"Kami tidak salah orang, kamu Aira kan cucu nek Asih?" pak Bara menatap Aira dan diangguki oleh Aira sebagai jawaban.
"Saya dan istri saya adalah orang tua kamu."
Deg!!
Ucapan pak bara menggetarkan hatinya, Aira pikir surat yang diberikan nek asih itu hanya bohong semata tapi kini, semua terjawab bahwa tulisan itu memang benar adanya.
"Kamu adalah anak kami yag hilang 10 tahun lalu," lanjut pak Bara
Aira mengangkat kepalanya melihat dalam mata orang orang itu.
"Nek Asih bilang orang tua saya sudah meninggal, jadi bapak dan ibuk memang benar salah orang, mungkin saja yang ibu dan bapak maksud bukan Aira saya." Aira menyangkal pernyataan ini, ia sungguh tidak percaya, mana mungkin tanpa angin dan hujan tiba-tiba seseorang mengaku bahwa mereka adalah orang tuanya.
"Nak kami memang orang tua mu." Bu Suryani yang tadi diam kini mendekat ke Aira sambil menangis, ia tak tahan melihat penolakan dari orang yang selama ini selalu di carinya.
Beribu kali orang telah mengatakan bahwa Aira, anaknya telah meninggal dalam insiden kecelakaan 10 tahun lalu. Bahkan suaminya pun ikut percaya bahwa anaknya meninggal.
Tapi karena naluri seorang ibu yang kuat Suryani tetap mencari anaknya dengan membayar detektif yg terpercaya. Kemarin, setelah tahun ke sepuluh, Suryani hampir menyerah dan berencana memberhentikan pencarian, namun suatu keajaiban datang saat Suryani hampir menyerah, detektif itu mengatakan bahwa tak lama lagi anaknya akan ketemu. hari ini semua yang telah Suryani lakukan untuk menemukan anaknya, telah terbayar sudah saat melihat Aira tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik.
"Maaf buk pak, saya tidak percaya. Bisa jadi bapak dan ibu hanya mengada ada saja, maaf buk pak." Aira masih tetap kukuh dengan kepercayaan bahwa ini semua adalah bohong.
"Maaf nona saya memotong," pria berjas hitam yang tadi diam duduk di sebelah pak Bara kini bersuara. ia adalah Sean, sang detektif kepercayaan Suryani yang mencari Aira selama ini.
"Sebulan yang lalu, sebelum nek Asih meninggal, beliau telah bertemu saya sebelumnya dan beliau telah jujur mengatakan bahwa nona bukan cucu kandungnya,"
"10 tahun lalu, nona di temukan oleh beberapa warga di hutan, karena tidak ada yang ingin mengurus nona dengan alasan kekurangan ekonomi. maka saat itu nek Asih yang hidup sebatang kara mengangkat nona menjadi cucunya," tambah Sean menatap wajah Aira yang tanpa ekspresi.
Aira bingung, sungguh ini di luar ekspektasinya. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa ia memiliki orang tua, yang ia tahu orang tua nya telah meninggal. Tapi ini, jelas di depannya mengaku sebagai orang tuanya.
"Kalo kamu memang masih belum percaya, kita bisa tes DNA,"
ucap Suryani untuk meyakinkan Aira.
"Nak Ucup bisa menunjukkan rumah sakit terdekat, agar kita langsung pergi untuk tes DNA." wajah harap Suryani memandang kang Ucup yang sedari tadi diam mendengarkan kebenaran yang terkuak tersebut, mengangguk mengiyakan.
"Tidak usah buk." tolak Aira, ia sungguh takut saat hasil tes DNA menunjukkan kebenarannya. Aira belum siap.
"Sekarang kamu percayakan?" tanya pak Bara.
Aira diam bergeming, ia harus apa. Sungguh di hati kecilnya ia percaya, tapi kenapa ia ragu.
"Kalo memang saya ini anak ibu dan bapak , knpa selama ini saya tidak mengingat sedikit pun kenangan bersama Kelian."
"Bukankah kalian bilang kejadian itu 10 tahun lalu, berarti itu saat umur saya 7 tahunkan, saya sudah besar tapi kenapa saya tidak mengingat nya?" tanya Aira sambil meneteskan air mata, ini lah seorang Aira ketika kalut dia akan menangis, padahal ia bukan cewek cengeng.
"Kamu hilang ingatan." hanya itu yang di ucapkan Bara sebagai jawaban.
"Pulang lah kerumah kita Ra, mama sungguh rindu," bujuk Suryani kepada Aira. Ia berharap Aira mengangguk kan kepalanya dan tersenyum. Namun sebaliknya Aira menatap nya tajam.
" Setelah apa yang terjadi dengan saya selama ini anda dengan mudahnya menyuruh saya pulang," ucap Aira tajam.
"Bahkan saya tidak pernah berpikir untuk memiliki seorang ibu, karena memang seperti itu seharusnya, saya tidak punya orang tua,"
Suryani menangis hebat, tak ada yang lebih sakit dari penolakan anaknya ini. Ia mengerti apa yg di ucapkan Aira tadi, Sean menjelaskan sebelum kesini bahwa Aira Bekerja untuk hidupnya sejak 4 tahun yang lalu, bukan hal kecil yang dikerjakan nya. Mulai dari tukang cuci ke rumah orang, pelayan di rumah makan, tukang angkut barang di pasar, hingga menjadi pegawai tetap di warung grosir sejak 2 tahun terakhir. Belum lagi ia harus mengurus nek Asih yang sakit.
Lalu, kini ia datang dan menyuruh Aira pulang. memang benar yang di ucapkan Aira tadi, mudah nya ia menyuruh Aira pulang, Suryani seakan menjadi ibu yang tak tau diri.
"Tapi memang seperti itu seharusnya, kau anak kami, kau tanggung jawab kami, maka dengan itu pulang lah dengan kami," bujuk Bara sekali lagi.
"Tak usah peduli kan saya, toh selama ini saya bisa hidup tanpa orang tua," ucap Aira kembali. Ia tak mau pergi dengan mereka, Aira tak kenal mereka.
"Kalo memang kamu tidak ingin pulang karena keinginan kamu, maka pulang lah demi keinginan nek Asih."
Suryani kembali membujuk dengan jalan lain.
"Aira dengar, jika kamu pulang bersama kami kamu tidak akan memikirkan pekerjaan lagi dan mulai fokus untuk sekolah," Bara tak kalah untuk membujuk Aira, ia juga sebenarnya sangat rindu kepada putrinya ini.
Aira bergeming di tempatnya apakah ia harus pergi dengan mereka dan memulai kehidupan baru? atau tatap disini. Tapi mengingat surat yang ditulis nek Asih, Aira kembali bimbang.