Mimpi Yang Terulang

1371 Words
Aku sudah hidup selama tujuh belas tahun lamanya, semua yang kulakukan tak satupun spesial, aku hanya hidup seperti biasa. Memangnya hidup seperti biasa itu seperti apa? Ya ampun... Aku tidak mengerti lagi, kenapa pikiranku kacau sekali. Aku sudah lama hidup seperti ini, tapi kenapa aku baru merasa bosan? Iya! Sudah pasti karena suara itu, suara itu menstimulasiku sehingga aku merasa bosan. Jika aku melupakan hal itu sudah pasti kebosananku akan hilang dan hariku akan berjalan seperti biasanya. Ini masih kelas yang sama, bangku yang sama. Iyalah bego... Memangnya akan berubah kelas? Ingat kau sudah di kelas tiga, tak kan ada kenaikan kelas lagi, dan kau pikir kau bisa berpindah bangku seenaknya? Astaga... Pikiranku benar-benar kacau hari ini. Aku terlalu banyak berpikir, ini pasti karena mimpi itu, ya... Itu pasti penyebabnya. Aku harus berhenti berpikir atau aku akan dipaksa untuk merasa bosan. Kehidupanku adalah kehidupan orang biasa, ya... Tidak akan ada yang spesial, aku tidak lebih dari karakter sampingan. Bukankah karakter sampingan itu masih memiliki peran? Seperti bicara pada karakter utama sesekali, kalimat yang ku ucapkan setiap hari adalah memberi salam dan menutup salam. Disekolah ini tak satupun yang bisa ku ajak bicara dan mengajakku bicara. Bahkan setelah kelas tiga?! Kau bercanda? Kenapa aku baru menyadari ini? Ini bukan lagi menyedihkan namanya, tapi sengsara. Baiklah... Sekarang aku duduk ditangga yang terletak di samping sebuah lapangan bola, aku berani bertaruh, jika hidupku dituangkan ke dalam manga maka sang author akan memberikan diriku gambaran... Ya kalian taulah, sebuah gambar orang yang ukurannya kecil karena jauh dari screen nya. Bahkan authornya akan menggambarku tanpa wajah, mulut, mata dan hidung tak perlu digambar karena karakter yang tidak penting, Jika karakter yang dimaksud itu adalah aku, mungkin author akan cukup menggambarku seperti tanda yang biasanya ada di toilet, itu loh... Yang membedakan toilet perempuan dan toilet laki-laki. Ya! Mungkin penggambaranku akan seperti itu. Apa dia bahkan akan menggambarkanku sebuah baju? Jika bicara soal karakter utama, itu haruslah seorang yang tampan. Setidaknya penggambarannya tidak buruk. Seperti pria tinggi yang menggiring bola itu contohnya. Eh? Aku nampak tak asing dengannya... Ah! Iya. Dia pria yang duduk dibangku belakang pojok di dekat jendela. Cihh! Bahkan dari tempat duduknya saja sudah menunjukkan dia adalah karakter utamanya. Siapa ya? Guru biasa memanggilnya... Um! Hachigaya Reiki. Dia tinggi, parasnya juga tampan, dan jangan lupa dengan dua garis rambut yang menjuntai di dahinya sampai ke hidungnya. Bagian itu saja sudah mirip banyak karakter utama dalam manga, ah.. Sudah pasti dia. Dan untuk heroinenya, ya! Itu pasti gadis yang membawa botol air dan memegang handuk kecil disana. Yang melompat-lompat memberi dukungan pada Hachigaya. Kenapa bukan aku tuhan? Nih ya... Dari nama aja deh, namaku saja sudah Ichi (satu) ya Eishi. Dan namanya itu Hachi (delapan) gaya Reiki. Kalau kau memang berniat menjadikanku karakter tak penting dalam kehidupan ini, harusnya dalam takdir kau menamaiku Hachigaya Eishi saja. Ah... Lagi-lagi berpikir apa aku ini? Ya! Mungkin benar... Ini karena aku sudah merasa bosan, aku bosan dengan siklus hidupku yang berjalan begitu-begitu saja, aku butuh hal lain, hal baru yang segar. Tidak seperti mencoba duduk diluar di bawah teriknya matahari sambil menyaksikan orang lain bermain bola, dan berpikir bahwa hidup orang lain lebih baik daripada hidupku. Mungkin orang lain tau cara menikmati hidup mereka, mungkin juga akulah yang tidak tau menikmati hidupku. Yang jelas di kehidupanku saat ini... Aku sudah merasa bosan. Jika aku dapat mimpi itu lagi... Mungkin aku akan mencoba menjawabnya. Aku memukul dahiku karena aku merasa tidak percaya dengan yang aku pikirkan. Bukankah itu hanya sebuah mimpi, itu hanya akan datang sekali dan tak pernah kembali. “Krikk krikk krikk” Satu-satunya suara yang kudengar adalah suara jangkrik di malam hari, aku menutup jendela kamarku rapat-rapat sehingga angin tidak masuk. Jadi aku tidak mungkin mendengar suara hembusan angin, paling tidak aku hanya mendengar suara jendela yang bergemeretak karena dihempas oleh angin laut yang kencang. Tak ada bunyi notifikasi yang akan berbunyi dari ponselku, tak ada pacar, tak ada teman, bahkan orang tuaku jarang menelponku. Malam yang sunyi ini lagi. “Apa kau bosan?” “Apa kau bosan? “ “Apa kau bosan?” Fuahhh!! Aku tersentak dari tidurku, aku terbangun dengan keringat dingin, dan nafas yang hanya separuh. Matahari belum mengenai mataku, bukan waktunya aku terbangun, ini masih terlalu pagi. Oh iya! Mungkin orang tuaku belum berangkat kerja. Dengan senyum yang tersemat di wajahku aku berlari secepat mungkin keluar kamar. Aku berhenti di tangga dan melihat kebawah... Telur kenyal itu masih berasap. “Ctttak! “ Suara pintu barusan? Apakah ayah dan ibu sudah berangkat sepagi ini? Apakah mereka selalu seperti ini? Demi apa? Aku terduduk diatas tangga dengan kepala yang kusandarkan pada dinding. Awalnya itu hanyalah ingus, ingus yang tidak kental, cair seperti air. Lalu air mataku mengalir ntah bagaimana. Bahkan di hari libur mereka masih tetap bekerja, meskipun mereka berangkat lebih siang... Itu hanya akan memberiku waktu lima menit. Aku bahkan tidak sempat untuk membicarakan hasil belajarku disekolah, lalu kenapa repot-repot membiayaiku sekolah? Uang sebanyak apa yang ingin kalian cari? Hal seperti itu... Aku tidak membutuhkannya! Aku membenturkan kepalaku ke dinding berkali-kali. Ntah kenapa aku teringat dengan mimpi aneh itu. Aku mengusap air mataku juga ingusku, kupakai tanganku, karna tak sepenuhnya bersih kugunakan juga bajuku. Aneh! Mimpi itu kembali lagi, apa mimpi memang bisa dirasakan dua kali? Mimpi yang sama? Apakah itu mungkin? Kenapa ya? Kenapa itu bisa terjadi? Apa aku terlalu banyak memikirkannya? Jadi mimpi itu kembali lagi. Tidak... Ada hal yang aneh dari mimpi itu. Mimpi itu menanyakanku apakah aku bosan? Apakah aku bosan? Apakah aku bosan? Kalimat yang sama diulang beberapa kali. Aku tidak menjawab hal itu. Jika aku menjawabnya... Apa yang akan terjadi? Hah... Semua itu sudah berlalu, tidak mungkin mimpi itu datang untuk ketiga kalinya. Semua itu pasti kebetulan, ya! Tidak ada hal lain lagi yang bisa menjelaskannya selain menganggapnya sebagai sebuah kebetulan. Hari ini ku jalani seperti biasa, dari rumah ke stasiun, dari stasiun ke sekolah, ke stasiun lagi sampai akhirnya sampai dirumah. Ya! Tentu di sore yang sama, tapi ntah kenapa malam ini jadi berbeda. Bukan soal suara jangkrik atau jendela yang bergemeretak, bukan juga karena aku tiba-tiba mendapat pesan dari seseorang. Malam ini beda, jantungku berdebar kencang memikirkan mimpi itu, padahal aku sudah yakin kalau itu tidak mungkin datang lagi dan sudah memantapkan hatiku untuk menganggap semua itu adalah kebetulan. Ah... Tapi tetap saja hati ini tegang... Bagaimana kalau mimpi itu datang lagi? Bukankah sudah diputuskan? Aku akan menjawabnya. “Krik krik krik” Ditemani suara jangkrik aku menatap langit-langit, aku jadi susah tidur... Tanganku kuletakkan di perutku sambil aku memainkan jari-jariku, pikiranku terbang ke awang-awang memikirkan sebuah jawaban dari pertanyaan itu dan kejadian yang mungkin terjadi setelah aku menjawabnya. Bukankah itu hanya mimpi? Lalu kenapa harus takut akan hal yang terjadi? Bukankah sudah pasti aku akan terbangun. Ya! Aku hanya akan memejamkan mataku dan memastikannya sendiri. Hitam.... Gelap! Benar! Mimpi ini benar-benar datang. Aku tak merasakan apapun, tak ada yang dapat ku pegang, tak ada yang bisa kutapaki, bahkan aku tak tahu seberapa jauh kegelapan ini di pandangan mataku. Baiklah.... Sebentar lagi, sebentar lagi sebelum suara itu menanyakanku. Aku sudah tidak takut seperti kemarin, aku sudah tenang. Siapapun kau.... Tanyakanlah apakah aku bosan. “Apa kau bosan? “ Ya! Pertanyaan itu sudah diajukan. “Apa kau bosan? “ “Ya! Aku bosan!” “Apakah kau tidak suka dengan hidupmu?” Eh? Pertanyaannya jadi berubah, apakah aku memang harus menjawabnya? “Apakah kau tidak suka dengan hidupmu?” “Ya! Ini sangat membosankan, setiap hal yang kulakukan terasa seperti berulang berkali-kali, sama seperti dirimu yang menanyaiku tiga malam ini. “ “Apa kau ingin mengulang hidupmu?” “Hah! Dan membiarkan semua ini terjadi lagi? Tentu saja aku tidak ingin.” “Apa kau ingin hidup baru?” “Tentu saja! Aku ingin hidup baru.” “Apa kau tidak mencintai kedua orangtuamu?” Dia terus menanyakan berbagai macam hal, sampai kapan dia akan berhenti bertanya? “Apa kau tidak mencintai kedua orangtuamu?” “Baiklah, apa kau bisa menggantikan mereka untuk menjawabnya? kurasa... Kau mengerti apa yang ku alami. Maukah kau menggantikannya? Apa kalian mencintaiku?” “Kau benar-benar sudah bosan.” “Baiklah... Apa kau ingin hidup yang baru?” “Jika kau berjanji ini tidak akan menjadi membosankan... Maka.... Kumohon!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD