Sekolah Baru

1272 Words
Kabut pekat menyelimuti, hawa dingin menyergap. Pandangan Vio mengabur, tapi ia masih bisa melihat bayangan dua orang yang sangat dicintainya. "Mama," panggil Vio. "Oma." Mata Vio berkaca-kaca, ia menerjang kabut menghambur ke arah dua orang itu. Tapi yang terjadi hanya angin yang berhasil Vio dekap. Vio mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok keduanya yang tiba-tiba menghilang. "Mama, Oma!" teriak Vio, suaranya bergema di tengah malam. "Jangan tinggalin Vio sendiri, Vio takut," cicitnya. Vio berputar, matanya terus mengedar mencari-cari sosok mama dan omanya. Tapi sepertinya sia-sia, mereka menghilang. Vio terduduk lemas, meratapi kesendiriannya. "Mama, Vio takut. Oma jangan pergi. Kenapa kalian tega tinggalin Vio sendirian." Vio menutupi wajahnya, tangisnya pecah. "Viona." Suara merdu itu menginterupsi Vio. Vio menghentikan tangisannya, kepalanya mendongak mencari arah suara yang memanggilnya. "Viona Sayang." "Mama, Oma," gumam Vio saat melihat sosok dua perempuan mengenakan gaun putih, berdiri tak jauh darinya. "Mama, Oma." Vio beranjak berdiri, matanya berbinar. "Maafin mama sama Oma ya Sayang. Kami harus pergi," ucap wanita muda itu. "Mama mau ke mana?" Vio berjalan mendekat. "Mama gak boleh pergi. Mama gak boleh tinggalin Vio sendiri. Mama ...." Belum sempat Vio menggapai keduanya, bayangan itu tiba-tiba menghilang digantikan asap putih. "Mama ...." "JANGAN PERGI!!!" teriak Vio, matanya terbuka lebar dengan keringat bercucuran di dahi. Vio mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, ia berada di kamarnya. Lagi-lagi Vio mengalami mimpi buruk. Sudah seminggu semenjak kematian oma, wanita yang mengasuh Vio sejak kecil. Rasa kehilangan membuat Vio selalu diliputi kesedihan, hingga mimpi-mimpi buruk itu datang setiap malam, membuat Vio gelisah dalam tidurnya. Vio berjalan menuruni tangga, langkahnya terhenti saat ia tiba di ruang makan. "Kamu sudah bangun?" sapa seorang wanita yang sedang menyiapkan sarapan. "Duduklah, mama sudah buatkan sarapan." Vio mengabaikannya, ia melanjutkan langkahnya menuju dapur. Mengambil segelas air dingin. "Pagi," seru seorang gadis, wajahnya tampak ceria. "Pagi, Viona," sapa gadis itu. Lagi-lagi Vio mengabaikannya, ia hanya melirik sekilas gadis itu. Gadis yang seumuran dengannya. Vio hendak kembali ke kamarnya, namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika seseorang berjalan ke arahnya. "Duduklah, ada yang mau papa obrolin sama kamu." Pria itu tersenyum tipis pada Vio. Vio tak menyahut, tapi ia menurut untuk duduk. Mulutnya masih bungkam ketika ia duduk berhadapan dengan pria itu yang ternyata Dimas, papanya. "Papa sudah urus kepindahan kamu, jadi hari ini kamu kemasi semua barang-barang kamu---" "Vio gak bakal pergi," sela Vio memotong ucapan papanya. "Viona, papa gak mungkin biarin kamu sendirian di sini----" "Udah biasa sendiri." Lagi-lagi Vio menyela ucapan papanya. "Viona, please. Kali ini saja jangan bantah papa. Ini amanat oma dan juga kewajiban papa buat ngerawat kamu." Viona mendengus. Ia menatap papanya dengan datar. "Papa tetep bakal maksa aku kan?" "Ya." "Kalau gitu terserah Papa." Viona berdiri dan pergi meninggalkan ruang makan. ------- Sepanjang perjalanan dari Bandung, Vio sama sekali tak bersuara, ia memilih memejamkan matanya saat papanya mengajak bicara. Hingga akhirnya mereka tiba di Jakarta, di perumahan elit yang berada di kawasan Kuningan. Vio turun dari mobil, menatap rumah mewah yang ada di depannya. Rumah yang mungkin akan jadi neraka baginya. "Ayo Viona." Suara papa menyentak Vio dari lamunannya. Vio berjalan di belakang papanya, sang papa terus berbicara memberitahu Vio setiap bagian rumah. Lalu membawa Vio ke lantai dua. "Ini kamar kamu." Vio menatap ruangan kamarnya. Besar dan sangat mewah. "Kamar Keyla di sebelah, kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong Keyla. Kamar papa ada di atas." "Hm." Vio hanya bergumam, malas menanggapi. Ia berjalan ke jendela, membuka jendela penghubung balkon. "Bagus bukan?" Vio menoleh dan mendapati papanya sudah berdiri di sebelahnya. "Biasa aja." Vio berbalik, kembali ke tepi ranjang. "Aku capek mau tidur." Sang papa tersenyum tipis, berjalan mendekati Vio. "Yaudah, kamu istirahat ya. Karena besok kamu udah mulai sekolah." Vio mengangguk. Papa Vio hendak mencium keningnya, tapi Vio refleks menjauhkan diri. Sadar akan penolakan, papanya hanya tersenyum kecut. "Kalau gitu papa keluar, good night." Papanya mengusap pelan kepala Vio, lalu berbalik menuju pintu. Selepas kepergian papanya, Vio berjalan ke arah balkon. Vio mendongak, menatap langit malam yang bertabur bintang. "Ma, Vio kangen mama," lirih Vio. Tanpa Vio sadari jika sang papa mengintipnya, ada rasa sesal menggerogoti. Sesak melihat putri kesayangannya berubah jadi gadis pemurung. "Maafin papa Vio." Keesokan paginya, Vio terbangun ketika mendengar ketukan pintu. Suara nyaring itu terus memanggil-manggil dirinya. "Viona, bangun. Vio, udah siang bangun." Vio berdecak, menutup telinganya dengan bantal. Dalam hati Vio menyumpah serapah Keyla yang sudah mengacaukan mimpi indahnya. Mengganggu suasana paginya. "Vio!!" Suara ketukan berganti dengan gedoran. "Viona, bangun. Nanti kamu telat!" Keyla terus menggedor pintu kamar Vio. Andai saja sang mama tidak menyuruhnya membangunkan Vio, Keyla tidak akan mau melakukan hal ini. Dasar kebo! Keyla mengerucutkan bibirnya, kesal karena Vio tak kunjung bangun juga, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. "Belum bangun juga?" Keyla menoleh saat mendengar suara papanya. Ia menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Biar papa yang bangunin, kamu sarapan gih. Nanti kesiangan." "Iya Pa." Keyla pun turun ke bawah. Dimas menghela napas sejenak, sebelum mengetuk pintu kamar Vio. "Viona, bangun." Tak ada jawaban, Dimas pun kembali akan mengetuk pintu kamar Vio tapi tiba-tiba pintu terbuka. "Viona." "Aku udah bangun," ucap Vio saat membuka pintu. "Siap-siap hari ini papa antar ke sekolah baru kamu." "Hm." Vio sudah akan menutup kembali pintunya, ketika sang papa menahannya. "Apa lagi?" "Papa tunggu di bawah, jangan lama-lama." "Iya." Vio segera menutup pintunya. "Dasar bawel," gerutu Vio. Pagi ini cuaca begitu cerah, matahari bersinar dengan teriknya. Vio berjalan mengikuti papanya, menelusuri koridor sekolah barunya. Mata Vio bergerak bebas, memperhatikan sekelilingnya. Kebetulan bel belum berbunyi, jadi banyak anak masih berkeliaran di depan kelas. Langkah Vio terhenti saat tiba di depan ruang kepala sekolah. Vio pun masuk mengikuti sang papa. Vio tak mendengarkan apa yang dibicarakan papanya dengan kepala sekolah, ia sibuk mengamati ruangan kepala sekolah yang sangat mewah. Banyak piala berjejer di dalam lemari besar. "Viona." Panggilan sang papa mengalihkan perhatian Vio. "Ayo." Vio mengangguk, beranjak berdiri mengikuti papanya ke ruang guru. Setelah berbicara dengan wali kelas Vio, papanya pamit ke kantor dan di sinilah Vio berdiri kaku di depan kelas. "Silahkan Vio, perkenalkan diri kamu," kata bu Meli selaku wali kelas X IPA 2. Vio mengangguk. "Perkenalkan nama saya Viona Larasati, kalian bisa panggil saya Vio. Saya pindahan dari Bandung." "Kamu bisa duduk di sana." Bu Meli menunjuk bangku tengah yang kosong. Vio pun segera menuju ke bangkunya. Vio menoleh ketika cewek di sampingnya mengajaknya berkenalan. "Kenalin gue Reva." "Vio." Vio menjabat uluran tangan Reva. Setelah itu Vio kembali menatap ke depan, mengikuti pelajaran dengan tenang. Hingga suara bel istirahat berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar. "Kantin yok," ajak Reva. "Em ...." "Udah ayok." Viona tak bisa mengelak ketika Reva menyeret lengannya. Mau tidak mau Vio mengikuti Reva ke kantin. Vio benci keramaian, kepalanya berdenyut melihat banyak orang dan suara-suara mereka saling bersahutan memenuhi gendang telinganya. Harusnya tadi ia menolak saja saat Reva mengajak ke kantin. "Reva!" Reva celingukan mencari orang yang memanggilnya. "Hai." Reva melambaikan tangannya saat melihat teman-temannya duduk di bangku paling ujung. "Ayok, gue kenalin ke teman-teman gue." Vio tersentak saat Reva kembali menarik lengannya, membawanya ke bangku paling ujung. Vio berdiri kaku ketika tiba di hadapan teman-teman Reva. Dilihat dari bed yang terpasang sepertinya mereka senior. Vio memperhatikan satu persatu teman-teman Reva, cewek dan cowok berkumpul jadi satu. "Kenalin temen baru gue, Viona," ucap Reva memperkenalkan Viona pada temannya. "Hai, gue Bagas." Vio tersenyum tipis pada cowok bernama Bagas. "Gue, Arga." "Bella." "Sam." "Reyhan." "Agata." Satu-persatu menyebutkan nama masing-masing, namun hanya satu orang yang tidak melakukannya. Cowok itu justru menatap Vio dengan tajam, pandangannya seolah mengintimidasi Vio. "Dia Levin. Emang orangnya begitu," bisik Reva. Vio mengangguk, ia berusaha mengabaikan Levin tapi tatapan cowok itu membuatnya risih. Ia terus menatap Vio tanpa berkedip. Ada apa dengan cowok itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD