Ambisi Sang Panglima

1622 Words
POV 3   Suara tawa yang bergelak renyah terdengar memekakkan diiringi suara ledakan dari berbagai sudut di kota. Jeritan penduduk kota membuat riuh suasana. Mereka berlari menggendong buah hati penerus mereka kelak. Mereka terbirit bagai melihat maut yang tak dapat dihindarkan. Namun, ketika saatnya rudal dari pesawat diluncurkan, maka habislah sudah. Anak-anak mereka mati. Ibu dan ayah mereka terkapar bersimbah darah. Kakek dan nenek mereka bahkan sudah pasrah menemui ajal. Harapan tidak akan datang kepada mereka yang telah menyerah sebelum berusaha. Hanya rintihan tolong yang satu-satunya menjadi andalan, bahkan meski sadar itu sudah tidak berguna. Sepasang mata tajam mengawasi dengan senyum merekah bahagia. Bahagia melihat manusia lainnya menangis dan menjerit. Bahagia akan suasana yang merupakan neraka bagi lainnya. Namun, ini surga bagi dirinya. Ini kebahagiaan tak terbantahkan bagi diri seorang panglima yang amat congkak. “Ayo, ayo, ayo! Menjeritlah semuanya! Menangislah! Putus asalah! Takdir sampah seperti kalian ada di tanganku!”   ***   “Hei, Bocah Pencuri! Kembalikan apel daganganku!” Seorang bocah berlari terbirit dikejar pria tua di sebuah kota di arah utara daratan Asterovos. Dengan langkah kecilnya, ia melewati kerumunan pasar di kota itu. Kedua tangannya memegang dua buah apel yang baru saja ia curi dari dagangan pak tua berjanggut putih. Bocah yang tubuhnya kurus kerempeng dengan rambut pirang itu adalah Anderson. “Hei, Bocah! Kembalikan apelku!” Anderson terus berlari sambil sesekali menengok ke belakang. Namun, langkahnya tiba-tiba tersandung oleh sebuah batu berukuran kepalan tangan orang dewasa. Anderson terjatuh dan tergeletak di tanah. Apel curiannya berhamburan sehingga ditangkaplah ia oleh pedagang tua tersebut. “Bocah sialan!” Pak tua meraih kerah baju kumal yang dikenakan oleh Anderson, lalu menampar kedua pipi bocah tersebut. Anderson melawan, mencoba melepaskan cengkeraman pak tua di kerah baju. “Lepaskan aku!” katanya sembari meronta. Lagi, ia sudah ditampar sebanyak lima kali, tetapi Anderson tidak mengeluh karena sakit. Ia hanya ingin bebas dari cengkeraman tersebut. Hari ini, terpaksa Anderson harus menahan perutnya yang lapar. Dari pagi perutnya sudah bunyi keroncongan. Ketika malam tiba, Anderson meringkuk dan bersandar pada dinding bangunan sebuah toko. Angin malam yang berdesir membuat tubuhnya kedinginan. Sesekali tubuhnya bergetar kedinginan. Ditatapnya rembulan yang membentuk lingkaran sempurna. Terang. Mata sayu bocah itu kemudian terpejam beberapa saat kemudian. Paginya Anderson membuka mata. Tahu-tahu jalan sudah ramai. Pasar kembali dipenuhi oleh pembeli dan pedagang. “Kau tidur di depan tokoku lagi?!” teriak seorang pria paruh baya bertubuh besar. Anderson mengusap kedua mata. Ia lihat pria itu sudah berdiri di hadapannya. Lagi, tubuh kecil bocah itu disiram dengan air. Anderson segera beranjak dan berlari. Malang sekali nasib bocah itu. Sekarang, di mana lagi ia bisa mendapatkan makanan untuk perutnya yang sudah keroncongan dari kemarin? Anderson berjalan terlunta-lunta menyusuri pasar, berharap ia mendapatkan makanan dari manusia-manusia yang ada di sana. Namun, hingga beberapa jam berlalu, tak ada yang kasihan dengannya. Di sebuah gang kecil, Anderson masuk dan memeriksa beberapa tong sampah. “Makan, makan, makan!” Di tong sampah ketiga, Anderson menemukan potongan daging yang bahkan sudah tampak tidak layak untuk dimakan. Akan tetapi, karena rasa lapar yang tidak dapat dibendung, ia terpaksa memakan daging basi tersebut. Anderson makan dengan lahap. Tidak, ia seperti binatang kelaparan yang tidak pernah makan berhari-hari. Tak berselang lama, Anderson mendengar derap langkah mendekat ke arahnya. Ia tidak peduli dan terus makan dengan ganas. “Hei, Bocah Sialan! Kau makan seperti binatang!” Anderson tidak menghiraukan perkataan pria dengan jenggot dan kumis yang rimbun tersebut. “Hei, Bocah!” kata pria bertubuh gendut itu lagi. “Hei, Bocah Sialan! Kau dengar aku tidak?!” teriak pria itu kemudian, murka sebab Anderson tidak menghiraukannya. Pria itu akhirnya geram, lantas melayangkan kakinya yang panjang ke punggung Anderson. Bocah itu tersungkur dan tengkurap. Daging basi yang belum habis ia makan lantas dipenuhi oleh pasir dan debu. Bocah itu ingin meneteskan air mata, tetapi ia pantang melakukannya. Ia sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Di dunia yang sudah hancur ini, perasaan tidak lagi berguna untuk orang-orang. Manusia lainnya tidak akan peduli dengan penderitaan manusia lainnya. Yang penting adalah bagaimana cara mendapatkan makanan dan bisa bertahan hidup. Hanya itu. Jikalau menangis bisa membuat seseorang kenyang, Anderson pasti sudah melakukannya sesering mungkin. Namun, nyatanya tidak. Menangis hanya menghabiskan tenaga, hingga rasa lapar datang kembali menghampiri. Pria gendut itu mendekati Anderson yang terkulai, lantas menghardiknya dengan tendangan yang mengarah pada perut. Anderson menutupi perutnya dengan kedua tangan. Ia menjerit dan merintih. Daging basi yang baru saja diterima oleh perutnya lantas keluar, ia muntahkan akibat pria mengerikan itu menendangnya berkali-kali. “Bocah sial! Rasakan itu!” Pria tersebut berlalu pergi. Anderson meringkuk. Jika dikatakan tidak sanggup lagi untuk melanjutkan hidup, ia memang sudah tidak sanggup lagi. Namun, sejak saat inilah dendam terpatri di dalam hatinya. Ia dendam terhadap orang-orang. Ia dendam terhadap kesombongan manusia lainnya. Ia dendam dengan keserakahan manusia lainnya. Mata Anderson berapi-api, menandakan bahwa dendam yang baru telah tumbuh di pandangannya. Meski begitu, Anderson bangkit dan kembali melangkah. Ia besar menjadi pencuri ulung. Seiring berjalannya waktu, Anderson jadi sulit ditangkap hingga terus melakukan pencurian makanan setiap harinya. Di suatu malam, kota tempatnya sering mencuri kini hancur oleh peperangan yang terjadi. Tidak ada lagi yang tersisa di kota itu. Semua penduduk mati. Hanya dirinyalah yang selamat karena punya kemampuan melarikan diri yang hebat. Terpikir oleh Anderson, setelah hancurnya kota ini, di mana lagi ia bisa mendapatkan makanan? Kini, air mata bergelimang. Anderson menumpahkan segala kesedihan dan kepedihan hatinya. Ia menangis di atas reruntuhan bangunan toko yang dulu ia jadikan sebagai tempatnya tidur, meski hanya di luar saja. Ia tutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menangis sejadinya. Anderson ingat kenangannya di kota ini, tepat ketika ia berusia lima tahun. Setelah kematian kedua orang tuanya di samping kota tempatnya sering mencuri ini, saat itulah Anderson mulai menjadi bocah gelandangan yang menyedihkan. “Ada apa dengan dunia ini? Kenapa bocah sepertiku harus merasakan kelaparan? Kenapa manusia-manusia itu selalu saja sombong?” Anderson menghela napas panjang, kemudian berjalan tak tentu arah hingga ia sampai di sebuah kota bernama Eleusina. Anderson tak percaya bisa sampai di sebuah kota. Namun, pertama-tama ia mencari pasar di kota tersebut untuk mendapatkan beberapa makanan. Bocah kecil itu kembali sebagai pencuri yang ulung di kota Eleusina. Tidak hanya makanan, tetapi kini Anderson mulai berani mencuri uang dan perhiasan. “Hei, Bocah Sialan! Tunggu! Pencuri! Pencuri!” Anderson kembali dikejar oleh salah satu pedagang di pasar. Nasib buruk menimpa bocah tersebut hingga berhasil ditangkap oleh massa. “Kau sudah sekian kali mencuri daganganku! Sekarang, aku tidak akan mengampunimu, Pencuri Sialan!” Tangan Anderson dibelenggu oleh beberapa orang yang merupakan rekan si pedagang. “Tidak! Tidak! Ampuni aku! Akan kukembalikan uangmu!” kata Anderson panik. “Diam! Mati adalah hukuman yang pantas untukmu, Bocah Pencuri!” Pedagang tersebut membawa sebilah pisau mengilap. Ia melangkah perlahan mendekati Anderson yang tengah ketakutan setengah mati. “Tidak! Ampuni aku! Aku tidak akan mencuri lagi!” Orang-orang yang berkerumun menyaksikan langsung tertawa renyah. “Bunuh saja dia! Pencuri seperti dia pantas mati! Bunuh! Bunuh! Bunuh!” Suara riuh orang-orang membuat Anderson semakin ketakutan. Sesaat lagi sepertinya ia akan lenyap dari dunia ini. “Lepaskan ak—“ Sebuah pukulan keras menghantam kepala Anderson hingga berlumur cairan merah. Bocah itu tidak berdaya. Beberapa saat kepalanya kembali dihantam oleh si pedagang dan rekan-rekannya. “Sialan! Kenapa selalu aku? Kenapa? Apakah aku memang tidak pantas hidup di dunia ini? Memangnya ini salah siapa? Memangnya salah siapa aku menjadi pencuri?” batin Anderson. Pukulan hingga tendangan sudah tidak dapat dirasakan Anderson. Tubuhnya mati rasa dalam seketika dihardik massa. Akan tetapi, suara ledakan yang tak jauh dari pasar kemudian membuat orang-orang berlari terbirit pergi. Anderson ditinggalkan dalam keadaan tidak berdaya. Lagi-lagi perang. “Percuma saja. Sepertinya aku akan mati oleh ledakan-ledakan itu.” Anderson pasrah. Ia tidak punya tenaga untuk mengayun langkahnya. Anderson tidak mampu mempertahankan kesadarannya hingga hanya kegelapan yang tampak. Bocah itu tidak sadarkan diri. Anderson mulai sadar, ia membuka mata secara perlahan. Seorang lelaki dengan kumis pirang sudah ada di hadapannya. Bocah itu bingung, “Siapa dia?” “Hei, Bocah! Cepat, bangun! Ini sudah siang!” Lelaki dengan kumis tebal itu mencengkeram rambut Anderson. Ia tak mampu melawan. “Hei, Bocah! Siapa namamu?” tanya lelaki tersebut. “A-Anderson …,” jawabnya dengan pelan. “Ah? Siapa? Aku tidak dengar!” “A-Anderson …,” katanya lagi sedikit lebih keras. “Anderson?” Bocah itu mengangguk menyetujui. “Kau ikut denganku! Prajurit, bawa bocah itu!” Anderson tidak memberontak. Ia pasrah. Ke mana pun ia akan dibawa, ia sudah tidak peduli lagi. Namun, Anderson ternyata dibawa ke sebuah kota yang sangat indah. Kota Plataia. Bocah bernama Anderson tersebut dilatih menjadi prajurit militer yang bengis dan cerdas. Ia diberikan kekayaan yang tiada batas. Lapar pun tidak pernah menghampirinya. Kini, Anderson menjadi militer yang siap membalaskan dendamnya pada semua manusia yang dulu pernah mencampakkannya.   ***   “Sekarang hancurlah kalian semua! Berteriaklah! Menangislah! Menjeritlah seperti yang pernah aku lakukan dulu! Rasakan apa yang pernah aku rasakan dulu! Manusia sampah!” “Sepertinya kau senang sekali, Manusia!” ucap Percobaan 036 yang melihat Anderson begitu bahagia dengan kehancuran Kota Eleusina. “Haha. Sekarang, kita habisi kota ini. Kau, pergilah dan bunuh semua orang tanpa tersisa!” kata Anderson. “Aku akan melakukannya tanpa perlu kau perintahkan, Manusia!” Percobaan 036 lantas melesat dengan kecepatan tinggi untuk masuk ke jantung kota. Sementara itu, Anderson masih asik menyaksikan ledakan demi ledakan yang diturunkan oleh pesawat tempur pasukannya. “Aku akan menguasai dunia ini. Dan kalian para manusia akan menyembahku.” Tatapan Anderson bengis, ia menyeringai. Tampak sebuah api di bola matanya. Itu adalah dendam yang membara. Dendam itulah yang membuatnya bertahan hidup sampai detik ini. Tak berselang lama, Anderson melihat cahaya ungu yang menyilaukan. Terang, tersorot hingga ke langit. Panglima Anderson mengerutkan dahi. “Sinar apa itu?” desisnya.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD