Mereka Bagian dari Sejarah

1771 Words
POV 3   “Siapa kalian?” Julio menjaga kewaspadaan saat mengetahui sekelompok orang mengepung di sekitar. Manusia-manusia yang mirip seperti ras Akila itu membuat lingkaran sembari terus berjalan. Tidak ada celah bagi Julio dan dua lainnya melarikan diri. Untuk melawan pun sepertinya akan percuma saja. Mereka sudah terpojok. Apalagi, tak mungkin mereka bisa mengalahkan. “Sialan!” Darien mendesis, sepertinya ia mulai geram dengan situasinya saat ini. “Darien, tidak. Jangan melakukan apa pun. Sebaiknya kita menyerah saja. Kita kalah jumlah dalam hal ini. Ayah yakin mereka ras Akila yang kita cari,” bisik Julio, mengingatkan agar Darien tidak melakukan tindakan ceroboh. Tentu saja, itu karena Julio tahu Darien masih belum bisa mengendalikan amarahnya. Dia masih terlalu muda untuk itu. “Baiklah, kami menyerah!” Julio mengangkat tangan, lalu diikuti Darien dan Alexio. “Bawa mereka ke markas!” perintah seorang pria dengan bekas luka horizontal di dahi. “Baik!” Tiga orang maju mendekati Julio, Alexio, dan Darien, kemudian mengikat tangan mereka dengan tali. “Mau kalian apakan kami setelah ini? Apakah kalian ras Akila?” Alexio angkat bertanya, tetapi tak digubris oleh orang-orang bertubuh kekar itu. Dan tentu saja, dia hanya bisa tersenyum bodoh. Ketiganya dibawa ke sebuah tempat yang berderet rumah-rumah dari jerami, melingkari sebuah api unggun.   ***   Ketiga pria petualang itu diikat di sebuah kayu besar, tepat di tengah-tengah lahan permukiman yang dikelilingi rumah-rumah. Di hadapan ketiganya sudah berdiri seorang pria dengan rambut sepanjang punggung. Lalu, bersidekap. Tatapannya tajam mengintimidasi, tersorot ke ketiga manusia yang diikat. “He, apakah kalian ras Akila?” Julio mulai angkat bicara. “Jika kalian benar-benar ras Akila, semestinya kalian tahu bahwa kami juga sama seperti kalian. Dan tali ini tidak akan berguna. Aku pikir kalian lebih tahu dari siapa pun di dunia ini.” Pria di hadapan—yang tengah menyilangkan tangan—lantas tersenyum miring. Beberapa saat kemudian, ia tertawa bergelak lepas. Entah karena perkataan Julio yang terlalu konyol, atau justru dia mengingat hal-hal lucu lain. “He, apa yang kau tertawakan? Aku akan membuktikannya.” Setelah itu, Julio pun mencoba melepaskan diri dari tali yang mengikat kaki serta kedua tangannya yang berada di belakang punggung. Sayang sekali, setelah mencoba beberapa kali tetap tidak bisa terlepas ataupun putus. Padahal, jika hanya diikat dengan tali biasa, seorang ras Akila dapat dengan mudah melepaskannya dengan cara mengumpulkan tenaga di satu titik, yaitu di tangan yang terikat. Itu bukan sihir, tapi semacam kekuatan dari otot-otot yang mengeras. “Maaf, Ayah, aku tidak memberitahumu. Aku sudah mencoba memutus tali ini, tetap tidak bisa,” kata Darien, terlihat lemas. Julio kembali menyorot ke arah pria yang bergelak di hadapan. “He, tali macam apa ini? Yah, kuakui aku baru saja tahu ada tali sekuat ini. Seharusnya jika ini tali biasa, seorang Akila seperti akan dengan mudah melepaskannya,” tanya Julio dengan pelan. “Tidak, Ayah. Sepertinya ini bukan masalah talinya. Lihat, Alexio tidak sadarkan diri.” Julio lalu melihat Alexio yang tengah pingsan pada pasak di sebelah kanan. “Apa yang kau lakukan pada kami?” Pria berhidung lancip ini menatap dendam. “Tanaman blue rocket,” jawabnya pelan. Akhirnya Julio mengingat sesuatu. Pada saat dibawa oleh beberapa orang, ternyata mereka telah disuntikkan ekstrak dari tanaman blue rocket beracun yang biasa digunakan prajurit di zaman dulu, dioleskan di anak panah untuk membunuh lawan. “Benar. Ekstrak tanaman blue rocket itu memang tidak membunuh seorang ras Akila, tetapi melumpuhkan tenaga besar yang dimiliki. Jadi, sekarang kau sudah tahu kebodohanmu, kan?” jelas pria itu. “Kenapa kau melakukan hal ini bahkan pada ras Akila seperti kami? Kita berasal dari ras yang sama,” balas Julio, mencoba mencari jawaban pasti. Tenaganya mungkin sudah banyak yang terserap oleh ekstrak tanaman beracun itu sehingga suaranya pelan sekali. “Meskipun kau ras Akila, tetapi kau bukan bagian dari kami.” “Ayolah, kami datang ke pulau ini tidak untuk mencari perkara. Kami punya tujuan yang jelas. Dan tentu saja tidak untuk menyakiti kalian.” “Itu benar. Kami datang ke sini untuk mengajak kalian bergabung dengan kelompok kami,” timpal Darien kemudian. Pria berambut lurus mendengkus panjang. “Bergabung? Maaf, kami tidak menerima orang luar sebagai kelompok kami. Kalian para pengabdi orang-orang berwibawa lebih pantas mati—“ “Tidak.” Julio menyela. “Sepertinya kalian sudah salah paham tentang kami. Sepertinya kalian membutuhkan edukasi lebih.” Si pria bertubuh kekar lantas mengernyit. “Kami bukan bagian dari orang-orang berwibawa.” “Lalu, apa tujuanmu datang kemari?” “Justru kami ingin mengajak kalian negoisasi. Kami membutuhkan bantuan. Kami membutuhkan tenaga kalian untuk menghancurkan orang-orang berwibawa dengan antek-anteknya,” jelas Darien. “Tidak masuk akal!” Pria itu tersenyum kecut. Jelas sekali ia tidak percaya dengan perkataan Julio dan Darien. Faktanya, di dunia ini tidak ada yang berani melawan para petinggi Kota Plataia. Mereka punya segalanya untuk menghancurkan siapa saja yang bertindak ceroboh dan memberontak. “Bukti apa yang bisa kalian berikan pada kami jika kalian bukan bagian dari orang-orang biadab itu?” tantang si pria. “Baik. Kami sendiri buktinya,” jawab Julio dengan senyuman merekah. “Apa maksudmu?” “Akan kuceritakan jika kau melepaskan kami.” “Jangan bodoh!” bantah si pria dengan lantang. “Baiklah. Itu artinya, kalian kehilangan kesempatan untuk membalaskan dendam kepada orang-orang biadab itu.” Julio menyeringai. Ya, dia punya kartu truf sekarang. Si pria masih berpikir. Tatapannya dingin. “Baiklah. Tapi, kalian harus ingat! Jika kalian berusaha membuat keributan di sini, maka kalian tidak akan bisa lolos begitu saja. Kelompok kami berjumlah ribuan, tepatnya sekitar tiga ribu ras Akila.” Akhirnya, ketiga manusia itu dilepaskan dari tali dan pasak yang membelenggu. Sementara itu, Darien membopong Alexio untuk ia bawa ke salah satu rumah ras Akila.   ***   “Sebelum aku mulai menceritakan tentang kami, aku ingin bertanya kepadamu sebagai ketua dari kelompok di pulau ini.” Julio mengaduk gandum yang ia taruh di kaleng bekas, dimasak dengan api dari ranting-ranting pohon. “Apa yang ingin kau tanyakan?” “Begini, Tuan Neptuno. Apakah kau tahu kalau sebenarnya ras Akila yang ada di kelompokmu dengan Akila yang bekerja untuk para petinggi itu berbeda?” “Berbeda? Apa maksudmu?” “Aku pikir kau tahu tentang hal ini. Baiklah, akan aku jelaskan.” Julio kemudian berhenti mengaduk gandum. Ia menurunkan kaleng yang digantung dengan kawat dan kayu sebagai pasak di sisi kiri dan kanan. “Aku dan anakku, Darien, serta kalian yang ada di pulau ini adalah jenis Akila keempat yang tidak pernah diteliti para ilmuan. Kita punya peluang besar untuk merobohkan Kota Plataia. Itu pun jika kau mau meminjamkan kekuatan dan kelompokmu pada kami.” “Apa kau sudah gila? Menghancurkan mereka?!” Lantas Neptuno tersenyum miring dan tertawa pelan. “Kau ingin melawan para petinggi yang memiliki alat-alat canggih itu? Jangan bercanda kau. Mana mungkin kita bisa memenangkan—“ “He, ayolah! Jangan pesimis. Memang, jika hanya mengandalkan kekuatan, kita tidak akan pernah bisa mengalahkan mereka. Tapi, bukan hanya kami. Beberapa kota sudah menaruh kepercayaan kepada kami. Mereka setuju akan meminjamkan kekuatan, alat, bahan pangan dan lainnya untuk kelancaran rencana ini,” jelas Julio berusaha meyakinkan Tuan Neptuno selaku ketua dari kelompok ras Akila di pulau terpencil ini. Tuan Neptuno memijat dagu runcingnya seraya berpikir. “Kita adalah bagian dari sejarah, Tuan Neptuno. Kita harus mendapatkan kedamaian kita. Apa kau dan kelompokmu akan terus-menerus tinggal di pulau ini selamanya? Sedangkan bahan pangan di pulau ini sepertinya sudah menipis. Kau tidak akan bisa bertahan hidup.” “Memang benar yang kau katakan. Kami adalah bagian dari sejarah kelam dunia ini. Dulu, kami adalah prajurit tangguh di sebuah kota yang sekarang kabarnya disebut sebagai kota yang hilang. Kami semua adalah veteran perang yang selalu patuh terhadap perintah atasan. Tapi, semenjak serangan kejut yang dijatuhkan Kota Plataia, kulit kami melepuh. Kami kebingungan sehingga akhirnya lebih memilih melarikan diri ke pulau ini. Tapi, kami diam-diam menyeberang ke Daratan Asterovos untuk mendapatkan informasi terbaru tentang kota itu. “Sampai saat mengetahui semua itu, kami benar-benar merasa marah pada Kota Plataia yang menyebut diri mereka orang berwibawa. Sanak saudara kami hilang dan mati. Dan itu semua karena ulah mereka yang haus kekuasaan,” tutur Tuan Neptuno dengan kepala menunduk. “Karena itulah, mari kita bersatu untuk mengembalikan kesejahteraan dunia ini, Tuan!”  Darien tiba-tiba datang dan berbicara dengan tegas dan lantang. Ia duduk kemudian di samping Julio, sang ayah. “Apakah kalian adalah ayah dan anak?” tanya Tuan Neptuno karena merasa penasaran sebab melihat keduanya begitu mirip. “Ya, benar. Dia adalah anakku yang selama ini telah kubuang—“ “Tidak, Ayah. Kau tidak membuangku,” sanggah Darien dengan lugas. “Ada apa?” Tatapan Tuan Neptuno meneliti. “Ah, itu tidak penting. Yang penting sekarang, apakah kau mau menjadi bagian dari kami, Tuan?” kata Darien mencoba mendapatkan kesanggupan pria berdagu lancip itu. “Aku tidak bisa memutuskan secara individu. Bagaimana jika aku membicarakannya dulu dengan kelompokku?” tawar Tuan Neptuno. “Baiklah. Kami akan menunggu sampai besok.” Malam telah semakin larut. Obrolan ketiganya berakhir sudah. Julio dan Darien tinggal menunggu keputusan akhir dari Tuan Neptuno untuk mau atau tidaknya ia dan kelompoknya bergabung menggempur Kota Plataia demi sebuah kesejahteraan. Sementara itu di tempat lain, tepatnya di Kota Plataia. Anderson beserta sesosok iblis tengah membincangkan sesuatu. Atau lebih tepatnya menyusun sebuah rencana. Perang besar akan segera terjadi di dunia ini untuk ke sekian kalinya. Tentu, hal ini membutuhkan kematangan suatu rencana dan strategi perang. Dan Panglima Anderson adalah ahlinya. “Sebentar lagi, dunia akan tahu siapa aku sebenarnya.” Tatapan Anderson tajam dan dingin. “Percobaan 036, ikuti aku! Kita harus melatih semua prajurit dengan giat. Tidak ada prajurit yang boleh kalah dengan kelemahan.” Lantas Anderson melangkah menuju markas prajurit di bangunan pertahanan Kota Plataia di sebelah barat. Percobaan 036 mengikuti di belakangnya. “Semua prajurit, berbaris!” perintah Anderson dengan lantang begitu pintu ruangan luas itu membuka. Semua prajurit militer berbondong-bondong menghentikan aktivitas dan segera mengatur barisan dengan rapi. “Dengar! Kita akan melakukan p*********n besar-besaran untuk semua kota. Tidak ada lagi yang perlu dinegoisasi. Semua kota yang mendapatkan kebebasan sudah banyak yang membangkang dan bertindak semaunya, tidak terkecuali Kota Eleusina dan Eretium. “Kedua kota itu sudah masuk dalam daftar hitam yang akan kita hancurkan untuk pertama kalinya,” jelas Anderson. “Dan aku akan menghancurkan para manusia bodoh itu. Ingat janjimu! Bangkai mereka adalah milikku,” sambut Percobaan 036 tak sabar. “Tenang saja. Kau boleh memakan semuanya. Mereka milikmu. Dasar iblis rakus!” ucap Anderson, kembali menyorot pandangan ke barisan prajurit. “Dan kalian! Mulai saat ini, kalian akan dilatih menjadi lebih kuat! Perang besar menunggu kita dalam tiga hari ke depan.” Anderson menyeringai jahat.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD