Menenangkan Diri

1314 Words
Sudah satu jam lebih aku di atas motor, tapi tak kunjung berhenti. Tak tahu Iqbal akan membawaku kemana dan aku pun tidak minat untuk menanyakannya. Aku rasa dia ingin membawaku ke sebuah tempat yang mungkin bisa cukup menenangkanku. Ia juga membawa ransel berisi penuh yang entah apa isinya. Apa dia mengajakku berpiknik? Hingga tak lama kemudian kami sampai. Iqbal memarkirkan motornya kemudian ia membeli tiket masuk. Lalu ia menuntun tanganku mengajak masuk. Derasnya air terjun terdengar dari kejauhan. Aku bisa menebak kemana Iqbal membawaku. Begitu masuk aku disuguhkan pemandangan hijau pepohonan yang ditaksir usianya sudah sangat tua. Udara yang segar serta rimbunnya pepohonan membuat suasana asri sangat kentara terasa. Tak hanya itu, begitu sampai di depan air terjun aku dibuat takjub oleh keindahan alam ini. Dua air terjun berdampingan seperti kembar. Namun, berbeda dari alirannya yang satu deras yang satunya tidak terlalu. Di bawahnya terdapat kolam air yang bersumber dari air terjun tersebut. Airnya begitu jernih dan segar. Dasar dari kolam tersebut berupa batuan alam dengan bentuk beraneka ragam. Dan tentunya, batuan ini basah serta licin karena air yang mengguyurnya. Pengunjung diperbolehkan bermain di kolam ini. Tidak hanya bermain, pengunjung juga diperbolehkan untuk berenang di kolam ini. Atau hanya sekedar berfoto di batuan kolam dengan latar belakang air terjun. Air terjun yang jatuh ini mengalir melalui celah batuan menuju ke sungai di bawahnya. Beberapa pengunjung menikmati bermain di tepian sungai sambil menceburkan kakinya ke sungai. Di dalam sungai, masih terdapat beberapa batuan dengan bermacam ukuran. Bahkan, ada juga batu yang berukuran besar. Aku duduk di salah satu batu yang cukup besar di atas sungai. Iqbal yang menuntunnya. Setelah kami duduk, kemudian Iqbal mengeluarkan banyak makanan dari ranselnya. Benar, dia benar-benar mengajakku berpiknik. "Aku maunya sih ajak kamu ke pantai atau bahkan gunung yang lebih bebas. Tapi pantai jauh, kalau ke gunung kamu pasti capek. Jadi ke sini aja." "Terima kasih, Bal. Selama ini emang kamu yang mengerti aku." Iqbal membuka botol minuman cappucino dingin lalu memberikannya padaku. Kemudian ia juga membuka makanan snack serta coklat lalu menyimpannya di depanku. Aku diam sejenak melihat ia sibuk menyiapkan ini itu untukku. "Beruntung banget cewek yang jadi pacar kamu, Bal!" ucapku. Iqbal hanya menoleh sekilas kemudian kembali menata makanan yang terdapat di dalam kotak. Dimsum yang sudah tak lagi panas bersama sausnya ia sajikan di atas piring kecil plastik yang juga ia bekal. "Mau pake nasi gak?" Alih-alih membalas pernyataanku ia bertanya. "Malu lah! Masa dimsum pake nasi?!" protesku. "Aku ini bawa nasi, awalnya mau beli temen nasi yang cocok tapi malah nemu dimsum tadi." "Kapan kamu nyiapin semua ini?" "Tadi, pas kamu pulang ke kos," jawab Iqbal. "Tapi dimsum juga aku beli banyak kok. Makan ini aja juga bikin kenyang sih." "Iya iya udah. Kenapa kamu harus repot-repot sih? Kan di sini juga banyak tuh warung jajanan." "Tadinya aku takut gak ada makanan berat. Tapi ya udah deh, nih kamu makan dulu aja kalau kurang bilang." Aku kembali menatap lekat sahabatku itu. Ia memalingkan wajah. Kuambil kotak yang dipenuhi dimsum itu dan menyimpannya di depan kami. Sausnya aku sandingkan. "Oke sekarang aku makan, kamu juga makan. Ini cukup kok buat berdua!" ujarku seraya mengambil sumpit yang tersedia. "Ini cuma sepasang sumpitnya, Bal?" tanyaku lagi. "Sini deh!" Iqbal mengambil satu sumpit lalu mematahkannya membentuk capitan. "Beres kan?" "Hehe." Aku pun mengikuti. Suara gemuruh yang datang dari air terjun masih mendominasi. Sehingga kami berbicara harus sedikit mengeraskan suara. Dari sini aku menikmati keasrian alam sekitar juga lucunya anak kecil yang sedang bermain air. Ditambah banyak makanan yang sedang kunikmati membuat aku melupakan apa yang terjadi tadi pagi sesaat. "Queen, coba kamu berdiri di sana!" Iqbal menunjuk salah satu batu yang ukurannya lebih kecil dari batu yang kududuki sekarang. "Ngapain?" "Aku fotoin!" "Emmmm, oke! Ide bagus." Aku segera berdiri di batu yang ditunjuk Iqbal tadi. "Bikin candid ya!" pintaku dengan sedikit berteriak. "Oke! Ayo, berpose!" Pertama aku mengambil posisi membelakangi Iqbal menghadap ke air terjun. Kemudian mengambil pose sedang main air. Lalu berpose berdiri dengan tangan direntangkan serta wajah menengadah. Entah berapa gambar yang Iqbal ambil, tapi semoga hasilnya memuaskan. "Bal, sini! Foto bareng!" ajakku kemudian melambaikan tangan ke arahnya. "Di sini aja kalau mau foto bareng!" Capek karena terus berteriak aku pun menghampirinya. "Di bawah air, yuk! Lebih keren deh kayaknya!" "Ini barang-barang beresin dulu lah! Masa mau ditinggal!" ujar Iqbal tertuju pada sisa makanan serta sling bag ku yang diletakkan di dekatnya. "Gak perlu lah, bentar aja! Dari sana juga keliatan!" "Tapi nih, tasmu bawa!" "Gak usah, deh. Nanti nyemplung air malah berabe!" tolakku lagi. Iqbal menyimpan tasku ke dalam ranselnya sebelum kemudian ia beranjak menuju tempat yang kutunjuk. Beberapa foto kami ambil bersama, bahkan menyempatkan membuat bumerang. Jernihnya air membuatku ingin bermain-main air sebentar. Tak lupa aku meminta Iqbal mengambil gambarku, sebelum kemudian kutarik dia agar mencebur ke dalam air juga. Untuk beberapa saat kami larut bermain air, hingga sebagian baju kami basah. Di tengah candaan itu, Iqbal menoleh ke arah tempat semula kami duduk. Raut wajahnya menampakkan keterkejutan begitu sesuatu membuatnya sadar. "Tasku hilang!" pekiknya bergegas menuju tempat ia menyimpan ransel. Aku membuntutinya. Dan baru kusadari tasku ia simpan di sana. "Aduh! Di tas kamu isinya apa aja, Bal?" "Gak ada apa-apa sih, dompet ada di saku. HPku kan ini," jawab Iqbal. "Tapi justru tas kamu jadi ke bawa kan?! Apa aja isinya?" "HP doanh sih. Aku gak bawa uang sama sekali karena emang gak punya. Lagian udah pasti kamu bayarin kan, hehe." "Dih, malah nyengir!" omel Iqbal. "Nih, pegang HPku! Coba kamu telponin. Biar aku cari ke sana mana tau kebawa hanyut." "Oke!" Aku bergegas mengikuti saran Iqbal. Ku hubungi nomor ponselku, tapi ternyata tidak aktif. Ku coba berulang kali dan hasilnya tetap sama. Dari kejauhan Iqbal memberi isyarat tidak ada, ia juga menanyakan bagaimana dengan pencarianku. Aku menggeleng memberi tahunya bahwa usahaku juga nihil. Seingatku baterai ponselku masih terisi penuh karena memang tak digunakan sejak tadi pagi. Aku pasrah jika memang tak kunjung bisa dihubungi itu artinya seseorang memang mengambilnya. Ah, dasar bodoh bisa-bisanya aku lalai akan hal ini. "Ada data penting gak?" Iqbal sudah berdiri di depanku. "Gak sih. Cuma itu nomor Rival." "Ah, kamu masih saja …." "Enggak, bukan. Bakal susah aja nanti nagih duitnya!" "Emmm iya. Ya udah, kita pulang dulu aja sekarang!" ajak Iqbal. Aku mengangguk seraya membereskan sisa makan kami. "Harusnya tadi aku nurutin kamu," keluhku merasa menyesal karena mengentengkan hal itu. "Sudah, gak apa-apa. Nanti aku ganti." "Eh Bal, kok kamu yang ganti. Gak perlu, aku tinggal bilang bunda aja." "Enggak, ini salahku karena ajak kamu ke sini." "Aih, apa hubungannya? Jelas-jelas aku yang salah karena gak ngikutin kamu." "Udah cukup! Nanti aku ganti!" Iqbal beranjak meninggalkanku dan aku mengikutinya. Kemudian kami memutuskan pergi ke pintu keluar setelah membuang sampah bekas makan tadi. Mata ini menangkap ransel yang digunakan Iqbal tadi tergeletak di dekat pohon di belakang sebuah warung. "Bal, itu tas kamu kan?" Iqbal menoleh ke arah yang kutunjuk. "Ah, iya bener!" Iqbal menghampiri untuk memastikan. Ia lihat dalamnya, tasku juga masih ada di sana. Namun, ponselnya sudah tak ada. "Ini bekas digeledah kayaknya," ucap Iqbal. "Tunggu sebentar aku tanya tukang warung barangkali dia melihat siapa yang mengambilnya." Aku mengikuti Iqbal. Ia menanyakan perihal ranselnya kemudian menceritakan apa yang terjadi pada kami setelah penjaga warung bertanya. Alih-alih mendapat jawaban kami malah mendapat cercaan karena kelalaian kami. "Ya udah, yuk pulang aja! Kamu jangan merasa terbebani oke! Tak masalah aku kehilangan HP!" ucapku segera melihat Iqbal justru lebih tak tenang dibanding aku. Waktu menunjukkan pukul 14.00 saat kami hendak pulang. Aku teringat belum melaksanakan shalat dzuhur, maka segera kucari mushola sebelum sampai ke parkiran. "Kita shalat dulu, yuk!" ajakku pada Iqbal. Untuk beberapa saat Iqbal bergeming keheranan. Keningnya menampilkan beberapa garis halus. "Yuk!" jawabannya kemudian ia mengikuti tanpa bertanya apalagi membantah. Selesai shalat aku dan Iqbal pun bergegas pulang. Dan kami tiba di kos tepat jam empat sore.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD