Taman Bermain

1272 Words
"Queen!" Seseorang memanggilku. Aku tahu siapa dia walau hanya dari suaranya. Sejak tadi aku memang menunggunya. "Kok, lama sih!" omelku dengan memajukan bibir ke depan. Merasa kesal karena tak biasanya ia seperti itu. "Taraaaa!" teriaknya kemudian. Ia memberikan coklat silverqueen kesukaanku. Aku masih manyun. Berharap dia bisa merayuku lebih dari ini. Walau sebetulnya hatiku sudah luluh hanya dengan satu buah coklat. "Aku tadi gak sengaja lewat minimarket tiba-tiba pengen beliin kamu coklat. Sekalian beli minum juga." Ia memberi alasan tanpa kuminta. "Oh gitu!" jawabku jutek. Namun, coklat yang masih dipegangnya tetap kuambil. Sudahlah, sampai kapan pun dia tak akan merayu. Itulah sebabnya sampai saat ini ia tak pernah memiliki pacar karena kurang peka apalagi romantis. Aku pun beranjak dari tempat duduk meninggalkannya. "Haha. Dasar cewek aneh!" ejeknya. Iqbal Ramadhan, ia merupakan sahabatku sejak kecil. Sudah hampir lima belas tahun kami bersahabat jika dihitung dari saat aku usia tiga tahun. Awal kami kenal satu sama lainnya yaitu saat bunda selalu membawaku main ke rumah sahabatnya yakni ibunya Iqbal, atau sebaliknya. Seiring berjalannya waktu kami pun dekat hingga menjadi sahabat. Hari ini kami akan menuju taman bermain yang biasa kami kunjungi setiap libur sekolah. Tepatnya setiap tanggal delapan di bulan Juli. Entah apa sebabnya, yang pasti sudah seperti kewajiban datang ke taman bersama. Aku duduk di ayunan setibanya di sana. Begitu pun dengan Iqbal, ia duduk di ayunan satunya lagi yang berada di sampingku. Aku masih mengacuhkannya, tidak bertanya juga tidak mengajaknya bicara. "Masih marah? Emang kamu nungguin seberapa lama? Padahal aku sering banget nungguin kamu sampe lumutan," keluhnya sukses membuatku tertawa. "Hahaha. Apaan sih lumutan? Lebay banget deh!" "Lah iya, 'kan? Kalo mau kemana-mana kamu pasti lama, ini dululah itu dululah. Sekali-kali kamu yang nunggu gak apa-apa kali!" protesnya. "Iya … iya!" Kubuka coklat yang sejak tadi kupegang. "Oh ya, kamu yakin mau masuk ITB juga?" tanyanya kemudian. "Iya," jawabku singkat. Aku sibuk membuka coklat yang diberinya. "Yakin nih bisa jauh dari orang tua?" Ia mematahkan sepotong coklat dari tanganku. Kemudian memasukkannya ke dalam mulut sekaligus. "Iya! Emang kenapa sih?" "Aku gak yakin deh. Apalagi kalo inget waktu camping di SMP. Siapa tuh yang malem-malem nangis kejer pengen pulang?" Kebiasaannya mulai keluar yakni bernostalgia mengingat semua keburukanku. "Siapa? Gak tau tuh!" jawabku menolak ingat. Setelah ini, dia pasti ikut-ikutan pura-pura lupa. "Siapa, ya? Aku juga lupa. Pokoknya dia nangis-nangis pengen pulang, nyampe nyusahin orang nganter dia malam-malam!" Tuh, 'kan? Aku sangat hafal kebiasaannya. Walau setahun ini kita tak saling bertemu karena dia kuliah di Bandung, tetapi semua itu tak membuatku melupakan apa yang melekat pada dirinya. "Haha. Itu 'kan waktu masih SMP, Iqbal! Sekarang aku udah delapan belas tahun kali. Mantan aja udah tiga!" ucapku dengan gaya membanggakan diri. "Ya, ya, kamu benar! Masa udah punya pacar masih cengeng, 'kan gak etis?!" jawabnya sedikit sewot. Entah, aku tak tahu, apa yang membuatnya terlihat begitu kesal. Aku hanya tertawa kecil tanpa menjawab lagi. Aku sibuk menghabiskan coklat pemberiannya. Kemudian ia beranjak dari tempatnya meninggalkanku. Aku pun mengikutinya. "Mau kemana sih? Kok, buru-buru gitu!" Sedikit berlari aku mensejajarkan langkahnya. "Ke rumah kamu! Aku belum ketemu sama Bunda," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Jarak dari taman ke rumah sekitar lima ratus meter sehingga dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan antara kita. Aku heran, apa mungkin kehidupan di Bandung telah mengubahnya? Dia membuka gerbang rumah lalu masuk, sudah seperti rumah sendiri. Kemudian mengucapkan salam begitu melihat bunda sedang menyiram tanaman. Diciumnya punggung tangan bunda. Lalu bunda mengajaknya masuk ke dalam. Sedangkan aku, mereka acuhkan seolah aku tak ada. Bunda sangat menyayangi Iqbal. Ia sudah menganggap Iqbal sebagai anaknya. Ini karena ia hanya memiliki aku sebagai putri tunggal. Jika sedang bercengkrama dengan Iqbal, ia akan berkata, "Bunda pengen banget punya anak laki-laki sepertimu." Sambil mengusap-ngusap lengan Iqbal. Lalu Iqbal akan menjawab, "Ah, Bunda. Bukannya aku ini memang anakmu juga?" Begitulah yang terjadi jika mereka bertemu. Drama ini selalu terjadi di setiap pertemuan hingga aku hafal dialognya. Aku pun masuk ke dalam rumah. Iqbal sedang duduk di sofa dengan minuman serta cemilan di depannya. Tak ada bunda di sana, aku yakin ia sedang sibuk di dapur menyiapkan makanan kesukaan Iqbal. Opor ayam, itulah kesukaannya. Bagi bunda hanya butuh tiga puluh menit untuk memasaknya. Aku duduk di samping Iqbal. Memperhatikan dia yang sibuk dengan androidnya. Lalu tiba-tiba ia simpan ponselnya dan menghadap ke arahku. "Dengar! Aku akan memberikan sedikit peraturan sebelum kamu memutuskan kuliah bersamaku!" ucapnya tegas dengan kedua tangan memegang dua pundakku. "Pertama, kamu harus memilih kost yang dekat dengan kosanku. Kedua, pulang pergi hanya boleh bareng aku! Ketiga, tidak boleh percaya pada lelaki mana pun, apalagi kakak tingkat. Ya, kalo bisa sih gak boleh pacaran. Keempat, selalu izin kemana pun kamu pergi. Terakhir, emmm … pokoknya apa pun yang kamu lakukan harus ada dalam pengawasanku!" Ia berbicara tanpa jeda membuatku hanya bisa melongo keheranan. "Iqbal, kamu ini sahabatku bukan ayahku!" Kulepaskan tangannya dari pundakku. Aku beranjak menuju dapur untuk membantu bunda. Entah kenapa, aku merasa Iqbal beda dari biasanya. Tiba-tiba kesal, tiba-tiba tegas bahkan sok ngatur. Sesampainya di dapur kulihat bunda sedang menyajikan makanan di atas meja makan. "Eh, Queen. Baru aja bunda mau panggil," ucapnya setelah sekilas menoleh ke arahku. Aku menghampiri bunda. Lalu duduk di salah satu kursi di meja makan. "Jangan dulu duduk! Panggil dulu Iqbal sana gih!" titahnya kemudian. Aku pun kembali ke ruang tamu untuk memanggil Iqbal. Setelah kupanggil, dia menuju dapur dengan wajah dingin melewatiku begitu saja. Aku abaikan lalu mengikutinya dan duduk bersebrangan dengannya, sedangkan bunda duduk di sebelah kami berdua. Aku menyajikan makanan ke piring bunda juga Iqbal. Tak ada percakapan membuat bunda keheranan, terlihat pada kedua alisnya yang bertautan. "Bunda!" Tiba-tiba Iqbal membuka suara. "Ya. Ada apa, Sayang?" tanya bunda seraya memasukan makanan ke mulutnya. "Untuk kost Queen nanti deket kostan aku, ya!" "Oh, boleh. Memangnya ada kost buat cewek dekat kostan kamu?" "Emmm ada … eh, gak tahu." Iqbal tampak kebingungan. "Eh, gimana sih? Gak tahu tapi maksa banget supaya aku ngekost dekat kostan kamu!" protesku mencampuri pembicaraan mereka. "Ya, pokoknya kalau gak ada, aku bakal tetap nyari kostan cowok yang deket kostan cewek! Gak apa-apa kalau aku yang harus pindah!" Iqbal bersikukuh. "Bunda juga udah berniat buat gitu, kok! Mana bisa bunda lepasin putri bunda tanpa pengawasan. Kalo deket kamu setidaknya, 'kan ada yang mengawasi," ujar bunda tersenyum ke arah Iqbal. Iqbal menghembuskan nafas seolah merasa lega. 'Ya Tuhan, ada apa sih dengan sahabatku ini? Aku sih gak masalah mau dimana juga, tapi ini loh kenapa dia berlaga seperti seorang kakak. Tidak, bahkan seorang kakak pun aku yakin takan ada yang seperti ini.' "Sekalian aja pendaftaran sama segala macemnya kamu urusin, gak apa-apa 'kan?" tanya bunda kemudian. "Dengan senang hati, Bunda," jawab Iqbal. Kini wajahnya sumringah dan sepertinya nafsu makannya pun bertambah. Ia tampak semangat menghabiskan makanan dalam piringnya. Lalu tiba-tiba bel rumah terdengar nyaring. Seseorang datang. "Biar Queen saja yang buka, Bun," ucapku saat melihat bunda beranjak hendak membukakan pintu. "Oh, baiklah." Aku segera ke depan membuka pintu melihat siapa gerangan yang datang. Rupanya Rival yang datang, pacar baruku dua minggu yang lalu. Ah, aku lupa bahwa hari ini dia memang ingin datang ke rumah menemui bunda. Namun, sebelum aku persilahkan masuk, tiba-tiba Iqbal datang melingkarkan tangannya di pundakku. . . . Terima kasih sudah membaca karyaku. Perkenalkan saya Rossa Purnama dengan nama pena R Pursa. Pastikan kalian sudah mengikuti cerita ini dengan men-tap ikon love pada judul. Jangan lupa follow akun penulisnya juga, ya! Agar tidak ketinggalan update untuk cerita-cerita terbaru. Satu lagi, ikuti dan mari berteman di akun sosial medianya juga! Biar kita kenal. Karena tak kenal maka tak sayang! And i want to love you, My Best Reader!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD