Pria Tampan Menggemaskan

942 Words
“Ya udah, kalau nggak mau ke pos polisi, kita cari jalan lain aja. Jadi kalian maunya aku mesti ngapain untuk ganti rugi? Berapa aku harus ganti rugi?” Tanya Musa. “Antarin kami pulang!” polos Moza kemudian menggigit bibir bawah. “Lah? Kok minta antarin pulang?” Caca kaget bukan main. Bukannya minta uang, malah Cuma minta diantarin pulang. Hadeuh… Caca tepuk jidat. Lagi-lagi Musa tersenyum, permintaan polos. “Kalau tahu takut pulang malam, kenapa keluar malam-malam?” Moza tidak menjawab, hanya menunduk. “Udahlah, lo anterin cewek itu pulang aja gih. Kalo mereka kenapa-napa malah repot entar. Lagian kan lo bilang mau tanggung jawab tadi,” celetuk salah seorang pria lain. “Ayo, aku antar pulang!” ucap Musa akhirnya. Membuat Moza langsung tersenyum lebar dan bergegas menaiki motornya. “Idih, Moza. Matre dikit napa? Minta duit lima ratus ribu kan lumayan, buat hepi seminggu. Traktir temen-temen di sekolah,” bisik Caca sambil membonceng. Moza tidak mengomentari. Pikirannya hanya sedang ingin pulang dengan selamat. Musa melajukan motor gedenya mengikuti motor metik di depan. Mereka melewati persawahan, jaraknya lumayan jauh dari jalan poros. Sepi. Gelap. Motor Musa berhenti di depan sebuah rumah bernuansa klasik yang luas. Pria itu turun dari motor dan menghampiri dua gadis yang tampak sedang berunding. “Ehm..” Musa berdehem mengalihkan perhatian dua gadis yang malah tampak sibuk tanpa mempedulikannya. “Mm.. Makasih, ya!” ucap Moza malu-malu. Ia tidak terbiasa berinteraksi dengan kaum laki-laki, bawaannya malu saat harus berhadapan begini. Apa lagi ia harus berbicara secara langsung dengan pria yang sama sekali belum ia kenal. “Ya.” Musa mengangguk. “Kamu ternyata baik juga, mau nganterin kita pulang,” sahut Caca. “Aku udah bilang kalau aku bukan orang jahat,” jawab Musa percaya diri. Sekilas ia mengedarkan pandangan ke rumah bercorak klasik itu. “Kalau begitu, aku pergi.” “Eh, tunggu!” seru Caca membuat gerakan Musa yang tengah menaiki motor itu pun terhenti, pria itu menoleh. “Ada apa?” Tanya Musa sambil membuka kembali kaca helmnya. “Nama kamu siapa?” Caca percaya diri, sama sekali tidak minder. “Musa Al Fath.” “Oh, oke.” Pandangan Musa tertuju ke arah Moza yang bersembunyi di balik tubuh Caca. Tersenyum tipis menyadari gadis polos yang pemalu itu kembali menyembunyikan wajah saat pandangan mereka bertemu. Musa menyalakan mesin motor, membunyikan klakson dua kali sebelum akhirnya meninggalkan lokasi itu. Deru mesin motor Musa yang menggema semakin mengecil dan hilang dari pandangan. “Ca, ayo, masuk! Apa kita mau di sini aja sampai pagi?” Moza mengguncang pundak Caca yang malah terbengong. “Cowok itu ganteng ya?” Caca terkekeh geli. “Ya ampun.” Moza geleng-geleng kepala. Ternyata sejak tadi temannya itu fokus memperhatikan Musa. “Ya udah yuk masuk!” ajak Caca. Mereka memasuki rumah yang tak lain adalah milik Caca. Moza tidak berani pulang sehingga memutuskan untuk menginap di rumah Caca malam ini. Sudah sejak di perjalanan tadi, mereka membicarakan hal ini. Setelah memasukkan motor ke garasi, mereka langsung menuju ke kamar. Moza terpaksa meminjam pakaian milik Caca untuk mengganti seragam sekolahnya yang sedikit basah. Setelah keduanya mengganti pakaian, Caca berbaring di kasur sambil memainkan ponsel. Sedangkan Moza tampak sedang menelepon ibunya. “Bu, Moza tidur di rumah Caca aja ya? Moza kemalaman, takut pulang malam-malam.” Meski saat terjebak hujan di toko buku tadi Moza sudah bilang kepada ibunya kalau ia akan pulang telat, ia tetap harus minta ijin untuk dibolehin menginap. Hal ini jarang dia lakukan kecuali kepepet. “Ya udah, nggak apa-apa. Padahal adikmu tadi berharap tidur sama kamu loh.” “Kasian banget. Tapi mau gimana lagi, Moza menginap dulu di sini. Kasih hape-nya ke adik, Bu. Moza mau ngomong.” “Adikmu sudah tidur.” “Ya udah, besok pagi-pagi banget Moza cepet-cepet pulang.” “Jangan lupa baca doa mau tidur.” “Iya, Bu.” Moza memutus sambungan telepon sesaat setelah mengucapkan salam. Setelah itu ia tampak menulis di meja sambil sesekali membaca buku paket. “Za, cowok tadi ganteng juga ya! wajah wajah orang Turki gitu.” Caca menyeletuk. Moza hanya menoleh sambil geleng-geleng kepala, kemudian mengembalikan pandangan ke buku tulisnya. “Namanya Musa siapa tadi? Payah banget nyebut namanya. Kayak ke arab-araban gitu,” ucap Caca lagi. “Musa Al Fath.” “Oh iya. Aku mau cari sosmed punya dia lah.” “Untuk apa?” “Untuk nyari info tentang dia dong. Mau nge tag pas posting kejadian yang tadi itu. siapa tahu bisa viral.” Moza tidak menanggapi, sibuk dengan tulisannya. Caca menemukan akun milik Musa. “Oh my God. Ini liat deh, ternyata Musa keren banget di sosmed, ini fotonya so sweet. Followernya juga lumayan.” Caca semakin antusias. Tidak mendapat tanggapan dari Moza, Caca pun mengalihkan perhatian kepada Moza yang ternyata asik pada kalkulator. “Ya ampun Za, kamu ngapain sih sibuk banget sama PR? Itu kan dikumpulin lusa. Masih ada waktu kali,” ucap Caca. “Lebih cepat lebih baik. Ini juga udah mau selesai, kok.” Moza kemudian mengemas buku ke dalam tas. Ia menyusul naik ke ranjang, berbaring di sisi Caca. “Liat deh, ini keren kan? Aku liat mukanya tuh ngegemesin banget,” ucap Caca sambil memperlihatkan foto Musa di akun **. Sekilas Moza melihat foto itu, memang cakep. Tak lama Moza langsung mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur. “Bukannya pertamanya tadi kamu kesel gitu ya sama Musa?” Moza menyelimuti tubuhnya dan mulai memejamkan mata. “Biasanya geng motor itu kan pada brutal dan suka bikin onar. Tapi ini kayaknya baik, deh.” “Udah, Ca. Besok aja lagi ngebahasnya.” Suara Moza sudah berat, mengantuk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD