Terkepung di Bukit Naulus

2050 Words
Rocket float membawa Darien beserta dua kawannya sampai di Bukit Naulus. Berkat kecepatan roket yang hampir mencapai 150 km/jam membuat tiga kawan ini tiba lebih cepat daripada harus berjalan kaki berhari-hari. Karena bulan telah menggantung di dahan malam, tiga mereka harus bermalam di bukit seperti di perjalanan-perjalanan sebelumnya. Mereka juga harus mengisi perut yang kosong karena melakukan perjalanan tanpa henti dari Bukit Montius. "Hei, Alexio! Bisakah kau membantuku membuka benda ini? Ini agak susah dibuka. Sial!" Darien tampak kesulitan melepaskan sabuk yang mengikat roket float di tubuhnya. "Baiklah." Lelaki bertopi koboi itu kemudian membantu Darien melepaskan benda yang telah membawa mereka itu sampai di Bukit Naulus. Achila di sana sepertinya tampak kelelahan sehingga kemudian membaringkan tubuh di tanah bukit gersang. Ya, tidak seperti Bukit Montius yang tampak hijau dengan berbagai pohon dan rumput. Bukit Naulus justru kebalikan dari Bukit Montius. Di sini gersang dan tidak ada satu pun tumbuhan yang berani singgah. Seperti tanah terkutuk saja. Padahal itu masih berada di satu daratan. Kreoookkk!!! Sesaat kemudian Achila terbangun sebab menyadari perut salah satu kawannya telah mengalami panggilan alam. "Darien? Apa itu suara perutmu?" "T-tidak. Bukan aku." Achila dan Darien kemudian mengalihkan pandangan ke Alexio di sebelah kanan yang sedang menikmati rokok seperti biasa. "Pasti kau." Achila menukas dengan tatapan serius. "Ah, iya. Aku sudah merasa lapar sejak beberapa jam yang lalu," kata Alexio dengan pasrah. "Kalau begitu, ayo kita makan. Kita masih punya banyak persediaan makanan." "Ya, kalian berdua duluan, lah. Aku akan menyusul setelah menghabiskan rokok—" "Tidak ada penolakan! Kau bisa melanjutkannya nanti setelah makan. Apa kau lupa pesan Umba kalau kita harus menjaga pola makan kita? Kalau tidak, kita bisa mati terserang penyakit." Keseriusan yang terpahat di wajah Achila sudah bisa menjadi bukti bahwa dia memiliki jiwa yang begitu perhatian. "Darien! Kau juga!" "B-baiklah," jawab Darien dan Alexio serentak. Belum sempat menjejakkan langkah kedua, Darien dan Alexio berhenti secara tiba-tiba. Mereka menyadari sesuatu. Sebuah suara mesin terdengar. Kemungkinan besar helikopter. Benar saja. Kedua lelaki ini secara perlahan mendongak. Tiga buah helikopter black hawk milik tentara militer Kota Plataia tengah berada di atas kepala mereka. "LARI!" Alexio berseru dan berlari ke arah timur dengan kencang. Darien meraih tangan Achila dan dengan kaki seribu membawanya lari. "Tunggu, Darien! Persediaan makanan kita!" Achila mencoba menghentikan Darien untuk menyelamatkan ransel persediaan makanan yang tak sempat ia raih beberapa saat lalu. "Biarkan saja!" "T-tapi—" "Aku tidak ingin mereka menangkap kita. Kita sedang dalam bahaya! Pahami situasinya!" Pilot yang mengemudikan helikopter menyadari tiga buronan itu mencoba melarikan diri, sehingga akhirnya dua helikopter berusaha menyusul ke arah timur. Tak berselang lama, ketiga helikopter berderet membentuk lingkaran mengepung Darien dan dua kawannya. Silau lampu sorot helikopter membuat mereka mengepakkan tangan di depan mata. Satu per satu pasukan militer mendarat di tanah bukit dengan sebuah tali. Mereka sudah tidak bisa berlari ke mana pun. Mereka telah sepenuhnya terkepung. Bergerak sedikit saja, amunisi dapat menembus kepala. Sialan! umpat Darien di dalam hati. "Darien. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita akan mati di sini!" Alexio setengah berbisik sembari meningkatkan kewaspadaan. "Aku tak tahu." Lengkap sudah pasukan militer yang berkumpul membentuk lingkaran di sekitar mereka sambil mengacungkan senjata. Ada sekitar 33 tentara tengah mengepung Darien dan dua kawannya. Seorang tentara, yang sepertinya merupakan pemimpin kelompok militer itu mendekati Darien. "Kau rupanya." Lelaki berkulit putih itu berhenti di hadapan Darien. "Apa mau kalian?" Darien bertanya dengan nada menantang. "Jika kalian berani menyentuh kawan-kawanku, akan ku—" "Apa? Kau akan berbuat apa? Hah? Kau akan apa, ras terkutuk?!" Sang pemimpin militer memotong, tak mau kalah dengan tatapan Darien yang seakan mengatakan, "Aku tidak takut pada kalian!" Sang pimpinan militer berjalan maju selangkah lagi dan lebih dekat ke Darien. Sementara itu, Darien tetap waspada. Ia berposisi membelakangi kedua kawannya, seolah menjadikan dirinya sebagai perisai. Bagaimanapun, dia yang terkuat di antara Achila dan Alexio. Dan dia menyadari kewajibannya untuk melindungi mereka. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang mau kau lakukan jika kami menyakiti kedua kawanmu?" Lelaki berjanggut itu mendekatkan bibir ke telinga kanan Darien. Dia menyeringai licik. "Akan kubunuh—" Kalimat Darien tercekat karena tinju lelaki berjanggut melayang dan mendarat di wajahnya. "HEI!" Alexio ternyata tidak bisa tinggal diam menyaksikan kawannya mendapat kekerasan. Ia meraih kerah seragam pimpinan militer, lalu meremasnya dengan emosional. Tak lama kemudian, salah satu pasukan militer melepaskan tembakan ke udara. Alexio mengerjap karena terkejut. Ia pun terpaksa harus melepaskan pimpinan militer itu demi keselamatan diri. Sialan! Jika saja aku tidak kehilangan senjataku, umpat Alexio dalam hati. Pimpinan militer mengacungkan tangan sebagai komando kepada pasukan untuk segera menindaklanjuti buronan mereka. Empat pasukan maju. Dua tentara bertugas menahan Alexio dan Achila, kemudian dua lainnya memasang borgol. Alexio berusaha melawan, tetapi perlawanan itu sia-sia setelah sebuah tinju mendarat di perut. Lelaki bertopi koboi terbatuk akibat tinju tadi. Alexio sadar betapa lemah ia saat ini. Ia hanya bisa pasrah menghadapi takdir. Tentu saja, itu karena dia hanya manusia biasa yang meskipun kekuatan fisik jauh lebih tangguh. Kini, Darien berhasil dipisahkan dari kedua kawannya. Perihal ini pun membuat sebuah lubang besar di hati Darien, yang tak sanggup ia tutupi hanya dengan kata tenang. Tentu saja, makin kedua mata lelaki itu melihat sesuatu yang tidak diinginkan, makin tumbuh juga suatu emosi di benak. Suara misterius yang sering menghantui Darien selama hidup kembali memprovokasi. Darien! Apa kau akan tinggal diam melihat kawan-kawanmu diperlakukan dengan cara seperti itu? Ayolah! Jangan menjadi orang lemah! Kau itu kuat! Kau itu ras istimewa yang terlahir ke dunia ini! Kau harus melawan! Mereka membutuhkan kekuatanmu! Tunjukkan kepada kedua kawanmu bahwa kau bisa melindungi mereka. Suara-suara tersebut makin lama makin memekakkan telinga. Sehingga ketika ia memandang dua kawannya di sana diperlakukan dengan cara yang tidak semestinya, api emosi di dalam hati terus membesar dan membakar segala sifat sabar. Ya, sepertinya memang tidak ada cara lain lagi untuk melarikan diri dari pasukan militer selain melawan. Jika tidak berkorban, maka Darien tidak akan bisa melanjutkan perjalanan. Semua usaha dari awal akan sirna di malam ini. "Ras rendahan! b*****t!" Lelaki berjanggut, yang merupakan pimpinan militer, lagi-lagi melayangkan tinju ke wajah Darien. "Kau seharusnya bersyukur bisa makan dan hidup dengan tenang. Inilah akibatnya jika kau berusaha melawan kami. b******n! Inilah yang kau dapat!" Darien meludahkan cairan merah di mulut. Ia lalu membentuk tatapan bengis seperti bagaimana dirinya yang lalu. Tangan terkepal makin keras. "Kenapa? Hah? Kau marah? Kesal? Sakit hati? Kau mau memukulku? Ayo, pukul!" Pimpinan militer berjanggut menepuk-nepuk pipi kanannya, mengisyaratkan Darien untuk memukul. Tidak. Sebenarnya ia hanya mengolok-olok Darien yang tak bisa berbuat apa-apa. "AYO PUKUL!" pekiknya hingga urat-urat leher terlihat dengan jelas. Dia seolah-olah sakit hati hanya karena menatap laki-laki bermata biru itu. "DIAM!" Dan dalam sekejap mata, Darien melayangkan tinju dengan amat sangat keras. Itu berhasil membuat lebur kepala pimpinan militer hingga terurai dan bergelimang darah. Dia rubuh dengan keadaan tak berkepala. Darah segar mengucur dari leher. Tubuhnya tergeletak tak bernyawa. Sementara itu, Achila dan Alexio terperangah dengan napas tertahan. Mereka tak menyangka hanya dengan satu pukulan saja dapat membuat kepala seseorang lebur tak tersisa. Keduanya menelan ludah dengan kasar. Masih dengan tatapan heran. Melihat kejadian tadi, semua pasukan militer yang kini berjumlah 32 orang mengacungkan senapan ke arah Darien. Ya, meski tak dimungkiri bahwa sebenarnya mereka takut dan tidak ingin bernasib sama seperti pimpinan mereka. Semua pasukan pasti tahu seberapa mengerikan kekuatan yang dimiliki ras Akila. Dibandingkan kekuatan manusia, bahkan menggunakan senjata pun masih tak menjamin keselamatan mereka. Akan tetapi, karena sebuah perintah, mereka mau tidak mau harus menghadapi ras paling mengerikan di dunia. Mau tidak mau mereka harus menjalankan tugas agar bisa melanjutkan hidup. Meski mengacungkan senjata ke arah Darien, tetapi semua pasukan masih bergeming. Tak ada yang berani mengambil langkah. Melihat tatapan Akila666 saja sudah mampu membuat bulu tengkuk mereka merinding. Mereka tidak ingin membayangkan nasib buruk. Ini adalah kesempatan bagi Alexio karena empat prajurit yang menjaganya telah kehilangan kewaspadaan. Kelengahan mereka inilah yang akhirnya berhasil membuat Alexio melayangkan tendangan ke s**********n mereka. Achila berlari ke belakang Darien dengan jarak beberapa langkah. Ya, Achila sepertinya takut. Meski Darien kawannya, siapa yang tahu lelaki ini bisa saja berbuat hal-hal yang buruk. Faktanya, Darien yang saat ini ada di hadapannya bukanlah Darien yang seperti biasa berwajah datar. Namun, inilah Darien, ras Akila dengan codename 666, yang berwajah bengis. Alexio kini telah berhasil menjauh dari empat prajurit yang mengawasinya. Ia melindungi diri dengan berada di belakang Darien. Ya, sama halnya dengan Achila. Alexio juga sedikit takut menyapa Darien. Akan tetapi, Darien berbalik badan sembari menatap kedua kawannya lamat-lamat. Darien mulai melangkah secara perlahan. Jelas sekali kedua kawannya merasa takut, hingga beringsut-ingsut mundur. "T-tidak. D-Darien. K-kau harus tenang." Alexio berucap dengan terbata seraya melangkah mundur. "...." Darien tak merespons. Ia terus menjejakkan langkah mendekat pada Alexio yang semakin takut. Lelaki berbola mata biru ini lalu menatap Achila yang menghentikan langkah secara tiba-tiba. Tak berkutik sedikit pun. Mungkin di dalam hati, Achila mencoba melawan rasa takut dengan percaya padanya. Aku harus percaya pada Darien. Dia tidak mungkin melukai kawannya sendiri. Kini lelaki Akila telah tiba di hadapan Achila. Ditatapnya gadis itu lamat. Darien mengangkat tangan tinggi-tinggi, kemudian mulai mendarat. Kedua mata Achila memejam. Hatinya resah dan tentu sangat takut. Namun, yang ternyata diincar Darien bukanlah gadis bermata almond ini, melainkan logam yang membelenggu tangan si gadis. Borgol di tangan Achila terlepas berkat Darien. Alhasil, Achila tersenyum haru. Setitik cairan bening menggantung di manik. Dan di sana Alexio mengembuskan napas lega. Hampir saja, batin Alexio lega. *** Setelah akhirnya logam yang membelenggu kedua kawannya terlepas, Darien membabi buta. Bukit Naulus berubah menjadi lahan tarung. Beberapa mayat prajurit militer berserakan di sekitar. Alexio tak ingin kalah. Ia ikut serta membantu Darien membantai semua tentara yang tersisa. Dengan bermodalkan senapan dari prajurit yang telah gugur, Alexio telah membunuh sebanyak sepuluh prajurit. "Mayday! Mayday! Kami perlu bantuan! Buronan membabi buta dan memban—" Tak sempat menyelesaikan kalimat, prajurit tersebut rubuh akibat tembakan Alexio yang tepat menembus kepala. Alexio lalu memungut radio komunikasi militer yang tergeletak di atas tanah. "Prajurit! Hei, Prajurit! Apa yang terjadi?!" Seseorang di ujung radio berseru. "Prajuritmu telah kami habisi! Inilah akibatnya jika melawan kami! Kalian tidak akan bisa menang!" kata Alexio menjawab suara di ujung radio. "Berengsek! Siapa kau?!" "Kamilah pasukan revolusi. Bahkan kotamu akan kami hancurkan." "Jangan bicara seenaknya. Apa kalian tahu akibatnya jika menentang kami?" Tanpa membalas, Alexio melanjutkan perburuan. Ya, tampaknya ia bahagia bisa menghabisi prajurit militer. Alexio mungkin merasa beruntung bertarung di samping Darien, seorang ras Akila yang sangat tangguh. Beberapa lama kemudian, pasukan militer telah berhasil dikalahkan. Tak satu pun tersisa. Bukit Naulus dihiasi bercak-bercak darah. "Kita berhasil, Darien. Kita berhasil!" Alexio berseru dan menepuk pundak Darien. Namun, tak ada sedikit pun raut bahagia di wajah Darien. Justru, tatap bengisnya kini telah berubah menjadi kesenduan. Darien menunduk. "AAARRRGGGHHH!" Akila666 berteriak seraya menengadah. Teriakannya bagai jeritan hati yang meminta pertolongan untuk menyudahi peperangan ini. "Darien ...." Achila menghampiri. "Kita—" Achila berhenti ketika melihat tetesan air mata mengalir di pipi kanan lelaki itu. Dengan lugas Achila meraih lelaki ras Akila ini dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Erat dan ikut menangis. "Kita pasti bisa, Darien. Mengubah dunia yang busuk ini." "Ya, benar. Dan kita harus melanjutkan perjalanan kita." Alexio menimpali. Senyumannya tipis, tampak begitu pasrah. *** "Hei! Apakah ada seseorang di sana?" Perhatian Darien dan kedua kawannya beralih ke sebuah suara yang berasal dari alat komunikasi militer. "Apa itu?" Lantas tangis Darien berhenti seketika. Kedua mata memandang heran pada radio yang tergeletak beberapa meter di sebelah barat. "Itu adalah alat komunikasi—" "Kalian pasti mendengar suaraku. Aku akan menyampaikan kabar gembira untuk kalian." Dahi ketiga kawan ini mengerut, kemudian mulai fokus mendengarkan suara di radio tersebut. "Dokter bodoh bernama Elasmus adalah komplotan kalian, kan? Karena kalian telah membangkang dan membunuh semua pasukan militer kota, maka kami akan menghukum mati dokter bodoh ini! Hahaha!" Tentu saja, ketiganya tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Namun, mengingat bahwa suara tadi telah mengetahui sang dokter merupakan komplotan mereka, mau tidak mau mereka harus percaya. "Jika kalian tidak segera datang ke Kota Plataia, maka terima saja dokter bodoh ini hanya akan menjadi bangkai. Hahahaha!" Akhirnya, Darien serta kedua kawannya merasa dilema. Haruskah mereka kembali ke Kota Plataia, sedangkan perjalanan mereka telah sangat jauh? Sedikit lagi mereka akan tiba di sebuah kota kecil bernama Forlibia. Namun, masalah baru nan genting ini harus memaksa mereka berpikir keras. “Sialan!” umpat Alexio, kesal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD