Malaikat Pembawa Berkah

1646 Words
POV 3   Pertarungan antara Julio dengan Robert tidak menghasilkan apa pun. Julio telah dipenuhi luka sayat oleh pedang cemerlang di genggaman Robert. Bahkan angin yang berkecamuk dari kibasan pedang lelaki calon pemimpin kota Plataia itu telah mengoyak habis tubuh Julio. Kini, pria Akila itu tidak cukup punya tenaga untuk bangkit. Sekali lagi, Julio roboh dan tengkurap di atas tanah. Ia saksikan di sana Darien sedang asik dengan upacara sakralnya dengan Achila. “Kau telah tumbuh dewasa, Nak.” Julio membatin. Ia yakin seratus persen Darien akan mulai mengangkat langkah untuk terus maju serta mengalahkan Robert. Meski kalah, Julio berhasil mengulur waktu hingga akhirnya melihat Darien bertransformasi menjadi sosok Malaikat Pembawa Berkah. Sayap yang tumbuh di punggung Darien mengepak lebar dan bercahaya putih. Hal ini lantas membuat Robert membelalakkan mata. Setahunya, seorang ras Akila hanya memiliki satu wujud lain. Akan tetapi, Darien telah memperlihatkan wujud yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Tidak hanya Robert, semua prajurit Kota Eretium juga terkagum-kagum pada keindahan cahaya yang berasal dari Darien. Wajah lelaki itu cerah, pedang di genggamannya pun berubah lebih kecil. “Aku akan melawanmu,” ucap Darien setelah melesat cepat dengan hanya sekali kepakan sayap dan tiba tepat di hadapan Robert. “Jangan sombong kau, Darien! Meski wujudmu berubah seperti itu, hatimu tetap ib—“ “Aku tidak peduli. Bagiku, yang terpenting adalah apa yang selama ini telah aku perjuangkan. Perasaan orang-orang yang selama ini aku genggam, aku harus mewujudkan mimpi-mimpi kami. Kau tidak perlu mengatakan aku adalah iblis. Aku sudah tahu, tapi kini aku tidak mau peduli lagi,” jelas Darien. Ia tetap tenang, bahkan tak terlihat adanya rasa takut seperti sebelumnya yang membalut seluruh benaknya. “Baiklah kalau begitu. Kita lihat, sekuat apa dirimu dengan wujud barumu itu.” Robert menyeringai. Ia mengentakkan kaki kanan dan memasang kuda-kuda dengan paten. Sedang Darien, meski tampak tidak bersiap-siap, ia sebetulnya sudah sangat siap untuk menghalau setiap serangan yang akan dilancarkan oleh Robert. Sambil mengarahkan ujung pedang ke arah jam 12, Robert berseru, “Bersiaplah!” Maka, gumpalan awan hitam berkumpul diembuskan angin pada satu titik. Halilintar tampak menyambar-nyambar pedang Robert. Darien tak gentar. Helaan dan embusan napasnya masih terjaga. Beberapa detik kemudian, Robert mulai mengayunkan pedang ke depan. Bersamaan dengan itu, halilintar bersatu lantas mengincar satu titik, yaitu tempat Darien berpijak. Seper sekian detik kecepatan halilintar menyambar, kalah cepat dengan kepakan sayap Darien. Lelaki Akila itu terbang menembus gumpalan awan hitam yang diciptakan oleh kekuatan pedang Robert. Berada di ketinggian, Darien mengibaskan pedangnya memutar sehingga mengurai gumpalan awan, tersamarkan dan cerah kembali. Robert tidak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya. Ia geram dan kesal. Sementara itu, Darien melesat kembali dengan kecepatan tinggi sambil mengarahkan ujung pedang ke bawah, mengincar tubuh Robert. Belum, meskipun sangat cepat, Robert masih bisa menandingi kecepatan itu sehingga melompat mengejar Darien ke atas. Pedang keduanya beradu, saling menggigit dan menciptakan percikan-percikan api. Robert memang tak memiliki sayap untuk terbang, tetapi ia dapat memanipulasi angin sehingga mempertahankan tubuhnya tetap melayang di udara. Sekuat tenaga Robert mengayunkan pedang, matanya sibuk mencari titik terbuka pada pertahanan Darien. Lantas tak ia temukan sehingga akhirnya juga memanfaatkan kaki kanan demi menerjang lelaki Akila itu. Pertarungan jarak dekat kali ini lebih mengutamakan kecepatan. Kalah cepat sedetik saja, maka nyawa taruhannya. Darien dapat menghindar dengan leluasa meskipun diincar oleh berbagai serangan. Tak ingin kalah dalam strategi, Darien memanfaatkan sayap putih kokohnya. Ia kepakkan keduanya ke depan sehingga menghasilkan angin yang cukup dapat membuat Robert kehilangan pertahanannya. Ini kesempatan. Robert lengah, maka Darien melesat. Mata pedangnya siap menggores luka pada tubuh lawannya. Akan tetapi, sayang ayunan pedang Robert masih dapat menjangkau serta menghalau serangan mematikan tersebut. Keduanya terhenti. Napas yang menderu semakin cepat. Keringat yang bersimbah semakin berlomba keluar dari pori kulit mereka. “Baiklah, aku mulai menikmati pertarungan ini. Kau cukup hebat dengan wujud barumu itu. Tapi ingat! Aku tidak akan kalah semudah yang kau pikirkan. Meskipun dalam kisah ini kaulah tokoh utamanya, jangan lupakan bahwa aku juga memegang harapan banyak orang.” Robert berusaha menormalkan pernapasannya. “Darien, jika kau bergabung denganku, maka kita pasti bisa menjadi partner yang tidak terkalahkan. Aku memberimu dua pilihan—“ “Aku tidak butuh bekerjasama dengan orang-orang yang bertekad menghancurkan dunia. Aku tidak butuh membantu tercapainya tujuan bagi orang-orang yang merenggut kebebasan orang lain. Aku punya tujuanku. Dan kau juga begitu. Kita nikmati saja pertarungan ini, dan buktikan siapa yang pantas menjadi pemenang.” Oh, tidak. Darien betul-betul tampak gagah mengungkapkan kalimat luar biasa tadi. Semangatnya tidak lagi dapat digoyahkan oleh hal apa pun. Ia betul-betul menjadi seperti Malaikat yang membawa berkah bagi orang-orang. “Jadi, itu adalah keputusan mutlak yang ingin kau tempuh? Baiklah. Takkan kuberikan kau ampun.” Dua batang besi kembali beradu ngilu. Kecepatan dan ketepatan. Dua hal itu adalah modal utama untuk mengalahkan lawan. Namun, sialnya Darien lantas terpancing oleh serangan tipuan Robert yang pada dasarnya ingin mengincar bagian atas, malah sebaliknya ia dapat mengubah arah serangan ke bawah sehingga mengenai kaki kanan Darien. Tidak masalah. Hanya luka gores tidak akan membuat kecepatan lelaki Akila itu berkurang. Malah ia semakin gigih mengincar kepala Robert.   ***   Menyaksikan pertarungan dari kejauhan, Luxter mengingkari janjinya pada Robert untuk membiarkan pria itu bertarung habis-habisan. Tampaknya Luxter memiliki rencana cadangan yang lebih efektif demi memenangkan peperangan ini. Ia melangkah pelan dan menaiki helikopter. Terbang untuk kembali ke markasnya di Kota Plataia. Diam-diam Dokter Elasmus memperhatikan gerak-gerik Luxter sehingga mengambil kesimpulan bahwa akan ada serangan luar biasa yang akan dijatuhkan oleh Kota Plataia. “Saya tidak menyangka Darien akan sekuat itu dan berhasil membuat Robert kelelahan.” Acacio yang sedari tadi menyaksikan pertarungan di udara itu lantas membuka mulut, membuat Dokter Elasmus kembali fokus pada jalannya pertarungan. “Dibandingkan dengan sebelumnya, dengan wujud barunya, kekuatan Darien meningkat lima puluh persen. Jika saja ia masih menggunakan wujud iblis, saya yakin dia tidak akan bisa mengalahkan Robert dan menciptakan pertarungan sengit,” komentar sang dokter. “Benar. Tapi, bagi kita yang hanya manusia biasa, tetap saja ras Akila tanpa wujud apa pun benar-benar kuat.” Alexio kini dapat memampang sebuah senyum meski sempat kehilangan mood karena kecewa oleh tindakan pengecut Darien beberapa waktu lalu. “Nah, ada yang ingin saya lakukan dengan kalian. Bersediakah kalian membantu saya?” tanya Dokter Elasmus tiba-tiba. “Membantu? Memangnya apa yang bisa kami bantu, Dok?” Acacio tampak penasaran. Di tengah-tengah pertarungan sengit antara Darien dan Robert ini, apa yang ingin dilakukan oleh sang dokter? “Sebentar. Sepertinya kita saja tidak akan cukup. Kita bawa juga Julio serta prajurit Kota Eretium,” tambah Elasmus. Acacio dan Alexio bersitatap. Belum paham dengan apa yang direncakan oleh dokter jenius itu. “Alexio, tolong bawa kemari Julio. Obati dia dan berikan makanan agar punya sedikit tenaga.” Tanpa perlu menjawab, Alexio melangkah untuk membawa Julio yang tengah terbaring lemah beberapa meter di depan. “Dan Acacio, tolong sampaikan kepada semua prajurit Kota Eretium bahwa kita akan berangkat menuju Kota Plataia,” jelas Elasmus yang kemudian tersenyum senang. “Baik, Dok.” Acacio akhirnya melangkah atas perintah sang dokter.   ***   Luxter sampai di Kota Plataia, ia masuk ke bangunan departemen pertahanan, menuju sebuah ruangan yang dipenuhi oleh monitor serta terpampang peta daratan Asterovos pada proyektor. “Semuanya! Dengarkan aku!” Semua pekerja yang bertugas dalam ruangan terhenyak. Mereka yang tadinya ribut berbincang, kini sunyi tak bersuara akibat kedatangan Luxter. “Siapkan peluncuran untuk roket, seperti biasa target kita adalah semua kota di daratan ini.” Itu adalah perintah mutlak yang dikeluarkan oleh Luxter—pemimpin Kota Plataia—tanpa bisa dibantah oleh siapa pun. Membantah sedikit saja, kepala taruhannya. Semua pekerja sibuk menyiapkan peluncuran roket yang akan membawa petaka bagi seluruh kota yang ada di daratan ini. Sebelum meluncur, roket membutuhkan waktu untuk bersiap-siap sehingga timer menghitung mundur dari menit ke tiga puluh. “Roket siap dalam waktu tiga puluh menit!” pekik salah satu pekerja di bagian paling depan. “Bagus!” timpal Luxter sembari mondar mandir dalam ruangan tersebut. “Maaf, Sir. Bagaimana dengan Tuan Robert yang masih bertarung di—“ “Persetan dengan orang lain. Demi Kota Plataia, membuang satu orang atau bahkan lebih tidak ada harganya. Kesejahteraan kota ini adalah harga mati dan tidak bisa ditawar lagi.” “Baik, Sir. Maafkan saya.” Lantas pekerja yang berambut ikal itu kembali duduk, memonitor bagian-bagian roket pada layar. Selain itu di Kota Eleusina, dua kesatria masih berkutat dengan pergolakan. Peraduan pedang yang tidak akan pernah berakhir. Keduanya sama-sama hebat dan cekatan. Tak ada yang mengalah, pun tak ada yang ingin dikalahkan sehingga membuat keduanya tidak memedulikan perihal lain. Orang-orang telah meninggalkan Kota Eleusina, termasuk juga prajurit Kota Eretium yang telah berhasil menghabisi militer Kota Plataia. Kala sadar, fokus lelaki Akila itu jadi terbagi sehingga lengah dengan pertarungannya. Lagi-lagi Robert berhasil menyayat lengan Darien. Sebab menyadari sorot mata Darien mengarah ke bawah, Robert penasaran dan coba memastikan. Semua orang pergi. “Ke mana perginya semua orang?” tanya Robert dengan pelan, “Luxter? Ke mana orang itu?” “Hei. Kita hentikan pertarungan sejenak,” ucap Robert pada Darien, kemudian turun dan menapakkan kaki di tanah. Matanya memutar mencari keberadaan sosok yang ia sebut dengan Luxter. Juga seseorang yang menjanjikannya tahta paling tinggi di Kota Plataia. Sedang Darien terbang ke sana kemari. Yang ia temui hanya penduduk biasa Kota Eleusina yang tengah beristirahat dan diobati. “Hei! Apa kau tahu sesuatu soal ini?!” pekik Robert agar suaranya mencapai telinga Darien. Lelaki Akila kembali, kemudian mendarat tepat di hadapan Robert. “Aku tidak tahu sesuatu tentang ini. Kita terlalu fokus pada pertarungan sehingga mengabaikan yang lain.” Robert mencoba berpikir keras. Tatkala pikirannya mampu menyimpulkan, maka ia mengerutkan dahi serta menyorotkan tatapan tajam. “Luxter … sialan!” Tanpa pikir panjang lagi, Robert berlari kencang demi sampai di Kota Plataia. “Darien! Ikutlah denganku,” ajaknya seraya menjauh dari pria tersebut. Darien tidak mempertanyakan lebih jauh, ia kemudian mengepakkan sayap, menjangkau Robert serta melesat ke Kota Plataia. Kehancuran sedang mendekat mengancam seluruh daratan Asterovos!   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD