Kebangkitan

1774 Words
POV 3   “Cepat, halangi dia untuk masuk!” Sekompi prajurit bergerak cepat mengepung pria besar yang tengah mengamuk di Kota Eleusina. Lengkap dengan persenjataan seperti tombak, pedang, dan panah. Berusaha memaksa pria mengerikan tersebut untuk mundur dan meninggalkan Kota Eleusina. Akan tetapi, perlawanan semua prajurit ternyata justru membangkitkan hasrat terbesar pria tersebut untuk membunuh. Ia membabi buta kemudian. Memporak-porandakan seluruh rumah warga terdekat. Membunuh sekelompok prajurit yang mencoba untuk mendekat. “Kelompok pedang dan tombak, maju dan halangi dia!” Acacio memerintahkan dengan tegas. Acacio mengernyit, menandakan bahwa amarahnya telah sampai di ubun-ubun. “Kelompok pemanah! Gunakan racun untuk melumpuhkan lawan!” perintah lagi lelaki paruh baya dengan zirah logam tersebut. Tampak sangat gagah berani. Di tengah-tengah pertarungan, tiba-tiba pria besar yang lebih mirip seperti monster tersebut berhenti menyerang. Ia terdiam sejenak. Semua prajurit berpedang dan tombak ikut terdiam. Mereka merasakan sesuatu yang benar-benar mencekam. Detik demi detik berlalu, pria raksasa tersebut mengeluarkan aura yang aneh. Kedua mata pria raksasa berubah merah. Tanduknya yang semula melengkung dan pendek, mendadak berubah bentuk. Lurus dan panjang. Serta tajam. Acacio menelan ludah kasar. Ia bahkan sudah merasakan bahwa semua prajuritnya tidak akan mampu menghadapi makhluk raksasa itu. Faktanya, kekuatan yang ia rasakan dari musuh sama dengan seribu prajurit berzirah kompeten. “Apa yang harus kita lakukan sekarang, Sir?” tanya Antonius yang berada di sebelah kanan Acacio. “Kita terpaksa harus menggunakan serum yang diciptakan Dokter Elasmus.” Acacio menarik napas secara perlahan. Mencoba menenangkan diri dan memikirkan bahwa keputusannya sudah tepat tanpa kesalahan. “Kalau begitu—“ “Kita gunakan dosis yang paling tinggi,” kata Acacio memotong. “Kita harus berani mengambil risiko untuk menyelamatkan tanah kita. Masyarakat kita.” “Baik, Sir.” “Kau, ambillah semua serum dengan dosis yang paling tinggi. Sementara monster biadab itu selesai beregenerasi, aku akan menarik semua prajurit kembali.” “Siap, laksanakan!” Antonius berlalu pergi ke gudang penyimpanan senjata di bawah tanah. Mengambil semua serum yang diciptakan oleh Dokter Elasmus untuk menyamai tenaga seorang Akila. “Ada apa, Antonius?” tanya Dokter Elasmus karena melihat Antonius yang tergesa-gesa dengan napas terengah-engah. “Aku diperintahkan Acacio untuk mengambil serum Akila dengan dosis yang paling tinggi.” “Apa? Memangnya apa yang terjadi, Antonius?” Dokter Elasmus bahkan belum mengetahui bahwa ada makhluk raksasa yang mengamuk di belakang pintu masuk kota. “Ada pria besar yang sangat kuat sedang mangamuk, Dokter. Tenaganya menyamai ras Akila, tetapi tubuhnya kekar dan besar,” jelas Antonius. “Menyamai ras Akila? Kekar dan besar?” Lantas Dokter Elasmus membelalak mendengar penjelasan Antonius. “Kenapa, Dokter? Apa kau tahu sesuatu tentangnya?” “Kalau saya tak salah, dia adalah Gola. Seorang pria yang berasal dari ras Akila. Dia telah menjadi bahan percobaan semua profesor di laboratorium penelitian ras Akila Kota Plataia. Bahkan, jika kita menggunakan serum Akila dengan dosis paling tinggi, itu belum tentu bisa mengalahkan Gola. Sebab, Gola punya kemampuan khusus yang dapat menyebarkan racun ke senjatanya. Jika prajurit terkena senjata Gola, seluruh tubuh mereka akan berubah hitam dan melepuh menjadi abu.” “APA?!” Kini, giliran Antonius yang membelalak seakan tak percaya pada penjelasan Dokter Elasmus. “Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk bisa mengalahkan Gola, Dokter?” “Gola hanya bisa dikalahkan oleh seorang ras Akila murni. Namun, apabila tidak berhati-hati, seorang ras Akila murni pun bisa saja mati.” Dokter Elasmus mengambil serum di dalam sebuah kotak kayu. Beberapa serum berwarna merah dan biru, yang ditampung dalam wadah tabung silinder bediameter lima sentimeter. “Saya juga yakin bahwa Gola yang telah mengontaminasi tubuh Darien seperti di foto waktu itu.” “Jadi, ... sebegitu mengerikannya makhluk bernama Gola itu, Dokter?” “Benar. Dia merupakan prajurit pemusnah yang pertama kali berhasil dicangkok dari gen seorang ras Akila murni.” “Tapi ... kita tidak punya cara lain, Dokter. Kita harus mencobanya. Jika tidak, kita hanya akan mati konyol di tangan Gola.” “Benar apa yang kamu katakan, Antonius. Kalau begitu, pakai serum yang berwarna merah.” Dokter Elasmus kemudian memberikan serum berwarna merah kepada Antonius. “Serum ini merupakan serum yang sudah saya kembangkan. Semoga ini bisa meningkatkan tenaga serta kemampuan para prajurit.” *** “Saya telah kembali, Sir!” “Bagus. Selagi kita masih punya waktu, suntikkan serum kepada semua prajurit berpedang dan tombak.” “Baik, Sir!” Sementara makhluk raksasa bernama Gola beregenerasi, Antonius mengambil kesempatan untuk menyuntikkan serum Akila kepada semua prajurit. Dengan menyuntikkan serum dosis tinggi yang telah dikembangkan sesempurna mungkin oleh Dokter Elasmus, semua prajurit akan menyamai tenaga dan kemampuan Akila, meskipun juga ada beberapa kelemahan yang belum dapat dipastikan. Juga tenaga yang dapat diberikan oleh serum tidak bertahan begitu lama. Semua prajurit yang telah disuntikkan serum kemudian kembali dan mengepung Gola. Menunggu waktu Gola untuk menyerang. Sementara itu, Gola mengerang dan meraung. Ciri khas monsternya pun telah tampak. Di sekitar tubuhnya, ia dikelilingi aura hitam pekat. Seperti asap yang sangat panas. Semua prajurit pun merasakan panas yang dikeluarkan makhluk itu. Gola mengangkat langkahnya perlahan. Tangan kanan yang memegang senjata, ia ayunkan kemudian. Berputar di udara. “Waspada, semua!” Acacio berteriak. “Menjauh dari jangkauan senjatanya!” Semua prajurit yang berada di daerah jangkauan senjata Gola, lantas berlari menjauh. Akan tetapi, tidak seperti yang diduga. Gola melompat dan menjangkau beberapa prajurit di utara pintu masuk, mengayunkan senjata, hingga menghantam puluhan prajurit. “He! Incar bagian punggungnya!” Antonius berseru. Prajurit yang berhasil selamat berlari, lantas mengincar bagian punggung Gola. Sementara itu, prajurit pemanah tetap melesatkan anak panah. Ratusan anak panah menancap di seluruh tubuh Gola, tetapi ia mampu menyembuhkan diri, sehingga anak panah yang tertancap di tubuhnya tercabut dengan sendirinya. “Mustahil!” Acacio menatap dengan hampa. Tak percaya bahwa Gola bisa sekuat itu. Melihat bahwa prajurit yang terkena serangan Gola tubuhnya melepuh dan menjadi abu, lantas prajurit lain semakin dirundung ketakutan melihatnya. Tidak ada yang berani mendekat. Nyawa taruhannya dan mereka nyaris mati berdiri. “Sial! Bahkan auranya sangat mengerikan. Serum kita tidak bekerja.” Antonius mengumpat gusar. “Jika tetap seperti ini, prajurit kita akan habis tak tersisa. Monster biadab!” Acacio terpancing amarah. Melihat bahwa prajuritnya dibantai habis-habisan, dia diselimuti keputusasaan. Meskipun memimpin perang, tetapi Acacio hanya manusia biasa. Ia tidak akan mampu mengalahkan Gola sendirian. Lihat, berapa ratus prajurit telah dimusnahkan dalam waktu singkat oleh Gola? Seperti itulah, betapa mengerikannya makhluk tersebut. Dengan berat hati, Acacio mengambil sebuah keputusan yang menurutnya sangatlah pengecut. Ya, ia menarik semua prajurit. Meminta mereka untuk segera mundur dan menyelamatkan diri. “Semua prajurit! Kita mundur! Selamatkan diri kalian!” Antonius bahkan tidak percaya bahwa Acacio ternyata akan mengambil keputusan pengecut seperti itu. Akan tetapi, ia dan semua prajurit memaklumi karena memang tidak mungkin menyerahkan nyawa sendiri, dan mereka segera menjauhi medan pertempuran. Tidak hanya sampai di situ. Mana mungkin Gola membiarkan semua prajurit buruannya kabur dan selamat. Ke mana pun semua prajurit berlari, Gola melompat dan menghadang. Mengayunkan senjata, menghantam prajurit hingga melepuh menjadi abu. Tidak ada harapan yang tersisa untuk semua rakyat Kota Eleusina. Bahkan, Gola telah tiba di pemukiman penduduk. Menyerang dan menghancurkan rumah-rumah. Membumi hanguskan para anak kecil dan orang tua. Tak peduli lelaki ataupun perempuan. Gola lebih-lebih tak punya hati dan perasaan. Mata merahnya melambangkan hal keji tersebut. *** Puluhan helikopter pasukan militer Kota Plataia mendarat di Kota Eleusina. Tidak lupa juga bahwa beberapa petinggi ikut menyaksikan kehancuran kota dagang tersebut. Para pria berkumis pirang turun dari helikopter sembari tertawa renyah menyaksikan Kota Eleusina yang tengah berduka. “Ampuni kami, Tuan!” Seorang pria tua renta memohon sembari bertekuk lutut di hadapan pria berwibawa. Namun, pria berwibawa tak menggubris permohonan ampun pria tua tersebut. Lantas, seorang prajurit militer menendangnya hingga tersungkur penuh luka. Suasana hiruk-pikuk yang penuh dengan tangisan itu berlangsung beberapa waktu. Anak-anak menangisi orang tua mereka yang telah mati menjadi abu akibat racun monster Gola. Penderitaan para rakyat ditambah dengan kehadiran para petinggi Kota Plataia dan militernya. Memporak-porandakan batin mereka. Para penduduk yang mencoba lari ditembak mati, diterjang dan dihantam tanpa belas kasihan. “HENTIKAN!” Acacio yang baru saja datang ke pemukiman rakyat, lantas memekik murka. Ada perasaan bersalah karena merasa tidak becus menyelamatkan mereka yang tengah mati dan ketakutan. “Apa perlu aku menembaknya mati, Tuan?” tanya salah satu militer yang mengiringi pria berwibawa di sisi kanan. “Nanti saja. Kita lihat, apa yang bisa dia lakukan.” Pria berwibawa tersenyum meremehkan. “Hentikan perlakuan kejam kalian kepada rakyat-rakyatku.” Acacio menatap tajam pria berwibawa. “Oh. Kau memohon?” Pria berkumis tebal—yang merupakan salah satu petinggi Kota Plataia—berjalan makin dekat dan berhenti di hadapan Acacio. “Malang sekali. Kau bahkan tidak bisa melakukan apa-apa saat rakyatmu banyak yang mati. Jadi, masih pantaskah kau disebut sebagai pemimpin kota ini?” Lagi. Pria berkumis tebal bergelak tawa. “Diam kau! Dasar biadab! Akan kucincang kau—“ Belum sempat menyelesaikan kalimat, sebuah peluru menembus perut Acacio. Ia terdiam kemudian, menahan panas dan sakitnya peluru. “Bagaimana? Sakit, bukan? Kau ingin menentang kami lagi? Orang yang kau andalkan tidak akan bisa lagi membantumu, Acacio! Dia sudah mati di tanganku!” “Biadab—sekali ... kau. D-dasar iblis!” Napas Acacio tersengal. Tampaknya ia merasakan sakit yang teramat di bagian perut. “Anda baik-baik saja, Sir?” Antonius tampak khawatir. Ia kemudian menahan pemimpinnya yang hampir saja roboh. “Bagaimana jika kita menyerah saja, Sir?” saran Antonius dengan putus asa. “Tidak akan pernah!” jawab Acacio dengan lirih. “Aku tahu sesuatu yang lebih menyakitkan dari luka yang kau dapatkan tadi.” Pria berkumis tebal menyeringai jahat. Kemudian, ia berjalan ke sekumpulan rakyat Kota Eleusina yang tengah diselimuti rasa takut. Pria berkumis tebal merampas seorang bocah kecil berusia delapan tahun dari dekapan sang ibu dengan paksa. Ia menghardiknya dengan sangat kejam. Menendang bocah itu berkali-kali hingga menangis pilu. “Ini! Kau lihat? Kau lihat bagaimana aku menyiksa anak ini?” katanya sambil terus menendang bocah malang tersebut. Lantas sang ibu dari bocah menghalau tendangan yang dilayangkan kepada anaknya. “Saya mohon, Tuan. Jangan sakiti anak saya. Dia tidak bersalah.” “Kurang ajar! Jangan berani menyentuh kakiku dengan tangan kotormu, dasar tua bangka!” Sang ibu terpental ketika pria berkumis tebal menendangnya dengan amat sangat keras. Belum puas. Pria berkumis tebal berjalan untuk menghardik wanita tua itu lagi. Namun, ketika tendangannya nyaris saja mengenai wajah si wanita tua, sebuah kaki menghentikannya. “Sialan! Berani-berani ....” Pria berkumis tebal berhenti. Lantas membelalak ketika melihat siapa sebenarnya pemilik kaki yang menghalangi tendangannya tadi. Seorang pria bermata biru tajam dengan tipe mata yang khas. Berwajah tegas, serta berambut panjang hingga punggung. Lantas tersenyum miring di hadapan pria berkumis tebal. Siapa pria itu?   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD