67. The Client

1437 Words
Setelah kencannya dengan Lea di bioskop, Melvin memutuskan untuk tidak pulang ke rumah, dan memilih untuk check in di sebuah hotel bintang lima. Dia masih tidak ingin kehilangan vibes kencannya dengan Lea dan masih ingin mengistirahatkan sejenak pikirannya. Jika pulang ke rumah, kepala Melvin pasti hanya akan pening karena memikirkan banyak hal, yang berujung menyebabkannya tidak bisa tidur, dan akhirnya kurang istirahat. Lea sendiri tidak menolak ajakan Melvin untuk tidak pulang. Dan berhubung keduanya sama-sama tidak membawa baju ganti, juga perlengkapan lain untuk menginap, akhirnya mereka berbelanja kebutuhan mereka dahulu di mall tempat bioskop yang mereka datangi berada. Anggap saja, apa yang Melvin lakukan ini bertujuan untuk memperpanjang waktu kencan mereka. Dan lewat kencan ini, Melvin jadi sedikit banyak mengetahui beberapa hal tentang Lea yang sebelumnya tidak pernah dia ketahui. Salah satunya ketika mereka sedang berbelanja baju ganti, Lea tiba-tiba saja bercerita tentang ibunya, yang sama sekali belum pernah Melvin dengar. Bahkan, itu adalah pertama kalinya Melvin pernah mendengar Lea menyebut-nyebut tentang wanita yang sudah melahirkannya. Melvin pikir, Lea tidak pernah membahasnya karena memang tidak ada yang bisa dibahas soal itu. She lost her mother when she was still so young. "Nemenin kamu belanja begini jadi bikin aku ingat sama Papa dan Mama." Lea memulai ceritanya ketika ia sedang membantu memilihkan baju untuk dipakai Melvin tidur nanti di sebuah gerai brand pakaian ternama. "Nggak banyak memori tentang Mama yang aku ingat, karena waktu Mama pergi, aku masih kecil banget. Tapi, aku ingat kalau dulu kami sekeluarga sering pergi ke mall dan belanja. Papa selalu minta pilihin Mama baju apa yang harus dibeli. She had a great fashion taste. Dan Mama juga selalu tau style apa yang cocok untuk kami semua. "Tapi, Papa mau Mama yang pilihin bajunya bukan karena fashion taste Mama. It's simply because he wanted her touch in everything that he did. Termasuk sesimpel milihin baju yang bakal dipakai sehari-hari. Bahkan, Papa juga pernah cerita kalau dulu sering minta pilihin Mama underwear warna apa yang harus dia pakai." Lea tertawa kecil mengingat cerita itu. Namun, Melvin menyadari ada sedikit kesedihan di sorot matanya. "Kamu mungkin pernah dengar banyak rumor buruk tentang orang tuaku. Entah itu Papa sengaja ngebunuh Mama, Mama yang bunuh diri, dan masih banyak lagi rumor-rumor buruk lain." Lea menarik sebuah pajama satin berwarna biru gelap dari gantungan baju-baju yang ada di depannya, kemudian menyerahkannya pada Melvin. Ia pun lanjut berujar, "Trust me, semua rumor itu nggak ada yang benar. They really loved each other. Papa nggak pernah mau Mama sakit, dan selama Mama sakit pun, Papa selalu ada di sisinya. Dan sampai sekarang pun, Papa masih cinta sama Mama. Sampai sekarang, Papa nggak mau mengganti posisi Mama dengan siapa pun, dan rela membesarkan kami sendirian." Melvin menganggukkan kepala. "Aku percaya." Padahal, sebelumnya Melvin lebih percaya rumor buruk itu, sebab ia tidak tahu cerita sebenarnya. Sekarang, ia yakin kalau Lea tidak berbohong sama sekali. Memang Lea pandai berakting, namun Melvin sudah bisa membedakan kapan Lea berakting dan kapan dirinya bersungguh-sungguh. Ketika menceritakan itu, Lea penuh kesungguhan. Maka, Melvin mengambil pajama biru gelap yang dipilihkan Lea untuknya dan berujar, "Sekarang, aku juga mau kamu yang pilihin terus baju apa yang harus aku beli. I want your touch in everything that I do too." Lea tertawa, lalu mengerling menggoda pada Melvin. "Do you want my touch tonight then?" Melvin menyeringai. "All over my body, please." *** Sesampainya di hotel tempat mereka akan menginap, Melvin sudah menyiapkan romantic private dinner untuknya dan Lea di sky lounge yang ada di hotel tersebut. Lalu dilanjutkan dengan couple massage spa yang juga menjadi salah satu fasilitas di sana. Melvin sengaja memesan itu semua untuk menambah kegiatan kencan mereka, sekaligus juga untuk melepas penatnya sendiri. Karena stress yang dialaminya akhir-akhir ini, Melvin merasa jika otot-otot di tubuhnya jadi sangat tegang, karena itu ia butuh treatment massage agar bisa membuatnya lebih rileks. Lea menikmati saja apa yang sudah Melvin siapkan untuk mereka. Walaupun harus diakui, ia agak sebal. He kinda stole her moment. "Yang ngajak kamu nge-date hari ini kan aku, jadi harusnya aku yang nyiapin hal-hal romantis buat kita. Tapi kamu curang, dan ujungnya you did more than I did." Lea menyampaikan protesnya begitu mereka sudah kembali ke kamar hotel mereka setelah makan malam dan couple massage spa yang mereka lakukan.  Lea pun kembali dibuat takjub dengan tension kamar hotel yang begitu romantis. Lampu kamarnya menyala redup, sementara banyak lilin-lilin menghiasi lantai di kamar itu. Dan di atas tempat tidurnya, ada kelopak-kelopak mawar merah bertebaran. Lea pun bersidekap memandang Melvin. "Kamu pesan full package untuk pengantin baru ya?" Melvin terkekeh. "It's date night, so?" "Kita bahkan nggak bisa dibilang pengantin baru lagi." "Tapi kita nggak pernah begini sebelumnya, jadi nggak ada salahnya nyoba." Lea mendengus. "Kamu beneran curang banget." "Sssttt, just enjoy it, Azalea." Melvin pun mendekat pada Lea, memeluknya dari belakang, lalu menciumi leher perempuan itu yang terbuka bebas karena bathrobe hotel yang dipakainya. Berhubung ruang spa hotel ini berada di lantai yang sama dengan kamar mereka, mereka pun masih memakai bathrobe tersebut ketika kembali ke kamar. Lea tidak menghentikan Melvin, dan menikmati perlakuan sang suami. Lalu, Melvin membalikkan tubuh Lea hingga mereka jadi berhadapan. Lea mendongak agar netranya bisa bertatapan dengan netra Melvin yang kini memandanginya dengan sorot mendamba. "So, shall we act like newlyweds tonight?" Pertanyaan Melvin itu dijawab Lea dengan menarik tali bathrobe Melvin hingga terbuka. Melvin tersenyum miring, lantas melakukan hal yang sama terhadap bathrobe Lea, sebelum menariknya ke atas tempat tidur. Seperti beberapa malam lalu, malam ini mereka kembali pada little heaven yang mereka buat. Sesaat melupakan semua masalah yang terjadi dan mengisolasi diri mereka dari apa yang terjadi di luar. Melvin ingin melepas penatnya, dan Lea siap membantu Melvin untuk itu. Malam ini mereka kembali sibuk. Dan lagi-lagi, little heaven yang membuat Melvin lupa akan segalanya ini, membuatnya melewatkan sebuah petunjuk mengenai Savero yang muncul malam itu. *** Di sebuah villa yang ada di daerah puncak, sebuah mobil hitam baru saja berhenti di pekarangannya. Kondisi villa yang bisa dibilang private dan gelapnya malam, membuat kehadiran orang yang ada di dalam mobil hitam itu tidak diketahui oleh siapa-siapa. Brian Wangsa turun dari mobil hitam tersebut, diikuti oleh beberapa orang di belakangnya yang juga turun dari sana. Orang-orang di belakang Brian awas dengan keadaan sekitar, sementara Brian berjalan santai saja menuju villa yang terlihat begitu sepi, seperti tidak ada orang di dalam sana. Bahkan, semua lampu depannya pun padam, dan di dalam pun, hanya ada satu ruangan yang lampunya menyala. Hal itu tidak membuat Brian menghentikan langkahnya. Ia tetap berjalan menuju villa yang tersebut, sebab ia tahu jika villa itu tidak lah kosong. Orang yang ingin ditemuinya ada di sana. Hanya perlu beberapa ketukan di pintu dengan ritme yang tidak diketahui oleh sembarang orang untuk membuat pintu depan dibukakan bagi Brian dan orang-orangnya. Kondisi villa yang gelap tidak membuat Brian kehilangan arah untuk berjalan. Ia sudah hapal betul dengan seluk beluk villa ini, sehingga tahu kemana harus pergi. Yang dituju Brian adalah ruangan yang menjadi satu-satunya ruangan dengan lampu menyala di ruangan ini. Sebelum masuk ke ruangan itu, Brian terlebih dahulu dipakaikan sarung tangan lateks oleh seseorang yang berjaga di pintu depan ruangan tersebut, begitu juga dengan para anak buahnya yang mengikuti di belakang. Ada beberapa orang di dalam ruangan itu, namun tatapan Brian hanya tertuju pada kliennya yang sudah berada di ruangan itu cukup lama. Melihatnya membuat Brian tersenyum lebar. "Well, sorry kalau saya sudah membuatmu menunggu lama. Saya punya masalah saya sendiri yang harus diurus, karena itu saya nggak bisa berada di sini tepat waktu." Pria yang diajak Brian bicara itu hanya menganggukkan kepala. "It's okay," katanya. "Saya juga orang yang bisa menunggu dengan sabar." Brian tersenyum miring. "Oh, itu terbukti dengan sangat jelas. Kamu memang sangat sabar. Merencanakan ini semua sejak lama dan bersabar dengan semua yang sudah kamu hadapi selama ini. That's another level of patient, I must say." "Thanks for the compliment, but I don't need it right now," sahutnya. Tatapan pria itu pun berpindah ke sudut ruangan ini, pada suatu hal yang berhasil membuat sorot matanya berbinar karena rasa senang dan menang. Brian mengikuti arah pandang sang klien, dan reaksinya tidak jauh berbeda. "Selamat ya, akhirnya kamu berada satu langkah menuju kemenangan." Sang klien tersenyum lebar karena pujian yang diberikan oleh Brian untuknya. "Masih setengah jalan lagi menuju kemenangan sepenuhnya, tapi terima kasih. All thanks to you, Brian. Kalau bukan karena kamu, saya nggak akan bisa sampai di tahap ini." "Sudah tugas saya untuk membantumu sampai selesai." "Kalau begitu, selesaikan tugasmu untuk malam ini. Besok, kejutan untuk Melvin sudah harus siap." Brian menundukkan kepala, bagai seseorang yang tunduk pada rajanya. "Don't worry, Sir. Your wish is my command."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD