Dua

1514 Words
“Ibu menginap kan?” tanya Anggita pada ibunya yang baru keluar dari kamar Bella. “Iya. Kamu mau pergi?” tanya ibu Anggita. “Mau ngegym nanti jam tujuh,” jawab Anggita. “Ya sudah pergilah, yang penting siapkan makan malam untuk Bella, takut dia terbangun nanti,” ucap ibu Anggita seraya berjalan ke balkon. Biasanya dia akan membaca buku di sore hari, pemandangan dari balkon cukup indah. Apartmen ini memang termasuk apartmen mewah. Yang dibelikan Calvin untuk Anggita dan Bella. Bahkan ada fasilitas Gym di apartmen ini juga, dan Anggita rutin menggunakannya satu minggu dua kali. Terkadang jika dia sangat stress dia ke gym seminggu penuh. Mengeluarkan keringat membantunya melepas penat. Menjadi penulis tak selamanya mudah, banyak hal yang membuat moodnya turun sehingga membuat kualitas tulisannya turun, meski dia sudah memiliki ribuan pembaca namun dia tak pernah mau memberikan sebuah karya yang asal-asalan. Terlebih saat membuat artikel, tak jarang dia pun memasukkan opini pribadinya, yang terkadang dia rundingkan dengan kenalannya yang merupakan tenaga ahli di bidangnya. Anggita mengurut pelipisnya, topik yang dia dapatkan untuk artikel kali ini adalah tentang dampak perceraian bagi psikologis anak usia balita. Dia memandang pintu kamar putrinya. Topik ini terlalu berat baginya. Dia merasa semua baik-baik saja, nyatanya ... dia mulai merasa curiga dengan tingkah laku Bella belakangan ini. Atau mungkin ucapan baik-baik saja sebenarnya hanya ada di benaknya saja? Sebuah mekanisme pertahanan bahwa dia pun sebenarnya runtuh, dunianya, dunia anaknya ikut runtuh karena hal ini? Anggita mengirim pesan pada editornya, menulis bahwa dia tak bisa mengangkat topik ini saat ini. “Baiklah, pilih topik lain yang saya email, namun tetap topik dampak perceraian harus di angkat bulan ini. Jadi kamu punya waktu untuk mengirim tentang itu.” Tegas. Itulah editor blog yang memang membuat blognya ramai dibaca dari berbagai kalangan. Namun dari tempat ini lah Anggita mendapatkan tambahan uang untuk kesehariannya. Sebenarnya uang dari Calvin pun sangat banyak, lebih dari cukup. Namun dia tak pernah menggunakan uang tunjangan itu untuknya. Dia selalu menabungnya dan hanya mengambil untuk kebutuhan Bella saja. Anggita mengambil topik lainnya dan mulai mengetikkan kata-kata untuk artikelnya. Dia pun melihat jam yang sudah menunjukkan pukul enam sore. Ibunya telah masuk ke kamar Bella, mungkin menemani Bella tertidur. Anggita memiliki waktu untuk bersiap ke Gym. Dia pun turun dengan memakai jaket olah raganya, menutupi legging dan pakaian khusus olah raga di baliknya. Rambutnya di kuncir tinggi, dengan tas yang disampirkan di bahu. Sesampai di tempat Gym, rupanya malam ini tempat itu cukup ramai, Anggita meletakkan tas dan jaketnya di loker khusus. Dia mengedarkan pandangan untuk melakukan pemanasan. Tampak olehnya Melissa, salah satu penghuni apartmen juga. Melissa merupakan ibu rumah tangga, kabarnya suaminya bekerja di sebuah pemerintahan namun Anggita belum pernah sekali pun bertemu dengannya meski sudah mengenal selama dua tahun. Melissa bilang suaminya lebih sering berada di luar negeri untuk urusan diplomatik, dia tidak bisa ikut karena anaknya yang seusia Bella tidak bisa diajak bepergian terlalu lama, terlalu merepotkan juga. Wajah Melissa cukup manis, kulitnya sawo matang yang justru membuatnya terlihat seksi eksotis. Meski memiliki uang namun dia tak mau suntik whitening atau sebagainya. Dia mencintai warna kulit alaminya. “Git!” panggil Melissa melihat Anggita yang berjalan ke arahnya. Anggita menyampirkan handuk di leher. “Sudah sampai dari kapan?” tanya Anggita. “Baru lima menit,” tutur Melissa. Seroang pria tinggi melewati mereka, pria berkaca mata dan tampak tampan itu berjalan lurus tanpa menoleh. Anggita memiringkan wajahnya. Dia baru pertama melihatnya. “Kenapa?” tanya Melissa seraya mengajak Anggita ke alat kosong yang tidak digunakkan, treadmill menjadi pilihan mereka. Sementara pria asing yang baru dilihatnya itu menuju ke alat cable machine untuk latihan beban. Setelah mengatur kecepatan, Melissa dan Anggita pun mulai berjalan di atas mesin treadmill. “Penghuni baru? Atau tamu?” tanya Anggita. Bertanya ke Melissa adalah hal yang paling mudah. Melissa bahkan hapal seluruh penghuni apartmen, dia memang paling sering berkumpul dengan para penghuni lain, bahkan dia terlibat di asosiasi penghuni apartmen, yang membantu menyebarkan kebijakan-kebijakan atau rapat antar anggota. “Namanya dokter Raiz, penghuni baru di lantai tujuh belas. Baru pindah beberapa hari ini, katanya dia bertugas di rumah sakit Bahagia,” tutur Melissa. “Rumah sakit bahagia? Dokter apa?” “Dokter anak, masih single, usianya tiga puluh tiga, sedang cari istri,” kekeh Melissa menyebutkan biodatanya. “Ish,” cebik Anggita. Melissa adalah salah satu orang yang paling getol menyuruhnya mencari suami. katanya biar dia lebih mudah bercerita tentang adegan ranjang. Menyebalkan memang! “Oiya tahun ini anakku mau TK di tempat anak kamu, nanti kita bareng ya,” ucap Melissa. “Ah akhirnya ada teman juga, selama ini aku paling enggak bisa bergaul di sekolah.” “Kamu punya dunia sendiri sih, di sini saja orang-orang lebih kenal ibu kamu dibanding kamu, huh!” cebik Melissa membuat Anggita tersenyum lebar. Tak menyangka dokter Raiz menatapnya dari kejauhan. Setelah gym bersama, mereka justru menuju restoran di lobby, setelah membakar lemak sepertinya mereka akan mengumpulkan lemak lagi. Rasa lapar tak bisa terbantahkan. *** Calvin membuka kemejanya, rasanya sangat lelah, seharian ini dia bolak balik Jakarta Singapore, bahkan malam ini dia masih berada di negara itu. Bisnisnya memang sedang berada di puncak kejayaan dan dia tak bisa mengabaikan begitu saja. Mungkin itu juga yang membuatnya bisa sedikit melupakan perceraiannya. Akan tetapi hari ini, dia bertemu lagi dengan mantan istrinya. Masih tampak cantik sama seperti pertama kali bertemu, meski dia tahu tatapan Anggita yang tak pernah sama lagi. Ponsel Calvin berdering, dia melihat nama pemanggilnya sang ibu. Dia menekan loud speaker ponselnya. “Ya, Mi?” tutur Calvin seraya duduk di ranjang hotel. “Hari ini kamu jadi kan ke sekolah Bella?” “Iya jadi, aku langsung kembali ke Singapore tadi,” jawab Calvin malas, memilih menyalakan televisi dengan remote di tangannya. Dia hanya mengenakan kaos singlet saja dengan celana pendek. “Anggita sudah punya pacar?” “Mana aku tahu sih Mi? mulai deh bahas yang enggak penting,” sungut Calvin. “Mami hanya penasaran saja, kamu usaha lagi dong bersatu lagi. Memangnya enggak kasihan sama Bella? Adik kamu saja sudah mau punya anak dua,” sungut ibu Calvin dari seberang sana. Calvin hanya mendengus. Adiknya hanya berbeda usia dua tahun dengannya dan dia perempuan. Dia sudah menikah sebelum Calvin menikah, wajar jika anaknya sudah mau dua, saat ini dia tengah mengandung usia tujuh bulan. “Aku mau nikah sama orang lain aja lah, Mi.” Calvin menggoda sang ibu. “Enggak! Mami enggak akan restuin kamu.” Jelas perkataan Calvin membuat ibunya kesal, dia pun memutuskan telepon itu. Calvin hanya tersenyum samar. Usahanya memutuskan pembicaraan berhasil. Ah rasanya sangat lelah. Mungkin berendam air hangat akan terasa sangat nikmat. Dia pun menuju kamar mandi, menyalakan dua kran ke arah bath tub sekaligus, kran air panas dan dingin. Dia juga menuangkan shower gel sehingga airnya menjadi berbusa. Setelah cukup banyak dia pun bangkit, membuka singlet dan celananya. Berjalan secara sensual untuk masuk ke dalam bak mandi air hangat itu. Desahannya keluar ketika tubuhnya memasuki air tersebut. Dia mulai menyabuni tubuhnya hingga ke pangkal paha. “Ahh, Gita,” desahnya lolos tak sadar. Dia memejamkan mata dan menikmati buaian air hangat itu. Mengapa nama tersebut tak dapat lepas dari ingatannya? Meski sudah sekian purnama berlalu tanpanya. *** Pagi hari ini Bella libur sekolah pasca pertunjukan kemarin. Dia masih memakai piyama tidurnya keluar dari kamar. Mengucek matanya dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Sepagi ini, Anggita sudah berkutat dengan laptopnya, semalam dia kemalaman berbincang dengan Melissa sehingga dia belum sempat mengetik cerita. “Mama, nenek mana?” tanya Bella. Anggita melebarkan tangannya, bersiap menyambut Bella yang memeluknya dan duduk di pangkuan. “Nenek pulang sayang, tadi pagi. Kamu mau sarapan?” tanya Anggita. “Mau sereal, kayak di tv,” jawab Bella. Anggita menarik napas panjang. “Kan kamu tahu kamu enggak boleh makan sereal, makan nasi saja ya, sama sayur. Atau mau makan buah potong?” ujar Anggita. “s**u saja,” putus Bella. Anggita menggendong Bella dan mendudukkan di sofa, Bella berbaring di sofa. Sementara Anggita membuatkannya s**u khusus miliknya. Karena memang perut Bella yang tidak bisa sembarangan mencerna produk tanpa penelitian lebih lanjut. Selain membuat s**u, Bella juga menggoreng kentang yang memang telah dia sediakan. Tidak mudah memberi makan Bella mengingat penyakitnya. Setelah menyerahkan botol s**u pada Bella, dia pun meletakkan kentang goreng di meja. Bella menyusu sambil menonton televisi. “Mama sambil kerja ya,” ucap Anggita. Bella sudah tahu pekerjaan ibunya, dia hanya berdehem seraya melanjutkan minum s**u di botolnya. Dia tak bisa lepas dari benda itu. Setelah menyelesaikan mengetiknya, Anggita pun bangkit. “Mandi yuk,” ucap Anggita. “Enggak mau.” “Nanti habis mandi, kita video call papa, bagaimana?” bujuk Anggita. Barulah senyum Bella terbit. Dia pun langsung berdiri dan bersiap mandi, bahkan dia berlarian menuju kamar mandi. Anggita menggeleng, dia mengirim pesan pada mantan suaminya itu. “Setengah jam lagi, aku video call ya, Bella ingin bicara,” tulis Anggita. Sebuah pesan balasan dari Calvin yang mengatakan ok membuat Anggita bersungut. Anggita tidak tahu bahwa di negara seberang sana Calvin tengah membicarakan kontrak serius dan dia harus mempercepat pembicaraannya demi putrinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD