Terlibat Peperangan

2547 Words
Aku keluar dari penginapan, berjalan menuju lokasi perang di daerah perbatasan Kota Byzantium dan Kota Eretria. Dengan jarak beberapa meter dari seluruh pasukan Byzantium, aku berdiri tegap menatap kobaran api akibat ledakan di medan perang. Selongsong peluru berserakan di mana-mana. Darah segar pun begitu. Medan perang memang terlihat sangat menyedihkan sekaligus menyeramkan. Dinding-dinding dan pintu masuk menuju Kota Eretria tampak melepuh dan terbakar. Pasukan Eretria berduyun-duyun memadamkan api. Sementara itu, pasukan bersenjata masih sibuk membidik setiap pejuang Kota Byzantium. Pemandangan yang sungguh memilukan. Inikah yang aku lakukan dulu? Inilah sebuah perang, ajang pembuktian siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Sebuah perang yang tak akan pernah berakhir jika setiap dari mereka tak punya inisiatif menghentikannya. Perang bukan lagi tentang benar dan salah. Setidaknya bagiku, ada orang-orang yang menikmati perang, ada pula yang bersedih akannya. Ketika aku tertegun di antara riuhnya berbagai senjata, tiba-tiba sebuah amunisi menikam kaki kananku. Tepat di betisku sehingga membuatku mengerang kesakitan. Dengan segera kukeluarkan amunisi tersebut menggunakan tanganku. Mencongkelnya. Meski betisku berlumur darah, beberapa menit kemudian luka tersebut telah menutup tanpa bekas. Sudah jelas itu karena aku adalah ras Akila, luka yang menutup dengan cepat adalah hal yang wajar. “Hei! Pergi dari sini, Tuan! Di sini berbahaya!” pekik salah satu pasukan Kota Byzantium seraya megibaskan tangannya. Aku bergeming tanpa membalas pria berambut ikal tersebut. “Tuan! Menyingkir dari medan perang.” Sebuah peluru menancap, melubangi d**a si pria berambut ikal. Memuntahkan cairan bernama darah. Ia hampir roboh, tetapi seorang lelaki yang tampak masih remaja kemudian meminjamkan bahunya kepada si pria berambut ikal. “Ayah! Ayah! Jawab aku!” Oh, mereka adalah ayah dan anak, batinku. Aku melangkah dan mendekat menuju bocah tersebut yang tampaknya dirundung duka atas kehilangan sang ayah, lalu berdiri menatap mayat si pria berambut ikal. Dia mati secara terhormat. Jangan bercanda. Mati seharusnya tidak seperti itu. Lihatlah, sang anak sekarang terbalut amarah sembari meninju tanah berkali-kali, hingga lukanya tertutupi debu tanah ini. “Kenapa ini harus terjadi padamu, Ayah? Bukankah kau menjanjikan kemenangan padaku, kemudian pulang dan berkumpul lagi bersama dengan Ibu di rumah?” Lelaki remaja tersebut menyentuhkan dahinya tepat di d**a sang ayah sambil menangis tersedu-sedu. “Yah! Bangun! Apakah kau membawaku ke medan perang ini hanya untuk melihatmu mati?!” “Hei, pinjam senjatamu,” ucapku pada lelaki remaja itu. Bocah tersebut menatapku dengan heran. “Siapa kau?!” “Pinjam senjatamu,” ucapku lagi, seraya mengulurkan tangan. Si bocah tidak lagi bertanya. Ia segera mengangkat senapan miliknya dan memberikannya padaku. Aku sebenarnya tidak ingin terlibat dalam perang dan urusan orang lain. Namun, setelah mengingat kembali penuturan pria pemilik penginapan, tampaknya orang-orang dari Kota Eretria memang harus diberi pelajaran. Mereka dengan berani merenggut kedamaian Kota Byzantium hanya karena ingin memperluas wilayah yang tak seberapa luasnya. Sebuah senapan dengan panjang 1 meter, jarak tembak sekitar 800 meter, milik bocah yang baru saja kehilangan ayahnya sekarang ada di tanganku. Aku setengah menjongkok, memasang kuda-kuda, serta membidik ke arah dinding pintu masuk Kota Eretria yang dipenuhi pasukan militer bersenjata. Ras Akila diberkati berbagai macam kelebihan dalam bidang pertempuran. Dan salah satu contoh kelebihan tersebut ialah ketajaman dalam melihat, atau juga sudut pandang yang luas. Dengan begitu, meski jarak lawan berada di radius yang sulit dijangkau teleskop pada senapan, tetapi ketajaman pandanganku dapat dengan mudah membidiknya, dengan catatan lawan tidak berada di jarak ribuan meter. Di dinding pintu masuk Kota Eretria terdapat lima pasukan berderet yang berperan sebagai penembak jitu. Itu bisa dilihat karena bagian dinding sudah melepuh terbakar, hingga akhirnya sangat sulit menyembunyikan diri dengan sempurna. Aku mengatur embusan napas, bersiap menarik pelatuk. Setelah akhirnya satu tembakan meluncur, itu berhasil mengenai satu penembak jitu di deretan paling kiri, keempat penambak jitu lainnya segera mengubah posisi. Dua penembak jitu di bagian kiri dan dua lainnya di bagian kanan. Memang tak jauh berbeda dari posisi mereka yang sebelumnya. Namun, kali ini mereka sedikit memberi jarak yang luas di bagian tengah. Salah satu penembak jitu melepaskan tembakan, tetapi tak mengenai sasaran. Gagal. Tembakan kedua dilepaskan lagi. Tembakan ketiga. Sampai akhirnya tembakan keempat mengenai si bocah yang kehilangan ayahnya tadi. Bocah yang mengenakan rompi militer tersebut memekik kesakitan, menutup luka di lengannya dengan tangan kiri. “Hei! Menjauhlah, Bocah!” ujarku pada si bocah. Dengan lugas si bocah menjauh dari medan perang, tapi sayang langkahnya tak sampai. Tembakan kelima tepat mengenai kepalanya, sampai akhirnya roboh dan mati di tempat. Mataku terbelalak melihat kejadian tersebut. Aku tak percaya. Untuk menyelamatkan satu bocah saja aku tidak becus, apalagi menyelematkan setiap orang di dunia ini. Nah, dua orang sudah mati di hadapanmu, Akila666. Dan sekarang, apa yang harus kau lakukan? Apakah kau masih ingin menyelamatkan dunia dari kehancuran, sedangkan menyelamatkan dua manusia saja kau tidak mampu? Tatapanku tiba-tiba menjadi gulita. Suara riuh berbagai senjata sudah tak terdengar lagi. Namun, sebuah suara yang entah dari mana datanganya, kini memekakkan telingaku. Membuat kepalaku semakin pening. Aku sadar pria itu mati hanya karena memberiku peringatan untuk tidak mendekat ke medan perang. Sebenarnya untuk apa dia melakukannya? Apakah dia melihatku sebagai manusia lemah dan bukan ras Akila? Ya, aku tahu. Dia tidak bisa membedakan apakah aku seorang Akila atau bukan. Namun, setidaknya kebaikan hatinya membuatku berpikir bahwa dia pantas mendapatkan rasa terima kasih dariku. Sudah saatnya kau sadar bahwa membunuh juga diperlukan untuk mendamaikan dunia ini. Bunuhlah mereka! Membabi butalah seperti yang dulu. Terimalah takdirmu sebagai seorang pembunuh. Keraguan lagi-lagi membalutku. Apakah benar membunuh juga diperlukan? Sekali lagi, aku berubah menjadi binatang buas yang keji. Dan sisi gelapku kembali meracuni hatiku sendiri. Tanpa pikir panjang, aku kembali membidik keempat penembak jitu di atas dinding pintu masuk Kota Eretria. Satu per satu amunisi kulepaskan. Tepat mengenai sasaran. Keempat penembak jitu telah terkapar tak berdaya. Tak satu pun tembakan yang kuluncurkan meleset. Aku mulai melangkah untuk mencoba lebih dekat ke pintu masuk Kota Eretria, tetapi sebuah tangan menghentikanku. Sebuah tangan yang terasa sangat dingin menggenggam lenganku dengan erat. Ketika berbalik badan, yang kudapati adalah wajah itu lagi. Wajah seorang gadis dengan bola matanya yang hijau. Gadis yang pernah kutemui di medan perang waktu itu. Tatap wajahnya seakan mengatakan, ‘jangan pergi! Sudah hentikan semua ini. Aku ada di sini untukmu’. Aku sadar kembali dari kegelapan hatiku, lalu menunduk dengan penuh penyesalan. Apa yang ingin kulakukan? batinku. “Darien.” Achila buka suara. “Ayo, kita kembali ke penginapan!” “Ya.” Kemudian kulangkahkan kaki perlahan. Sebelum menginjakkan kaki di jalan utama, seseorang berteriak, “Hei!” Di hadapanku tampak seorang pria tua, berjanggut putih, serta mengenakan jubah merah tebal. “Namaku Aconteus, pemimpin Kota Byzantium.” Sang pemimpin bernama Aconteus mengacungkan tangan kanan. Kusambut tangan pria tua berjanggut putih tersebut. “Aku Darien,” jawabku, kemudian melepaskan jabatan tanganku dengan Aconteus. “Dia ... apakah wanita itu adalah istrimu?” “B-bukan, Tuan. Saya ....” “Ada perlu apa pemimpin kota ini dengan kami?” potongku. “Ah, tidak. Aku melihatmu dari kejauhan. Dan kau membantu pasukan kami. Itu perbuatan yang sangat mulia, kupikir.” Aconteus meletakkan tangan di janggut panjangnya, lalu mengelusnya. “Oh, iya. Jika boleh tahu, dari mana kalian berasal?” “Kami tidak berasal dari mana pun. Kami adalah pengembara.” “Jadi, apa kalian menginap di salah satu penginapan di kota ini?” “Benar. Kami bermalam di sini. Dan besok kami akan pergi melanjutkan perjalanan kami.” “Baiklah. Sebenarnya aku ingin meminta bantuan kepada kalian. Aku tahu kalian adalah orang-orang yang hebat.” “Dari mana kau tahu kalau kami orang-orang yang hebat? Tapi, sayangnya tebakanmu salah.” “Tatap mataku tidak dapat dibohongi, Nak. Aku dulu seorang panglima militer. Jadi, aku tahu mana orang-orang yang sudah berpengalaman ada di medan perang hanya dari melihat tatapan mata mereka.” Aconteus menghela napas. “Dan ada satu orang lagi yang bersama kalian, bukan?” “Apakah maksudmu Alexio?” “Mungkin. Menurut laporan para panduduk, ada tiga orang asing yang baru tiba di kota sore ini.” “Kalau begitu, kau ingin minta tolong apa pada kami? Bisakah kau katakan padaku dengan jelas? Kalau kau meminta kami untuk pergi dari kota ini, kami akan melakukannya besok. Jadi, kau tidak perlu khawatir.” “Begini saja. Ajak temanmu yang satunya lagi. Aku akan menunggu kalian di gedung pemerintahan. Jika kalian tidak tahu jalan menuju gedung, mintalah bantuan kepada pemilik penginapan untuk mengantarkan kalian. Bagaimana?” Aconteus, sang pemimpin Kota Byzantium, menatap penuh harapan. “Baiklah.” Aconteus kemudian tersenyum puas. Ia berbalik badan, lalu melangkah ke arah utara kota di jalan utama. “Bagaimana, Achila? Apakah kita harus datang ke gedung pemerintahan itu?” tanyaku pada Achila. “Menurutku kita harus datang. Dan kurasa pemimpin itu juga cukup baik. Tidak ada hal yang mencurigakan darinya,” jelas Achila. Dengan begitu, kami kembali ke penginapan untuk memberitahu Alexio tentang perihal tersebut. Setelah kami bertiga setuju untuk datang ke gedung pemerintahan, sesuai yang diharapkan Aconteus, kami melangkah ditemani pemilik penginapan. Tak lama kemudian, kami sampai di sebuah bangunan tinggi yang megah. Lampu-lampu terangnya menghiasi langit yang gelap. Tidak disangka di dunia yang telah riuh ini masih ada bangunan megah seperti gedung pemerintahan Kota Byzantium. Meski kota Eleusina juga punya gedung pemerintahan, tapi tidak dapat menandingi kemegahan Byzantine City Government Center. “Kalau begitu, aku akan kembali ke penginapan,” kata Eris, pria pemilik penginapan di mana kami bermalam. “Ya. Terima kasih sudah mengantarkan kami,” balasku. Di gerbang masuk halaman gedung, terdapat dua penjaga dengan seragam merah menyala, membawa senapan yang menggantung di bahu mereka. Dua penjaga ada di pintu masuk menuju gedung. Pintu yang tinggi, terbuat dari kayu-kayu yang paten. Bercorak-corak naga dan makhluk mitologi lainnya. Saat memasuki gedung tersebut, terdapat sebuah meja memanjang, berbentuk oval. Juga terdapat kursi-kursi yang mengelilingi meja berjumlah 20 buah. Seorang pria tua yang tentunya adalah pemimpin Kota Byzantium, duduk di ujung meja berwarna cokelat tersebut. “Silakan duduk, Tuan-tuan, Nona.” Aconteus mempersilakan sembari tangannya mengacung ke sederet kursi di depannya. Kami segera duduk, berhadapan dengan Aconteus. Sang pemimpin membuat senyumannya ramah. Sejumlah pria berbaju putih dan bercelana hitam meletakkan makanan-makanan yang tampak sangat lezat di atas meja. Sajian tersebut sudah pasti untuk kami. “Kita makan malam dulu agar bicara nanti terasa ringan,” ucap Aconteus, sembari mengangkat sebuah pisau dan garpu. “Silakan, pilih mana saja yang kalian suka.” “Baiklah kalau begitu. Hei, Achila, Darien! Ayo, santaplah!” ujar Alexio, yang kemudian mulai menyantap daging hangat di hadapannya. Dengan malu-malu, Achila mulai menyantap beberapa sayuran yang telah diolah sedemikian rupa hingga terlihat begitu lezat. Sementara itu, aku memilih daging yang sama seperti Alexio. Menggugah selera. Lama sekali aku tidak makan mewah. Terakhir kali, seingatku, ketika kami mengadakan pesta di sangkar dan orang-orang berwibawa mengantarkan makanan-makanan lezat sebagai hadiah kemenangan atas perang. Perut kami sudah terisi penuh hingga sudah tak mampu mengunyah lagi. Aconteus juga tampaknya sudah menghabiskan makanannya. “Bagaimana? Sudah kenyang semuanya?” tanya Aconteus, sembari meneguk segelas air putih. “Ya. Perutku sudah penuh. Begitu juga dengan Alexio dan Achila. Benar, kan, Alexio, Achila?” “Ya,” singkat Alexio, seraya membakar sebatang rokok. Sementara itu Achila mengangguk pelan, mengiyakan. Beberapa pelayan datang mengambil sisa makanan dan mengelap bekas makanan di meja besar tersebut. “Sekarang sudah saatnya kau menjelaskan pada kami, apa yang ingin kau katakan kepada kami.” Alexio angkat bicara. “Pertama-tama, izinkan aku berterima kasih kepada kalian karena telah datang kemari. Sebelumnya aku sudah bilang pada Darien dan nona muda itu bahwa aku ingin meminta bantuan kalian,” ucap sang pemimpin, bijak. “Baiklah, langsung saja ke intinya. Bantuan apa yang bisa kami berikan kepada pemimpin kota ini?” kataku kemudian. “Aku ingin kalian membantu kami menyudahi perang antara Kota Byzantium dengan Kota Eretria,” jelas Aconteus. Kami terperangah mendengar perihal tersebut. Tak satu pun dari kami yang mampu menyetujui permintaan sang pemimpin. Menyudahi peperangan tidak mudah seperti mengatakannya. Bahkan, untuk ukuran diriku yang selalu membabi buta dalam medan pertempuran. Meski begitu, mungkin ini bisa menjadi sebuah ujian bagi diriku. Menyudahi peperangan antar dua kota yang mencoba mempertahankan ideologi mereka. “Bagaimana kami bisa membantu?” tanyaku pada Aconteus, sembari menatapnya begitu tajam. “Aku ingin kalian membantu kami di medan perang. Membunuh setiap pasukan kota Eretria dan—” “Tidak!” pekikku. Pria tua tersebut tersentak kaget. “Tidak seperti itu cara menghentikan perang. Jika kau mencoba memadamkan api dengan api, itu tidak akan pernah padam. Justru itu akan terus membesar sampai akhirnya membakar kedua kota, kemudian berubah menjadi debu.” Achila dan Alexio menatapku penuh rasa heran. “Lalu, bagaimana kami bisa menghentikan perang ini? Aku sudah tidak sanggup melihat penduduk Kota Byzantium setiap malam terus berjatuhan dan akhirnya menjadi mayat. Sudah lebih dari 100 keluarga di kota ini yang kehilangan anggota keluarga mereka.” Terlihat jelas di pupil matanya yang kecokelatan, bahwa kedukaan sedang bersemayam di hatinya. “Kenapa kau bertanya padaku, wahai Sang Pemimpin? Aku hanyalah seorang pengembara. Sedangkan, kau adalah seorang pemimpin kota.” Aku menghela napas panjang. “Maaf, tapi kami tidak bisa membantumu jika harus membunuh orang lain.” Aku bangkit dari duduk dan berkata, “Ayo, kita kembali ke penginapan!” Kami pun melangkah meninggalkan Aconteus yang tengah bergeming tak berucap kata. Namun, sebelum kami mencapai pintu untuk keluar dari gedung, Aconteus buka mulut, “Aku bukan pemimpin yang baik, bukan?” Langkahku terhenti kembali. Kubalikkan badan. Kulihat Aconteus masih tertunduk pilu. Ia kemudian bangkit secara perlahan. “Aku adalah seorang pemimpin yang buruk. Setiap malam aku melihat bangkai rakyatku terbaring tak berdaya dengan bergelimang darah di sekujur tubuh mereka. Setiap hari aku selalu melihat anak kecil menangisi ayah mereka yang sudah mati akibat perang. Dan ... setiap hari aku melihat seorang istri yang menahan kesedihannya atas kehilangan suami mereka. Belum lagi melihat orang-orang tua yang kehilangan anak mereka. Aku pernah melihat sebuah kedamaian di dalam mimpiku, tapi bukan aku yang menciptakan kedamaian itu. Di dalam mimpiku ada dua orang lelaki dan seorang wanita. Merekalah yang menciptakan kedamaian di kota ini. Setiap hari aku selalu berharap mimpi itu akan menjadi kenyataan. Sampai akhirnya tiba, salah satu penduduk yang selalu mencatat kedatangan orang asing di kota ini, melaporkan bahwa ia melihat dua pria dan satu wanita yang baru saja tiba. Oleh karena itu, aku berpikir bahwa kalianlah orang-orang yang ada di dalam mimpiku. Kalianlah orang-orang yang dikirimkan Sang Dewa ke kota ini.” Aconteus melangkah perlahan mendekatiku. Ia kemudian berhenti tepat di hadapanku dan menepuk bahuku. “Tolonglah, bantu kami. Sudahi perang ini untuk kami.” Aconteus memandang penuh harapan. Kedua matanya menunjukkan kelemahannya yang sudah tidak sanggup menanggung derita kota ini. Aku bergeming beberapa saat. Menatap kosong, tapi pikiran dipenuhi berbagai pertanyaan. “Tolong ....” Aconteus bersimpuh di hadapanku. Tak bisa dibayangkan. Seorang pemimpin yang seharusnya memiliki jiwa yang kuat, kini bersimpuh di hadapanku. “Bangunlah, Pak Tua! Aku tidak patut mendapat perlakuan itu. Aku akan membantumu. Aku akan coba untuk membantumu,” ucapku kemudian. Dan kini aku harus menanggung sebuah tanggung jawab yang begitu besar kepada kota ini. Aku tidak ingin melawan perang dengan perang. Juga tidak ingin berkata bahwa Kota Byzantium harus menyerah. Bagaimanapun, jalan untuk meraih kedamaian tidak selalu dilakukan dengan peperangan. Masih ada jalan lain yang belum pernah dilakukan. Usaha lain yang akan membawa kedamaian bagi Kota Byzatium dan Kota Eretria. Aconteus, sang pemimpin, akhirnya berdiri tegap di hadapanku. Menatap teduh penuh harapan. Ia tersenyum haru sambil menepuk bahuku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD