Kerinduan yang Mendalam

1341 Words
PROLOG "Lepaskan!!!" Suara teriakan Ningsih terlarut dalam derasnya air hujan, tidak akan ada seorang pun yang mendengarnya. "Tidak ada yang akan mendengar suaramu, Cantik! Malam ini kamu milikku," desis pria itu membuat suasana malam semakin mencekam. "Jangan, tolong lepaskan!!!" Sekuat apa pun Ningsih berteriak dan meronta, usahanya tetaplah sia-sia, dia hanyalah seorang wanita yang lemah. Hingga akhirnya, pria itu berhasil menguasai dirinya, mengambil apa yang bukan menjadi haknya. _____________________________________ BAB 1 : KERINDUAN YANG MENDALAM Ningsih masih termenung memandangi ponselnya menunggu sang suami tercinta menghubunginya. Menopang dagu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk menggeser layar benda pipih itu. "Mas Danu, apa kamu nggak pulang lagi kali ini? Tapi Mas udah janji lho kalo lebaran kali ini mau pulang. Sudah lebih tiga tahun Mas merantau ninggalin aku sendirian di desa ini, aku sudah kangen banget sama Mas." Suara lembutnya terdengar lirih dengan wajah sendu. Perlahan butiran bening telah jatuh membasahi pipinya, mengalir di wajah cantiknya yang putih bersih. Ia terus membiarkan air matanya menetes jatuh di layar ponsel, membentuk genangan kecil, lalu menggelincir ke lantai. "Mas, sekarang tanaman hidroponik-ku sudah lima kali panen, tanaman bungaku semakin besar. Pohon belimbing yang Mas tanam di samping rumah juga sudah berbuah. Usaha keripik dan kue keringku juga alhamdulilah selalu laris. Apa Mas...." Celotehannya terhenti saat layar ponsel berubah menyala dan berbunyi nyaring. Wajah sendu itu seketika berubah menjadi senyum lebar melihat nama yang muncul di layar, Suamiku Pahlawanku. Ia menggeser layar ke arah kanan, panggilan pun terhubung. "Assalamu'alaikum, Mas?" Dengan suara serak ia menjawab telepon. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Bagaimana kabarmu?" Terdengar sebuah suara sangat lembut dari seberang, suara yang selalu membuatnya rindu. "Alhamdulillah baik, Mas. Mas sendiri bagaimana kabarnya?" Begitulah ia dan Danu menjalin hubungan, meskipun terpisahkan jarak yang sangat jauh dan waktu yang sangat lama, mereka tetap berusaha membina rumah tangga yang harmonis. "Dik, kamu sabar dulu ya, puasa dan lebaran kali ini Mas belum bisa pulang. Kemaren udah rencana mau pulang, tapi karena wabah penyakit itu, semua penerbangan dihentikan," ucap Danu dengan nada menyesal. "Iya, Mas. Tapi segera pulang setelah penerbangan di buka lagi ya," rengeknya manja. "Iya, Dik. Kamu tenang saja. Kamu mau dibawain apa? Buku, camilan, baju, atau?" ucap Danu menghibur. Kalau sudah begitu, Ningsih tidak bisa marah atau kesal lagi. Percakapan akan mengalir sebagaimana biasanya. Bercanda, tertawa, saling melepas kerinduan. Setelah puas, telepon pun segera di tutup. Ningsih menghempaskan ponselnya ke atas kasur dengan wajah kesal, kali ini Danu sudah berjanji akan pulang tetapi karena wabah ini akhirnya rencana menjadi batal. Danu adalah sosok suami sekaligus ayah bagi Ningsih. Usia mereka yang terpaut sepuluh tahun membuat Ningsih merasa sangat dimanjakan. Saat ini usianya menginjak 22 tahun, sementara sang suami sudah 32 tahun. Di usianya yang masih sangat muda itu, ia harus terpisah dari suaminya untuk waktu yang lama. Selama lima tahun usia pernikahan mereka, tiga tahun belakangan dihabiskan dengan LDR karena sang suami merantau ke kota untuk memperbaiki perekonomian keluarga kecilnya. Artinya, kebersamaan mereka di desa itu hanya dua tahun. Selama berpisah, Ningsih tidak pernah berfikir macam-macam pada suaminya. Ia sangat mempercayainya. Meskipun tetangga di sekitar selalu membuat bisikan-bisikan yang membuat hatinya tidak tenang, ia selalu berusaha positif thinking dan senantiasa mengadu pada Yang Maha Esa atas segala gundah hatinya. Apalagi sang suami kerap memberinya nasihat dan buku-buku bacaan bernuansa islami hingga membuatnya mampu berhijrah seperti saat ini; mengenakan gamis longgar dan jilbab lebar yang menutupi seluruh tubuhnya. Bagaimanapun, Ningsih masih sangat muda, jiwanya masih sering labil jika tidak selalu diarahkan oleh Danu. "Ningsih, suamimu pasti punya simpanan di kota. Coba pikir ya, sudah dua tahun tidak pulang. Padahal gampang saja tinggal izin sama kantornya apa tidak bisa!" ucap Bu Tati ketika sesama ibu-ibu kumpul-kumpul dua tahun yang lalu mencoba memanasi hatinya. "Iya, Ningsih. Tuh liat Renggo! Katanya kerja... eh ternyata malah bawa anak istri lagi pulangnya. Kan kasian Diah, sudah rumahnya kecil begitu, suaminya malah bawa anak istri baru." Bu Siska menimpali membuat semakin gundah. Ningsih hanya bisa menangkis semua tuduhan-tuduhan buruk tentang suaminya dengan kalimat-kalimat positif yang menenangkan dirinya sendiri. "Ibu ini bikin panik saja, aku percaya kok sama Mas Danu. Aku yakin dia tidak seperti semua laki-laki yang ibu-ibu bicarakan itu," ucapnya membela sang suami setiap kali para ibu-ibu menggoyahkan kepercayaannya. Begitulah kehidupan di desa. Ketika ada kesempatan untuk berkumpul, pasti selalu ada gosip hangat yang dibicarakan. Oleh karena itu, Ningsih selalu menghindari perkumpulan yang berujung gosip seperti itu. Ia lebih suka membaca buku-buku yang dikirimkan Danu dan menghabiskan waktu dengan berkreasi aneka masakan dari buku resep dan juga menanam berbagai tanaman sayur dan buah dengan metode hidroponik yang juga bukunya dibelikan Danu. Hasil kreatifitasnya tidak sia-sia, kurang lebih sudah lima kali dia panen sayuran hidroponik. Sebagian ia konsumsi sendiri, sebagian dibagi-bagi ke tetangga. "Itung-itung buat menutup mulut ibu-ibu agar tidak mengobral cerita buruk tentang suamiku, hihihi." Begitulah Ningsih membatin. Sebagian lagi ia jual ke tetangga atau dititipkan ke para pemborong sayuran di desa mereka. Hasilnya lumayan, bisa untuk menutupi pengeluaran kebutuhan sehari-hari, bahkan bisa dibilang uang pemberian suaminya sebagian besar ditabung. Adapun hasil kreasi dapurnya berupa aneka keripik dan kue kering sederhana. Karena ia memang pandai memasak dan meracik, hasil kreasi dapurnya itu memiliki cita rasa yang khas sehingga disukai pel anggan. Ia mengemas produknya secara ekonomis sehingga bisa dijual dengan harga murah. *** Beberapa hari berlalu seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Ia disibukkan dengan aneka tanaman hidroponik, bunga-bunga, dan makanan yang dijual. Siang itu, ia menyalakan televisi, melihat perkembangan berita terbaru. Ia memang sangat jarang menonton, terlalu banyak kesibukan lain sehingga waktu menontonnya nyaris tidak ada. Perkembangan korban wabah penyakit sangat pesat, setiap hari selalu saja ada korban yang meninggal. Hingga saat ini, terkonfirmasi sejumlah 45.123 jiwa terinfeksi, 5.167 jiwa sembuh, dan 1.011 jiwa meninggal dunia. Mendengar News Anchor membacakan berita sebegitu menyeramkan, membuat Ningsih membayangkan seperti apa kira-kira perkembangan wabah penyakit di tempat suaminya bekerja. Sebab untuk di desa, wabah penyakit itu nyaris tidak terlihat. Masyarakat tetap melakukan aktifitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pemerintah tetap menganjurkan untuk mematuhi protokol kesehatan. Di tengah lamunannya, ia dikejutkan oleh dering hebat ponselnya. Itu artinya Danu menelepon. Ia memang sengaja membuat pengaturan agar volume dering maksimal khusus untuk Danu agar tidak pernah terlewat ketika sang suami menelepon. Ia mematikan televisi, lalu menjawab telepon. "Sayang, tanggal dua puluh ini ada penerbangan darurat, dan aku berhasil terdaftar yang bisa ikut mudik!!!" seru Danu tiba-tiba membuatnya syok seakan tak percaya. "Betulan, Mas?" Hanya itu kalimat yang berhasil ia ucapkan, dadanya tiba-tiba panas dan seakan tercekat, bulir-bulir bening berjatuhan dari kedua bola matanya, kemudian suara isakan pun terdengar. Ia tidak sanggup lagi menahan tangisnya. "Iya, benar. Kamu sabar ya, jangan nangis dong.Tapi aku tidak bisa bawa oleh-oleh apa-apa karena penerbangan darurat hanya bisa bawa diri saja. Sedangkan pakaian aku tidak bawa," ucap Danu. "Tidak apa-apa, Mas. Mas pulang kali ini adalah hadiah terbaik buat aku," sahutnya sambil terisak. "Ya udah, aku masih ada yang mau diurus dulu, kamu jaga diri ya.... Assalamu'alaikum." Danu mengakhiri telepon. "Iya, Mas. Wa'alaikumsalam warahmatullah," jawab Ningsih. Ningsih terduduk antara senang dan sedih, bercampur aduk dalam hati membayangkan kepulangan suaminya yang sangat dirindukan. Suara sang suami yang mengatakan akan pulang terus terngiang di telinganya, rasanya enggan untuk dilupakan. Ia menarik napas, menetralisir hatinya yang menjadi tak keruan akibat berita yang sangat menggembirakan barusan. Bersambung... Terima kasih banyak semuanya... Kalian adalah penyemangat terbaikku... Love you all, big hug for you all... See you at the next chapter... Oya, lagi ada give away 01-30 Sept 2021, berhadiah pulsa ratusan ribu, yuk ikutan, cek di beranda sss dan Ig aku ya @winafaathimah Note: ✓ Tekan Love untuk yang belum tekan ya, yuk beri semangat penulis dengan love-nya. ✓ Ramaikan komentar biar aku makin semangat update, klik tanda kotak di ujung bawah. ✓ Bantu share sebanyak-banyaknya ya. ✓ Terkait maraknya tindakan ilegal memperjualbelikan ebook/PDF novel online dan plagiarisme, aku buat note tambahan : Cerita ini hanya terbit di Platform Dreame dan Innovel, jika ada yang memperjualbelikan ebook/PDF novel ini atau menerbitkannya di luar Platform ini berarti tindakan ilegal yang wajib dilaporkan. Dan penjual maupun pembeli ebook/PDF ilegal dan plagiator tidak akan mendapat keberkahan di dunia dan akhirat, karena sangat merugikan penulis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD