Akila

1746 Words
Untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini? Apakah untuk merasa sendiri dan kesepian? Ataukah untuk terus membunuh dengan keji semasa hidupku? Jika boleh memilih, aku lebih baik tidak dilahirkan. Namun, apabila tidak memungkinkan, beri aku kesempatan memutar waktu. Beri aku kesempatan kembali ke masa lalu agar ras yang hina ini tidak pernah terlahir di dunia. Akan kubunuh akar dari ras ini, sehingga peperangan tidak terjadi lagi. Atau mungkin aku seharusnya terlahir dengan lingkungan berbeda dan ras yang lain, seperti anak-anak lain yang diberikan segala kemudahan dalam hidup mereka. Mereka yang terlahir sebagai ras terhormat pasti sangat bahagia, berbeda sekali denganku yang hanya dilahirkan sebagai ras pembunuh. Dari generasi ke generasi peperangan ini tak kunjung usai. Kami terus membunuh hanya untuk mendapatkan gelar Sang Penakluk. Terus bermandikan darah manusia hanya untuk mematuhi perintah mereka yang terhormat. Dan kami hanya alat bagi mereka yang berwibawa.[1] Hei, aku juga manusia! Aku punya perasaan dan jiwa seperti kalian! Namun, beginilah ras Akila. Kami adalah simbol keganasan manusia terakhir yang masih bertahan sampai saat ini. Kami banyak memenangkan peperangan di berbagai belahan dunia, sebab sejak kecil kami dilatih untuk menjadi keji dan ganas. Tidak mengenal apa itu perasaan bersalah. Tidak mengenal apa itu kasih sayang. Kami bahkan tidak terlahir dari perasaan kasih sayang. Kami terlahir dari nafsu para lelaki yang sedang ingin melakukannya dengan wanita mana pun; selama mereka sesama ras Akila.[2] Kami tak punya ayah, bahkan tak tahu siapa ayah kami. Kami hanya mengenal ibu kami. Setelah berumur lebih dari lima tahun, kami ditinggalkan ibu kami ke medan perang. Tak peduli hidup atau mati. Kami adalah makhluk paling kesepian di dunia ini. Tahun 2500 adalah puncak kehancuran bagi manusia. Peperangan terjadi di seluruh dunia. Rumah-rumah dan bangunan mewah telah rata dengan tanah. Bumi menjadi gersang dan menjadi lautan darah.[3] Populasi manusia hari demi hari kian berkurang. Atas kekacauan itu, maka terlahirlah ras Akila sebagai simbol dari kekejaman dan merupakan senjata bagi para manusia terhormat. Dengan membunuh, kami bisa bertahan hidup di bawah kekuasaan orang berwibawa atau para petinggi. Selama kami tidak membangkang dan hidup sesuai aturan mereka, kami tidak akan mati kelaparan. Kami ibarat burung dalam sangkar. Kami hidup di sebuah hutan yang dibuatkan khusus para orang terhormat atau petinggi kota. *** Hari ini, usiaku genap 20 tahun. Itu artinya aku harus sudah siap untuk diikutsertakan ke wilayah peperangan. Tentu saja untuk berperang dan menjadi lelaki sejati menurut pandangan mereka. Membunuh dan membunuh. Hanya demi kedamaian mereka. Hanya demi memperebutkan gelar Sang Penakluk dari mereka. Tidak mengherankan jika membunuh dapat menjadi hobi kami. Peperangan yang aku maksud terjadi antara berbagai kota yang tidak tunduk kepada kebijakan para petinggi atau orang berwibawa. Namun, peperangan terkadang merupakan bentuk perlawanan dari beberapa pemberontak. "Hei, kamu! Sebutkan nomormu!" perintah salah satu pria berwibawa padaku. "Akila666." Kami memang terlahir tanpa nama. Nomor berarti kode yang telah diberikan kepada kami sejak lahir dan tertera di telapak tangan kami. "Jadi, hari ini kamu sudah genap berusia dua puluh tahun." Pria berkumis itu segera maju mendekat padaku, "Apa kamu sudah siap untuk berperang?!" tegas pria itu, menatap tajam. "Siap! Demi bertahan hidup di dunia yang telah hancur ini, aku siap membantai siapa pun yang berani merenggut kehidupanku!" "Bagus! Cepat ambil senjata dan masuk ke dalam pesawat!" perintahnya lagi. Pesawat yang membawa kami menuju medan perang segera mendarat di atas tanah luas yang gersang, dipenuhi dengan debu-debu bertebaran. Sebelum turun dari pesawat, di kejauhan sudah tampak sekumpulan orang berbaju corak-corak militer dengan membawa senjata dan perlengkapan lainnya. Oh, jadi mereka musuh yang akan kami hadapi, pikirku. Kelompok kami saat ini berjumlah 500 orang. Masing-masing dari kami belum memiliki pengalaman dalam membunuh, tetapi ras Akila tidak perlu pengalaman itu. Karena tidak memiliki belas kasihan, maka kami akan membunuh dan membabi buta tanpa pandang bulu. Persenjataan yang diberikan kepada kami adalah sebuah teknologi baru yang diciptakan orang-orang berwibawa. Senjata yang dapat bertransformasi menjadi senjata api ataupun pedang. Tentu saja senjata itu sudah dapat kami kuasai dengan berlatih semenjak usia 10 tahun. "Baiklah! Kalian semua segera mengambil posisi masing-masing. Pasukan musuh sudah mulai bergerak. Cepat ambil posisi!" komando seorang pemimpin militer pada kami. Duaaarrr! Terdengar suara ledakan yang baru saja diluncurkan tentara lawan. Ledakan tersebut menandakan bahwa perang telah dimulai. Aku berlari menuju bekas-bekas bangunan di medan perang. Aku berhenti tepat di balik sebuah batu besar, kemudian segera mengatur transformasi senjata untuk pertarungan jarak jauh. Dengan sedikit menyembulkan kepala, kubidik salah satu tentara pembawa tank yang sesaat lagi akan tiba di tempat aku tengah bersembunyi. Dengan napas yang tenang, kuatur jarak tembak dan besarnya ledakan yang akan dihasilkan senjata bernama Akila Own tersebut. Akila Own adalah sebuah senjata sepanjang 1 meter 15 sentimeter. Dengan tiga barrel (tempat keluarnya amunisi) berdiameter 10 sentimeter. Pada body sebelah kiri terdapat tuas untuk mengatur besarnya ledakan. Akila Own tidak memiliki pelatuk. Senjata ini akan bereaksi ketika grip digenggam seorang ras Akila dan mendeteksi adanya hasrat membunuh yang kuat. Senjata akan meluncurkan amunisi ketika ras Akila berkehendak menghancurkan target. Di belakang grip (handle atau pegangan) Akila Own terdapat sebuah tombol close combat yang berfungsi mentransformasikan senjata menjadi pedang atau katana untuk pertarungan jarak dekat. Dengan berkehendak memusnahkan lawan, maka Akila Own milikku pun menyemburkan cahaya biru menuju kelompok lawan. Beberapa musuh hangus terbakar beserta tank dan kendaraan lainnya yang berada di titik ledak Akila Own. Pasukan lawan sudah habis di sebelah kiri. Aku berpindah tempat menuju sisi kanan membantu kawananku yang tampaknya sedang bersenang-senang. Setidaknya bagi kami ras Akila, aksi yang kami lakukan ini adalah pesta yang berharga. Perang berlangsung cukup lama, tetapi tampaknya musuh sudah banyak yang gugur. Perang pun kini sudah menjadi pertarungan jarak dekat. Dengan Akila Own tentu saja kami tidak perlu repot membawa dua senjata. Kami hanya harus mengubah mode senjata menjadi pertarungan jarak dekat. Waktu yang dibutuhkan untuk mengubah mode senjata tidak begitu lama, mungkin hanya beberapa detik sejak pemilik senjata menekan tombol 'close combat' yang berada di belakang grip Akila Own (handle atau pegangan). Salah seorang prajurit lawan berteriak dengan tatapan yang penuh dengan hasrat membunuh sembari mengacungkan pisau, mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia berlari menuju kawanku, Akila341. Sementara itu, kawanku tak sempat menoleh ke belakang karena sedang sibuk dengan lawan yang ada di hadapannya. "Akila341! Lihat belakang!" Jarak antara diriku dan Akila341 cukup jauh, karena itu mungkin aku tidak akan sempat berlari untuk membantunya. Terlebih lagi karena musuh semakin berdatangan, kawananku yang lain tidak sempat memperhatikan siapa-siapa. Tampaknya Akila341 tidak mendengar pekikanku, tentara musuh berhasil menancapkan pisau mengilap yang panjangnya kira-kira 15 sentimeter tepat pada punggungnya. Ia terbatuk-batuk memuntahkan darah. Lawan yang tadi ada di hadapannya segera menancapkan pisau tepat di d**a Akila 341. Pada akhirnya, Akila341 sepenuhnya tidak sadarkan diri. Aku yang tadinya curi-curi pandang ke arah Akila341 ketika musuh masih berkerumun di hadapanku, segera berlari menggapainya. "Hei! Akila341! Sadarlah! Hei!" Aku menepuk-nepuk pipi rekan satu timku tersebut. Tidak berguna. Akila341 sudah tidak bernyawa. Amarahku mulai bangkit dan membuatku membabi buta. Satu per satu pasukan lawan kugorok. Meski begitu, mereka semakin berdatangan. Aku berusaha mencari sumber kedatangan musuh. Ternyata jauh dari medan perang terdapat sebuah pesawat besar yang menampung pasukan lawan. Jadi begitu! Anggota kalian ternyata tidak hanya segini, batinku sembari memandangi pesawat besar yang terus-menerus mengeluarkan puluhan prajurit. Aku berlari. Menjauh dari kerumunan. Mungkin meledakkan sumbernya adalah jalan satu-satunya agar musuh tidak terus berdatangan silih berganti. Aku segera mengambil posisi setelah mentransformasikan Akila Own ke dalam bentuk pertarungan jarak jauh. Kutarik tuas yang ada di body Akila Own, yang berfungsi untuk mengatur besarnya ledakan yang akan dihasilkan setelah mendaratnya amunisi. Kemudian, dengan hasrat memusnahkan seluruh pasukan lawan, setiap sel syaraf di otakku terasa mulai bekerja dua kali lipat. Darah-darah di setiap syarafku memompa dua kali lebih cepat. Kutajamkan tatapan, fokus, membidik pesawat besar yang merupakan sumber pasukan lawan. Akila Own siap meluncur dengan ledakan super besar. Kulepaskan. Pesawat meledak beberapa kali. Seluruh pasukan musuh hangus terbakar. Yang tersisa hanya para prajurit yang sedang bertarung dengan para Akila, tetapi berhasil dihabisi. Dengan begitu, kemenangan menjadi milik kami. Tak satu pun musuh tersisa. Para Akila bersorak-sorai atas kemenangan pertama yang telah kami ciptakan, mengetahui bahwa kami adalah pasukan pemula yang tidak memiliki pengalaman dalam medan perang. Meski telah menciptakan kemenangan, tetapi sangat disayangkan Akila yang telah gugur tidak dapat merayakan kemenangan ini. Tidak. Kemenangan ini bukan milik kami. Biarpun kami menang, tetapi musuh terbesar kami yang sebenarnya bukan mereka. Kami adalah senjata, dan tidak seharusnya kami bahagia atas kemenangan ini. Kemenangan yang sesungguhnya adalah kebebasan kami. Dan musuh yang sebenarnya adalah orang-orang berwibawa. Sebagian dari kami mungkin berpikir bahwa hidup saja sudah cukup. Tidak. Ini tidak pantas disebut kehidupan. Hidup yang sebenarnya adalah kebebasan dan merasa damai. Kami masih harus melakukan hal ini berkali-kali entah sampai kapan. Bumi telah hancur. Entah akan sampai kapan bumi ini dapat bertahan sampai melebur menjadi kepingan-kepingan kecil. Seperti apa hari-hari damai itu? Meski tak pernah merasakan bagaimana rasanya damai, tetapi di dalam mimpiku, aku selalu melihat dunia tanpa perang. Indah. Birunya laut dan langit. Hijaunya pegunungan. Putihnya salju dan awan. Menyegarkan. Jika sesuatu seperti itu hanya sebuah fantasi, lalu kenapa harus ada mimpi tentangnya? Tidak menutup kemungkinan bahwa dunia ini dulunya sangat indah, tentram, dan damai. Namun, diriku yang baru melihat dunia ini, tentu saja tidak tahu-menahu tentang bagaimana sejarah dunia hingga gempar dan riuh dengan perang. Orang-orang berwibawa rasanya memanfaatkan kami ras Akila demi kepentingan mereka sendiri. Bahkan, jika mereka tak memberi kami makan pun, kami masih bisa mencari makanan sendiri. Lalu, sekarang kami harus terus membunuh manusia yang tak mengikuti aturan orang berwibawa. Tanpa tahu siapa yang benar dan salah. Tanpa tahu salah dan dosa mereka, kami membunuh dengan kejam. Atas sebuah perintah kami menjalankan segalanya. Memenggal kepala mereka. Menusuk d**a mereka. Menggorok leher mereka. Menghancurkan tengkorak mereka. Benarkah manusia melakukan hal semacam ini? Ataukah hanya kami ras Akila yang melakukannya? *** Catatan: [1] = Di sini yang dimaksud adalah orang-orang berwibawa atau manusia biasa atau juga disebut dengan orang berwibawa yang sejak lahir sudah mendapatkan hidup layak dan mewah tanpa harus membunuh atau perang. Dan juga merujuk kepada orang berwibawa (para pemimpin atau petinggi di kota itu dan yang punya kendali penuh atas ras Akila). [2] = Kehidupan ras Akila seperti sekelompok hewan. Mereka makan jika lapar. Mereka minum jika haus. Mereka juga akan membunuh jika ingin. Begitu juga dengan hasrat seksual mereka. Ras Akila tinggal pada sebuah hutan yang dibuatkan khusus. Artinya mereka tidak bisa keluar seenaknya, kecuali saat mereka pergi berperang. Dan untuk memuaskan hasrat biologi mereka, tentu saja mereka akan melakukannya dengan wanita mana pun selama mereka sama-sama ras Akila. [3] = Saling membunuh dan peperangan yang terjadi di mana-mana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD