Dia Orang Baik

777 Words
Di hari yang sama, Musa memarkirkan motor ke garasi, lalu langsung memasuki ke rumah besarnya. Tidak ada tujuan lain selain kamar. Pria itu terkejut saat memasuki kamar, menutup pintu kembali dan terkejut saat balik badan. Sudah ada sosok terbaring di atas kasur miliknya. "Ah lo ngagetin aja." Musa melempar jaket cokelat bertuliskan Bravodas yang baru saja dia lepas ke muka sosok di atas kasur. Galih, teman dekat Musa yang juga merupakan anggota geng Bravodas terkekeh pelan sambil menyingkirkan jaket dari wajahnya. "Kenapa kaget? Gua kan udah biasa tinggal di sini. Nginep pun udah sering. Lo lupa, mama Lo sering bilang agar gue menganggap rumah ini seperti rumah gue sendiri. Ya ini!" Galih ngeles. "Pagi buta begini lo udah kayak jalangkung aja, muncul di kamar gue. Ini masih jam lima pagi loh, Galih." Musa memasuki kamar mandi, mencuci muka lalu kembali ke kamar hanya dengan handuk melilit di pinggang. Ia menuju ke lemari mencari pakaian. "Gue sejak tadi malem di sini, bro." "Nginep?" "Yo'i." "Lo kan tau sendiri kalau Bravodas ada jadwal bagi sembako ke kampung kampung. Ya gue nggak ada di rumah lah, ngapain nginep di sini kalau Tuan Rumahnya nggak ada?" "Kan ada Bik Ipah yang bukain pintu buat gue. Gue nginep juga bukan karena mau ketemu lo, tapi mau istirahat di sini. Gue demam dan nyaman banget tidur di sini." Musa tidak heran kalau sahabatnya itu lebih merasa nyaman tinggal di rumahnya dibanding di rumah sendiri. Dia adalah korban broken home. Galih sudah seperti saudara bagi Musa. Selain aktifitasnya di kampus, keseharian Galih lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Musa. Orang pertama yang rela berkorban saat Musa dalam kesulitan adalah Galih. Tidak ada teman sebaik Galih, yang selalu mengutamakan persahabatan dibanding hal lainnya. "Nyesel gue nggak ikutan kegiatan Bravodas tadi malem, pasti seru," celetuk Galih. "Yo'i," singkat Musa. "Badan gue dingin, tadi malem kena gerimis. Takutnya malah jadi demam." Musa buru-buru mengganti pakaiannya. "Halah, anak mama memang manja. Gampang sakit cuma kena hujan. Woi, celana kolor lo kebalik." Galih terkekeh. Inilah akibatnya jika terburu-buru, untung cuma kolor yang kebalik, bukan baju yang malah jadi celana.  Musa lalu menyusul ke kasur, masuk ke dalam selimut. "Lo nggak mandi?" tanya Galih. "Dingin." "Justru kalau kena air hujan, seharusnya badan lo disiram air hangat dulu." Musa yang berbaring miring menghadap Galih, sekilas menatap layar ponsel Galih, yang di sana tampak foto wajah seorang gadis. "Nggak bosen Lo ngeliat foto tuh cewek Mulu?" heran Musa yang sering kali melihat Galih mengamati foto sosok gadis sambil senyam senyum. "Enggaklah. Namanya juga cinta. Dia itu istimewa banget." Galih menunjukkan foto yang sudah sangat sering dilihat oleh Musa. Dan hanya Musa yang mengetahui cinta Galih terhadap gadis itu, teman yang lain tidak ada yang tahu. Sebab Galih hanya percaya pada Musa untuk menjaga rahasia cintanya yang masih disimpan rapi. "Nih, cantik kan? Imut lagi. Sekali dia ngomong, bikin jantung deg-degan." Musa hanya mengayunkan alis sebelum akhirnya ia menutup mata untuk tidur. *** Moza membuka mata, ia berada di kamar asing.  Ia langsung duduk setelah menyadari sesuatu, kedua orang tua dan adiknya meninggal dunia. Casilda yang baru saja memasuki kamar, tersenyum tipis melihat Moza yang sudah siuman. “Ibu…” Tangis Moza kembali pecah, tak terbendung.  Dia ingat ibunya. Casilda mendekati Moza, menyodorkan segelas air hangat.  “Ini diminum dulu.” Moza menghargai kebaikan Casilda, ia tidak ingin menolak pemberian wanita itu.  Ia meneguk air putih. “Kamu pingsan sejak siang, sempat bangun sebentar dan pingsan lagi.  Ini sudah malam, pemakaman ayah ibu dan adik mu sudah selesai.  Kondisimu lemah dan nggak memungkinkan untuk mengikuti ritual pemakaman,” ucap Casilda sambil mengelus pundak Moza. Air mata Moza mendadak deras mengalir. “Ini rumah Tante yang satunya, selama ini nggak ada yang menempati.  Jadi kamu tinggal aja di sini,” sambung Casilda dengan tatapan iba ke wajah Moza yang sembab. “Makasih, Tan,” lirih Moza sedih. “Ini uang buat kamu.  Kamu bisa pakai untuk keperluan mu.” “Moza nggak mau ngerepotin,” tolak Moza. “Jangan ditolak.  Zaskia itu sahabat dekat Tante, kami udah seperti saudara, kami nggak pernah bertemu lagi semenjak Tante menetap di Bandung.  Dan beberapa tahun terakhir ini, Tante sudah kembali di Jakarta.  Bahkan dulu waktu kamu kecil juga sering main sama Tante.  Kamu masih terlalu kecil, mungkin kamu lupa itu.” Moza diam saja, hatinya masih kebas untuk banyak bicara.  Kehilangan orang-orang yang dia cintai adalah hal terburuk dalam hidupnya. “Moza, kamu istirahat ya.  Tante harus pulang ke rumah.  Tante nggak bisa nemenin kamu, banyak yang belum tante kerjakan di rumah.  Baik-baik di sini.”  Casilda meninggalkan Moza. Tinggalah Moza yang meneteskan air mata sendirian mengenang ibu dan ayahnya yang sudah pergi untuk selamanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD