Menutup Lembaran yang Belum Usai

3024 Words
Bagaikan tanaman yang tengah berfotosintesis, tetapi kau menghalanginya. Kau membekapkannya ke tempat di mana tak ada cahaya. Kau pikir itu akan lebih baik agar tidak tersengat cahaya matahari. Jika benar begitu kau salah besar, justru aku lebih menyukai kehidupan sebelumnya. Berkisah tentang gadis kelahiran Penajam Paser Utara, Kalimantan timur yang harus mengikuti perintah orang tuanya untuk berpindah sekolah pun tempat tinggal. Berpindah sekolah bukanlah perkara yang mudah baginya, apalagi ia memiliki sifat introvert. Mengenal beberapa orang tidak cukup satu atau dua hari saja, tetapi butuh waktu berhari-hari bahkan mingguan untuk bisa akrab dengan teman barunya. Namun, sifat itu tertutupi oleh prestasi akademiknya. Beberapa mata lomba telah ia raih, bahkan mendapatkan beasiswa ful dari sekolah. Panggil saja Litha, dengan nama lengkap Talitha Zulfaya. Saat ini ia tengah sarapan bersama ayahnya. Namun, Litha kesal karena sang ayah baru saja memberitahukan pindahannya ke Surabaya tanpa pengetahuan Litha sebelumnya. "Aku telah mengikuti arahmu, prestasi yang selama ini aku kejar tidak ada harganya di matamu. Aku juga tidak ingin menjadi pendiam dan pemalu seperti ini, aku ingin kebahagiaan. Tidak lagi diatur olehmu seperti anak kecil. Aku muak semua itu. Aku ingin berada di sini, tempat di mana orang-orang menyayangiku dengan tulus." Brakk ... Suara lemparan gelas plastik menghantam lengan Litha hingga menimbulkan bunyi. Napas kasar dengan raut wajah marah mengarah kepadanya lekat-lekat. Seketika Litha berdiri kaku sembari menyatukan giginya agar tidak berbicara dan terbawa emosi. Kedua tangannya mengepal kemudian dimasukkan ke saku celananya supaya tidak terlihat. Pria yang mempunyai dua anak ini mempunyai sifat arogan, tapi rasa kasih sayangnya tak pernah sirna pada keluarga tercinta. Ibu Litha pun tak sanggup jika harus melihat putrinya dimarahi oleh suaminya sendiri, ia menjauh dari mereka, tetapi masih di ruang makan. Ya, tepatnya berada di pojok ruangan. "Papah akan tetap memindahkanmu ke Surabaya!" Suara lantang memenuhi ruang makan. Litha yang awalnya menunduk kini mengangkat wajahnya kembali dengan geram. Jelas saja Litha kesal, tanpa angin, tanpa masalah, dan tanpa sepengetahuannya, tiba-tiba ia dikabarkan untuk pindah. Ternyata sudah lama ayahnya mengurus surat-surat bersama dengan kepala sekolah dan wali kelasnya. "Kenapa? Aku sudah menemukan kenyamananku di sini. Aku sudah bahagia dengan teman-temanku yang sekarang bahkan beasiswa sudah aku dapatkan. Papah tidak perlu lagi membayar uang sekolahku. Papah tidak pernah mengerti perasaanku," ucapnya dengan tegas dan penuh penekanan. Menahan air mata yang keluar dengan menengadahkan kepalanya. "Tutup mulutmu! Tahu apa tentang perasaan? Bahkan putri papah tidak mengerti perasaan papah seperti apa." Ayah Litha dengan tegas mengucapkannya, mengambil napas lalu melanjutkan kembali ucapannya. Gadis itu berpikir keras setelah mendengar ucapan yang terlontar dari mulut sang ayah. "Papah mengalami kebangkrutan dan terpaksa harus menjual rumah ini. Itu alasan papah yang pertama. Kedua, papah ingin anak-anak papah hidup mandiri dan mampu mengelola keuangan sendiri. Ketiga, papah ingin kamu kuliah di tempat yang baik. Keempat, papah dan mamah akan pergi ke Jakarta dalam waktu yang lama untuk mengurus perusahaan." "Jadi, aku dibuang? Sebenarnya orang tuaku siapa pah? Kalau masalah mandiri aku bisa dan kalau papah akan pergi juga silakan. Satu hal yang mengganjal di pikiranku, kenapa papah menjual rumah ini? Sedangkan papah akan membeli rumah di Surabaya untukku tempati?" Bukannya diam dan menyudahinya, Litha justru semakin penasaran dengan kepindahannya karena menurut Litha sendiri ada hal yang disembunyikan darinya. "Cukup! Jangan membuat papah semakin emosi padamu!" Pertanyaan Litha kali ini membuat sang ayah kewalahan menjawab. Dia memilih pergi untuk menenangkan pikirannya. Setelah ayahnya menghilang dari hadapan Litha, tersisa ibunda di sana. "Mah, sebenernya ada apa sih? Harus banget pindah? Kenapa?" Litha masih bertanya mengenai persoalan tadi pada mamahnya yang sembari tadi di pojok ruangan. "Besok kau akan mengerti, Nak. Turuti saja apa kata papahmu, mulai bersiap dari sekarang, ya." Suaranya yang lembut membuat Litha meneteskan air matanya. Ia menolak untuk pindah ke Surabaya, tetapi papahnya tak bisa ia lawan. Sekali tidak akan tetap tidak. Akhirnya ia pergi ke kamarnya, duduk di balkon sembari memegang vas bunga mungilnya, merenungkan takdir selanjutkan yang akan datang padanya esok. Apakah ia akan menemukan kebahagiaan baru, walau dengan orang yang berbeda? Atau, ia akan semakin murung dan tak menikmati hidupnya? "Dia menginginkannya! Dia pun tidak menerima penolakan dariku, katanya semua sudah diatur dengan matang. Emm, satu hal yang tak bisa aku hindari yaitu ucapan orang tua," bisiknya pada bunga dalam pegangannya. Mengingat besok akan pergi, Litha memanfaatkan waktunya untuk berjumpa dengan Lira, sahabatnya. Hanya hari ini Litha mempunyai waktu untuk bersendau gurau sekaligus berpamitan karena besok Litha tidak bisa berlama-lama di sekolah. Berangkat hanya mengurus data yang belum terselesaikan. Dengan segera Litha mengambil HP-nya di nakas. Mengusap air mata dan mulai memainkan jarinya untuk menghubungi Lira. Room Chat !! Litha : "Assalamualaikum, Mak." Emak adalah nama panggilan yang biasanya terucap dari bibir Litha karena menurutnya Lira seperti emak-emak di pasar yang cerewet dan ceplas ceplos dalam dalam berbicara. Lira : "Walaikumsalam Ta, ada apa? Ada yang bisa emak bantu?" Litha : "Nanti ketemu di kafe, ada yang ingin gue sampaiin." Lira : "Tumben amat, besok aja di sekolah biasanya lo juga gitu." Litha : "Gue nggak bisa." Lira : "Kenapa? Sekarang gue yang ngga bisa soalnya ada janji sama doi." Litha : "Yahh Lira ...." Litha mulai sedih juga kecewa, sahabatnya sendiri yang lebih memilih kekasihnya dibanding dia. Lira : "Ya udah, gue mau terusin beres-beres dulu." Lira mematikan datanya, padahal Litha akan memberitahukan bahwa dia akan pindah. Akhirnya Litha mengirimkan pesan, tetapi sayang, terlanjur ceklis satu dan entah akan dibaca pukul berapa. Kembali murung di balkon, membayangkan saat-saat terakhir yang hanya bisa bertukar sapa tanpa berbincang lama dengannya. Namun, dia juga mengerti jika Lira sudah buat janji dengan siapa pun itu maka dia akan menepatinya. Terdiam tanpa kata tanpa kedip. Litha terenyuh tidak bisa mengobrol lama lagi dengan Lira, satu-satunya cara ialah hari ini harus bertemu dengannya. Namun, Lira sibuk dengan agenda lain. Litha keluar dari kamar menuju ruang tamu, terdiam sejenak menatap seluruh ruangan. Kosong tidak ada satu orang pun, Litha ke kolam renang menatap penuh airnya. Seperti orang yang tak tau mau melakukan apa dan bingung memikirkan hari esoknya. Sampai-sampai Litha melangkahkan kakinya menuju kolam renang belakang rumahnya. Lodia, mamahnya. Melihat Litha yang tengah melamun menatap kolam. Mendekatinya lalu memecahkan lamunan Litha. Ada rasa tidak tega terhadap Litha, tapi keputusan papahnya sudah bulat yang tidak bisa diganggu gugat. "Kenapa Litha? Jangan sedih gitu dong. Ayo senyum ...." Lodia menatapnya dengan sayu. Berusaha menghibur dan menenangkan sang putri atas kejadian pagi tadi. "Mah," Satu kata yang dilontarkan dengan lirih. Menunduk ke lantai putih, mencoba menahan air mata yang keluar. Namun, sudah tidak bisa dibendung lagi, dengan derasnya air mata berjatuhan ke pipi. Lodia memeluknya dengan erat sembari mengelus rambut hitamnya. "Kenapa pindah lagi? Apa papah dan mamah sudah tidak sayang lagi dengan Litha? Litha sudah menurutinya ke Aceh lalu pindah ke Kalimantan Timur dan sekarang? Ke Surabaya yang sudah jelas tidak ada saudara." Litha merasa bahwa dirinya mudah dilempar ke mana saja. Merasa tidak dianggap seperti anak oleh papahnya. "Kamu sudah tumbuh dewasa, Nak. Sebentar lagi kamu akan melanjutkan kuliah. Karena mamah pikir sekolah di jawa itu lebih maju, dan memudahkan kamu untuk mendaftar kuliah di sana. Jadi mohon jangan bersedih, mamah hanya ingin masa depanmu yang terbaik." "Tapi Mah ... aku sulit untuk berbaur dengan orang lain, harus beradaptasi lagi di sekolah baru. Belum lagi ada temen yang ini itu. Aku sudah cukup senang dengan beasiswaku, tinggal satu semester lagi aku lulus, Mah." Litha melepaskan pelukannya, mengusap pipi yang mulai basah. "Kamu bisa, anak mamah pasti bisa." Lodia pergi setelah mengucapkan itu. Litha kembali ke kamar dengan berjalan gontai. Merebahkan tubuhku lagi ke ranjang dengan memeluk boneka panda mungilnya. Beberapa menit kemudian Litha dipanggil oleh Putra, ayahnya untuk makan siang. Berbicara lagi soal pindah ke Surabaya yang membuat Litha benci hal itu dan menyebabkan ia tidak menghabiskan makanannya. Kamu nanti ada acara ke mana, Ta?" tanya Putra. "Ngga ada," singkatnya yang masih emosi pada sang ayah. "Siapkan barang-barangmu." "Hmm." "Masih marah sama papah?" tanya Putra baik-baik. Litha terdiam, tidak menjawab sepatah kata pun. Putra memahami anaknya ini dan melanjutkan makan siangnya. Setelah makan, Litha kembali ke kamar untuk persiapan, mengemas barang-barang penting termasuk seragam sekolah. Tidak menyangka semua akan sesingkat ini, berpisah dengan Lira dan teman-teman sekelasnya. Padahal Litha pun belum lama pindah ke Kalimantan. Kling… Bunyi ponsel terdengar jelas di telinganya, membuat tangan melayangkan menuju sumber suara, membukanya dengan malas. Dengan reflek Litha melebarkan kedua matanya setelah mengetahui pesan dari Lira. "Ke Kafe yang biasa, jam 14.35 WITA, aku tunggu dari sekarang." "Ehh gila emak nih, sekarang aja jam 2.15 pm. belum mandi pula." Dengan sigap Litha bersiap-siap ke alamat tujuan. Sengaja tidak mandi agar Lira tidak lama menunggu, hanya mencuci wajah yang berminyak. "Mau ke mana, Sayang?" tanya Putra yang menghentikan langkahnya. "Ketemu Lira," seru Litha sembari melanjutkan langkahnya. Rasa senang terpancarkan dari wajah manisnya. Setidaknya dia bisa keluar dari rumah untuk meredakan emosi terhadap ayahnya. Sesampainya di kafe, "Lira," sapa Litha seraya melambaikan tangannya yang masih jauh dari tempat yang Lira duduki. Mata sayunya terlihat ketika Litha memeluknya. Lira hanya terdiam, tidak membalas pelukan melainkan menertawakannya. Aneh, batinnya. Tidak biasanya Litha bersikap layaknya orang yang tidak bertemu selama setahun. Lira langsung melepaskan pelukannya Kemudian memanggil pelayan untuk memesan kopi kesukaan mereka. "Ada apa?" tanya Lira to the point. "Emm?" Bingung Litha dengan memiringkan kepala sembari mengeryitkan alisnya. "Tadi kan ngajak gue ke sini, mau ngomong apa?" jawabnya sambil mengeluarkan ponsel dari tas. Benar dugaan Litha, Lira menanyakan hal itu. Namun, Litha tidak langsung menjawabnya. " Bukannya lo yang ngajak gue ke sini? Apa lo udah lupa Lira, coba cek pesan yang dikirim tadi." Litha tertawa dengan ringannya. "Litha! Lo selalu aja buat gue kesal." Seraya mengambil kopi yang ada di hadapannya. "Ngga pa-pa sih, cuma pengen aja, kok lo jadi ke sini sih? Katanya ada janji sama doi." "Gue baca pesan lo, katanya mau pergi. Pergi ke mana? Kapan? Sama siapa?" tanya Lira beruntun. "Bukan pergi sih sebenernya, tapi pindah." "Maksudmu?" Lira menaikkan satu alisnya dan menyodorkan wajahnya ke hadapan Litha. Deg! Litha menutup mulut dengan tangan kirinya. Kenapa sebodoh itu, padahal gue nahan omongan tadi buat nanti, batinya, "Nanti gue cerita." Masih dalam mode pikir. Hampir 2 jam mereka bertukar cerita konyol di luar pembahasan yang sebenarnya. Litha mengatur napasnya dengan tenang. Rasanya tak sanggup jika harus pergi meninggalkan sahabatnya. "Lira." Jarinya terus bergerak di atas meja. "Ada apa?" "Emm, anu...itu emm," ucapnya yang terbata-bata membuat Lira semakin penasaran. "Jangan buat gue penasaran!" "Bokap gue beli rumah di Surabaya." "Bagus dong, sebentar gue mau ke toilet dulu." Lira langsung melesat ke toilet. Litha mengigit jarinya dengan sebal, bukannya langsung mengatakan dirinya pindah melainkan menceritakan ayahnya yang akan membuang waktu lebih banyak. Menunggu hingga 10 menit, tapi Lira belum juga kembali. Kenapa Lira lama sekali? gumamnya sembari menyusun strategi untuk bercerita agar tidak bertele-tele. Rasa tidak sabaran muncul dalam diri Litha. Dia bangkit dari kursinya dan segera menyusul Lira. Sontak Litha terkejut ketika melihat Lira menangis. Dibentak oleh laki-laki yang ada di hadapannya. "Ada apa Lira?" Lira hanya menunduk dan terus meminta maaf pada laki-laki yang tidak ia kenali. "Ouh jadi ini alasan lo ngga mau jalan sama gue? Gue udah nyisain waktu untuk bisa jalan, tapi lo malah seneng-seneng sama temenmu tanpa mikirin gue sedikitpun," ucap lelaki itu dengan lantang seraya menunjuk Litha dengan jarinya. Ouh jadi ini pacarnya Lira, batin Litha yang belum bersuara lagi sembari mundur 2 langkah menjauhi laki-laki itu. "Jangan bawa-bawa dia, gue yang salah di sini. Gue hanya ingin menemaninya, hanya itu yang kumau. Apa salahnya? Lagian ini temanku jadi jangan seperti anak kecil. Marah? Silakan! Gue menyadari kesalahanku dan sekali lagi gue minta maaf. Tolong! Sekarang pergilah dari hadapanku!" sambung Lira dengan napas naik turun tak beraturan sambil menangis. Litha memegang bahu Lira untuk menenangkannya dan laki-laki itu akhirnya pergi dengan berucap, "Terserah!" Dengan menatap tajam Lira. Litha menuntunnya ke tempat duduk semula, menyuruh Lira untuk minum agar pikirannya tidak sepanas tadi. "Emm, tadi siapa?" "Dia Ken, pacar gue." Sambil menunduk dan memegang kepalanya yang cenat-cenut. "Apa karena gue, dia bersikap seperti singa yang hilang kendali?" Ya ampun, Resha mengatakannya. Dia takut membuat Lira semakin menyayat hati. "Nggak juga, dia emang gitu orangnya. Padahal gue udah bilang ngga jadi, tapi dia maksa mulu. Lo santai aja, gue cuma mementingkan sahabat gue ketimbang doi." "Hanya itu?" "Emmm." Menganggukan kepalanya pelan. "Ouh maaf Lira, bukan maksud gue merusak agendamu bersama Ken. Tap..." belum sempat melanjutkan Lira kembali berbicara. "Ini bukan salah lo, sudahlah jangan pikirkan dia. Apa yang sebenarnya ingin lo katakan? Jangan buat gue penasaran seperti ini." "Gue nggak tahu selepas ini lo akan sedih apa nggak. Pasalnya gue akan pergi meninggalkan lo dalam waktu yang lama bahkan gue sendiri ngga tahu akan kembali kapan," gumam Litha dengan memainkan jarinya. "Apa yang lo katakan?" pungkas Lira dengan menaikkan nadanya. "Papah gue nyuruh pindah lagi. Ke Surabaya, kota orang yang sama sekali ngga ada saudara di sana. Berasa ditelantarkan gue." "Gimana lo bisa pindah lagi? Lo baru 6 bulan berada di sini, bahkan gue udah mengagendakan tahun baru bersama lo." Litha akhirnya menceritakan semuanya, termasuk perdebatan dengan sang ayah. Lira mendekat kemudian memeluknya dengan erat. Dia tahu apa yang Litha rasa saat ini dan dia berusaha menghiburnya agar tersenyum kembali. Walau itu berat, tapi apa boleh buat. Litha mengajaknya ke taman untuk yang terakhir kalinya bersama Lira. Menikmati indahnya bunga yang terhampar di sana. Kembali bercerita dan berpesan satu sama lain selama Litha tak berada di sini. "Aku akan mengirimkan pesan walau hanya menanyakan kabar. Jangan khawatirkan aku, pliss," gumam Lira dengan memohon. Litha mengangguk pelan, mengukir senyuman seindah mungkin agar membuatnya merasa tenang. Hari mulai petang, Litha mengeluarkan hadiah untuk Lira sebagai kenang-kenangan darinya. Tampaknya dia sangat menyukainya. Ya jelaslah kan Litha tahu kesukaannya Lira yaitu boneka hello kitty. Setelah itu, mereka memutuskan untuk pulang tanpa berkata apa-apa lagi. Pergi bukanlah keinginanku, melainkan pilihan hidupku, batin Litha sembari memeluk Lira untuk terakhir kalinya. Setibanya di rumah Litha, seseorang memanggil Litha dengan keras, ia langsung mencari sumber suara tersebut dan melangkahkan kakinya ke laki-laki berkaos putih polos yang tengah berdiri seorang diri di gerbang. Saat tahu laki-laki itu, langkah Litha terhenti--tidak ada niatan untuk mendekatinya. Dia berbalik badan dan segera ke rumah, tetapi tangannya sudah dicekal oleh laki-laki itu. "Litha, jangan pergi dulu!" ucapnya, tapi Litha memalingkan wajahnya karena tak ingin melihat laki-laki yang ada di hadapannya itu. "Pergilah, untuk apa lo ke mari? Ini sudah malam." Litha menepis tangannya. Dia menarik tangan Litha hingga berbalik arah yang jaraknya sekitar 10 cm. Jarak yang begitu dekat baginya. Embusan napas pun terasa menyeringai wajahnya. Litha sontak melebarkan matanya dan mengedip-kedipkannya kemudian mendorong tubuh laki-laki itu. "Beri waktu 5 menit untuk bicara sama lo," ujar laki-laki itu. "Apa? Cepatlah gue ngga punya banyak waktu untuk lo." "Alhamdulillah terima kasih banyak, gue hanya ingin memberimu ini sebagai kenangan. Katanya lo ingin meninggalkan Kalimantan dan berpindah ke Surabaya?" Litha masuk dalam mode pikirnya, bingung kenapa dia bisa tahu dirinya akan pergi. Lira! Hanya dia yang tahu, pikirnya yang menebak-nebak. "Siapa yang memberi tahumu?" "Itu ngga penting, gue mohon terimalah ini. Karena gue ngga tahu akan ketemu sama lo kapan lagi.Kita udah beda sekolah, besok beda provinsi dan sampai saat ini kita masih beda perasaan. Gue terima itu semua, tapi tolong Litha terima ini sebagai kenang-kenangan dari gue. Emm gue juga berharap lo selalu ingat sama gue." "Hmm." Aku hanya mengangguk. Anggap saja ini pemberian pertama dan terakhir baginya. Dia memberinya sebuah kotak yang masih terbungkus rapi oleh kertas kado. "Terima kasih, udah gue terima dan silahkan pergi dari sini karena ini sudah malam." Litha menyuruhnya pulang . Namun, sebelum pulang laki-laki itu memintanya untuk berfoto dengan Litha. Dengan malas Litha pun menurutinya, toh ini yang terakhir. Dia pergi dengan perasaan senang karena baru pertama kalinya Litha menerima hadiah darinya. Biasanya Litha selalu menolaknya. Dibukalah knop pintu dengan pelan. Suara dehaman terdengar dari belakang Litha. Terlihat seseorang yang tengah berdiri tegap sembari melipat kedua tangan di dadanya yang bidang. Siapa lagi kalau bukan sang ayah. "Emm?" jawab Litha dengan menaikkan salah satu alisnya. "Tadi ada Rudi di depan. Papah udah menyuruhnya untuk masuk, tapi dia keras kepala. Apa jau sudah bertemu dengannya?" "Iyaa udah." Rudi adalah teman Litha. Dia mempunyai perasaan padanya yang tidak bisa dia balas kembali. Berkali kali dia mengungkapkan perasaannya pada Litha hingga membuat diri Litha malu. Malu? Ya, jelas. Bagaimana bisa dia mengungkapkannya di depan umum? Di hadapan banyak orang. Oh tidak! Litha sangat tidak menyukainya. Bahkan Rudi pernah datang ke rumah dan mengatakan perasaannya pada Ayah Litha. Ahh dia tidak menembak ayahnya! Lebih tepatnya meminta restu. Restu apa? Seperti orang lamaran saja! Caranya sungguh nekat. Dia memang baik bahkan sangat baik dan perhatian. Namun, Litha juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri. "Kotak yang kau bawa dari Rudi atau Lira?" "Rudi." Litha langsung masuk ke kamar dan menutup pintunya. Sebenarnya Litha tidak lagi kesal kepada ayahnya, tetapi Litha tidak ingin ditanyai mengenai Rudi. Mendengar namanya saja Litha sudah risih. Lebih baik tidur dari pada berceramah dengan topik yang tak ia sukai itu. Malam ini Litha tidak makan, pikiran dan tubuhnya lelah membuat Litha tidur lebih awal. Bahkan sedari siang Litha belum mandi, ya, Litha memang jarang mandi dan tak mempedulikan aroma dalam dirinya. _______ Sang surya telah menjemputnya dari mimpi malam, kini Litha menatap kaca dengan fokus, melihat pantulan dirinya yang sudah mengenakan seragam putih abu-abu. Seketika lamunan lenyap kembali. Mamahnya datang dengan mata sayu dan memegang kedua bahu Litha. "Semua akan baik-baik saja, percayalah, ucapan itu membuat ia seperti tersayat pisau, sakit, sedih hingga menangis. Hanya bisa berpasrah atas pilihan orang tuanya. Sekeras apa pun penolakan, justru akan memperlihatkannya pada kedurhakaan terhadap orang tuanya. "Sebentar lagi kakakmu akan pulang, dia akan menemanimu di Surabaya, setelah itu mamah dan papah ke Jakarta." "Menemani? Berapa lama?" "Paling hanya sepekan atau bahkan 4 hari saja, tidak ada kepastian dari kakakmu, yang pasti dia akan pulang. Jangan merasa kesepian, kau pasti akan mempunyai teman baru yang juga baik hati seperti dirimu." "Tapi, Mah." Litha merengek seperti anak kecil. "Jangan menangis, Nak. Nanti matamu sembab." Lodia langsung mengusap air mata sang putri. ~Waktu berkata lain, Saatnya kuharus merasakan kehilangan, Jemariku sibuk mengusap air mata yang mengalir dengan derasnya, Tak tahan semua harus kurelakan, Kenangan kecil berujung nestapa, Dan kini kuharus mengukir kembali kenangan baru bersama orang yang berbeda~ ~Talitha Zulfaya~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD