13. Taste Like Wine

2386 Words
"Do you want to have s*x with me?" "What the hell, Lea???" Lea hanya mengedikkan bahu ketika Melvin menoleh padanya. Ia sama sekali tidak terlihat malu atas pertanyaan yang baru saja diajukannya kepada Melvin tadi. Lea justru begitu tenang, seolah ia baru saja bertanya apakah Melvin mau makan ayam goreng dan bukannya mengutarakan pertanyaan yang begitu sensitif. Melvin justru memberikan reaksi sebaliknya. Ia memberi Lea tatapan yang sangat menghakimi, karena memang Melvin menganggap jika pertanyaan Lea itu sungguh gila, dan sebenarnya bisa dikategorikan mengundang dosa. "Seriously? Ini baru hari pertama kita tinggal di rumah ini dan kamu udah nanya begitu ke aku? Tepatnya saat kita lagi makan malam begini?" Lea masih bersikap biasa saja. Ia memasukkan sepotong kentang goreng ke dalam mulutnya. "Maksud aku bukan sekarang, Melvin baby," ujarnya. "Tapi nanti, pas udah nikah." "Of course. Kamu sendiri tau kalau kita harus punya anak. Dan untuk mencapai tujuan itu, kita harus have s*x. Kenapa masih ditanya?" "Mau mastiin aja." "Oh ya? Atau kamu memang mau ngajakin sekarang?" Kali ini Lea tertawa. Ia meletakkan garpunya ke piring dan bertopang dagu di meja makan dan ia sedikit mencondongkan tubuhnya, pada Melvin yang duduk di depannya saat ini. "Boleh aja, kalau kamu mau," goda Lea. Melvin mendengus. "No thanks. Aku nggak tertarik." Seharusnya Lea bisa saja terluka karena komentar Melvin itu. Tapi, ia sendiri hanya bercanda dan paham Melvin justru kebalikannya, sedang tidak ingin diajak bercanda. Jadi, Lea tidak punya alasan untuk merasa tersinggung dan ia juga tidak merasa begitu sama sekali. Tawanya justru terdengar lagi, yang mana hanya membuat Melvin kian kesal. Melvin tahu, Lea pasti memiliki kesenangan sendiri karena sudah menggodanya dan membuatnya merasa seperti ini. Belum dua puluh empat jam tinggal bersama Lea, tapi Melvin sudah merasa sebal pada perempuan itu. Oh, bahkan sepanjang hari ini mood Melvin memang tidak baik sama sekali. Alasannya tentu saja karena kejutan dari orangtuanya. Melvin sudah tidak bisa menolak permintaan orangtuanya yang menyuruh Melvin untuk tinggal serumah dengan Lea mulai hari ini. Tanpa sepengetahuannya, ternyata semua barang-barang yang ia kirimkan dari Melbourne telah diletakkan di rumah ini, sudah tersusun rapi, dan siap digunakan. Semua yang Melvin butuhkan pun sudah tersedia sehingga ia hanya perlu tinggal saja di rumah barunya. Tidak hanya Melvin, semua barang-barang Lea juga sudah ada di rumah ini. Jelas sekali kalau Lea sudah tahu lebih dulu dibanding Melvin perihal rumah baru mereka, sehingga barang-barangnya juga telah diangkut ke rumah ini. Sekarang mereka sedang makan malam berdua. Makan malam perdana mereka di rumah ini. Mayana sudah pulang usai menjelaskan semuanya kepada Melvin, sementara mereka tidak kedatangan tamu lain. Lea bilang, keluarganya sudah berkunjung kemarin ketika mereka membantu Lea mengangkut barang-barangnya. Sehingga mereka tidak punya alasan untuk datang hari ini. Melvin sendiri memilih tidur ketika Mayana pulang. Selain karena dirinya memang kelelahan, Melvin juga ingin meredam rasa kesalnya. Ia baru bangun setengah jam yang lalu dan ternyata hari sudah gelap. Lea pun langsung mengajaknya makan malam, menunjukkan meja makan yang sudah dipenuhi makanan. Bukan Lea yang memasak, tentu saja, karena mereka memiliki asisten rumah tangga yang sudah disiapkan Mayana untuk melakukan itu. Rasanya benar-benar aneh dan menyebalkan karena Melvin harus makan malam berdua saja dengan Lea. Terlebih lagi, semuanya terasa begitu personal sekarang. Ia sama sekali belum merasa terbiasa melihat Lea yang begitu berpenampilan rumahan. Perempuan itu hanya mengenakan celana pendek dan tank top. Terlihat nyaman, seperti di rumah sendiri. Yah, walau teknisnya memang rumah ini memang sudah jadi rumah mereka. Berbeda dengan Lea sudah merasa begitu, Melvin sama sekali tidak bisa. Ia tidak nyaman. Rumah ini tidak terasa seperti rumahnya. "Kamu mau punya anak berapa?" Melvin nyaris tersedak makanannya karena pertanyaan mengejutkan yang lagi-lagi diajukan oleh Lea. "Please, Lea...aku lagi nggak mood bercanda." "Aku serius," ujar Lea. "Aku betulan nanya kamu mau anak berapa? Terus, kapan kita harus punya anak? Apa setelah nikah langsung program untuk punya anak atau jeda dulu? Aku mau tau itu karena kalau-kalau kamu lupa, aku bakal jadi ibu dari anak-anak kamu." Melvin jadi kehilangan nafsu makannya karena pembahasan ini. Akhirnya, ia memutuskan untuk tidak menghabiskan makan malam di piringnya yang masih tersisa seperempat. Walau sempat sebal pada pertanyaan Lea itu, namun Melvin sadar jika pembicaraan ini cukup penting. Mereka belum membahas tentang ini dan tentu saja harus membahasnya karena memang pernikahan ini membuat keduanya dituntut untuk punya anak. Sejenak ia berpikir, sembari memandangi Lea yang masih makan kentang goreng di depannya. Meski pembicaraan ini dapat dikategorikan cukup berat, namun Lea tetap terlihat santai. "Dua atau tiga, dan kalau bisa aku mau secepatnya, karena aku nggak mau keluarga banyak tanya," ungkap Melvin tidak lama kemudian. Ia tahu, ketika dirinya menikah dengan Lea nanti, pasti pihak keluarganya akan langsung menuntut Melvin segera memberi keturunan bagi keluarga mereka. Namun, Melvin menambahkan, "Tapi terserah kamu maunya kapan. It's your body, after all. Kamu yang bakal mengandung selama sembilan bulan, jadi kapan kamu siap aja." "Wow, nggak nyangka ternyata kamu bisa sepengertian ini." Melvin memilih mengabaikan pujian itu. "Jadi, kamu maunya kapan?" "Setidaknya enam bulan atau setahun setelah nikah. Aku nggak mau terlalu cepat punya anak." "Oke." "Berarti, kita nggak perlu have s*x sebelum itu ya?" Pertanyaan Lea itu jadi membuat Melvin berpikir. Ia melirik Lea yang kini sedang menunggu jawabannya. Well, seharusnya mudah saja bagi Melvin untuk menjawab tidak, tapi ia sendiri tidak bisa memastikan situasi di masa yang akan datang. "Maybe," gumam Melvin tidak yakin. Jawaban Melvin itu membuat sebelah alis Lea terangkat. "Kok maybe sih? Tujuan kita have s*x kan untuk punya anak. Jadi, ketika kita nggak punya tujuan ke arah sana, kita nggak perlu ngelakuin itu, kan?" "Tergantung situasinya, Lea." Lea tertawa. "What kind of situation?" "I don't know." Melvin mengangkat bahu. "Bisa aja kita terbawa suasana." "You wanna have s*x with me then." Lea berujar geli. Melvin mendelik padanya dan menggelengkan kepala tidak terima. Ia baru sadar jika jawaban tadi membuatnya jadi terjebak sendiri. Melvin seolah-olah memang sangat ingin berhubungan dengan Lea di luar tujuan mereka untuk memiliki anak. Padahal, maksud Melvin bukan begitu. Ia hanya berpikir sesuai logika saja. Mereka tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Both of them are normal. Walau Lea tidak mengatakannya secara gamblang, namun dari cara perempun itu berbicara begitu santai perihal seks, ia yakin jika Lea sudah sexually active, sama sepertinya. Bisa saja, suatu hari nanti mereka membutuhkan itu. Meski sepakat untuk menjalani open marriage, tapi tidak menutup kemungkinan jika mereka menginginkan itu di saat-saat itu terduga. Namun, Melvin menjelaskan itu semua karena tidak mau jawaban yang ia berikan hanya semakin membuatnya terjebak. Jadi, ia hanya berdecak dan mendengus keras. "No, I don't." Lea semakin tertawa geli. "Pembohong." "Terserah." Melvin pun beranjak dari duduknya, tidak mau berhadapan dengan Lea lagi karena hanya akan membuatnya kian sebal saja. Lea masih saja memandangnya jenaka ketika Melvin memilih berdiri dan melangkah meninggalkan meja makan. "Melvin baby." Lea memanggilnya ketika Melvin sudah hampir meninggalkan ruang makan itu. Mau tidak mau Melvin menoleh. "Apa?" "Jadi, kita sekamar nggak?" Menurut Melvin, pertanyaan Lea itu sangat lah tidak penting. Karena jelas-jelas mereka saja sudah meletakkan barang milik masing-masing di kamar yang berbeda, menandakan bahwa mereka akan menempati kamar yang berbeda di rumah ini. Bahkan, Melvin memilih kamar di lantai atas, sedangkan Lea di lantai dasar. "Enggak. Kita belum nikah, kalau-kalau kamu lupa." "Berarti kalau udah nikah nanti sekamar?" "Enggak juga." Lea tersenyum dan mengacungkan ibu jari pada Melvin. "Okay. Don't you ever sneak into my room then." "Nggak akan." Melvin memastikan. Lagipula, apa juga urusannya mau diam-diam masuk ke kamar Lea. Ia sudah menjauh dari ruang makan ketika didengarnya Lea berseru, "Jangan lupa sama batasan privasi kita ya!" Melvin tidak menjawabnya, tapi ia bisa memastikan tidak akan lupa dengan kesepakatan mereka untuk menghormati privasi satu sama lain. *** Lea ternyata benar, Melvin akan sangat sibuk begitu ia tiba di Indonesia. Bukan sibuk karena pekerjaannya, melainkan karena persiapan pernikahannya bersama Lea. Sang ayah bahkan sama sekali belum membebani Melvin dengan urusan pekerjaan apapun dan menyuruh Melvin untuk fokus saja terhadap persiapan pernikahan. Padahal, Melvin jauh lebih memilih diberi pekerjaan segunung daripada ia harus mengurusi administrasi pernikahan, fitting baju, atau pemotretan untuk prewedding yang menurutnya sangat lah memuakkan. Bagi Melvin, semua itu jauh lebih menguras tenaga karena ia sama sekali tidak menikmatinya. Selain itu, Melvin dan Lea juga diharuskan untuk menemui beberapa orang penting untuk mengirim undangan mereka secara langsung. Hari ini saja keduanya menghadiri dua pesta dan mengirimkan undangan pernikahan mereka kepada beberapa orang disana. Omong-omong, undangan untuk Gema juga sudah dikirimkan. Melvin tidak mengirimnya secara langsung, tapi menggunakan jasa pos. Tentu saja ia tidak akan sanggup jika harus mengirimkannya secara langsung. Malam ini, pesan dari Gema datang, mengabarkan bahwa ia sudah menerima undangannya. I'm so happy for you, Melvin! Congrats for the wedding yaaaa. Aku sama Harlan pasti dateng kok, makasih undangannya! Membacanya membuat Melvin tersenyum miris. Di saat Gema berbahagia untuknya, Melvin justru tidak merasa bahagia sama sekali. Pesan dari Gema itu pun membuat perasaannya malam ini jadi mellow. Ia jadi tidak bisa tidur, meski tubuhnya lelah, malam semakin larut, dan jam sudah menunjuk ke angka dua belas. Akhirnya, Melvin memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ia butuh alkohol yang bisa membuat tubuhnya jadi lebih rileks sehingga ia bisa tidur nyenyak malam ini. Begitu Melvin sudah menginjak anak tangga terakhir dan sampai di lantai pertama rumahnya, yang pertama kali Melvin lihat adalah Lea dalam balutan gaun malamnya, sedang duduk di sofa sambil menyesap segelas red wine. Di depannya, televisi menyala, tapi Melvin sadar jika Lea tidak benar-benar menonton siaran disana. Perempuan itu sedang melamun, bahkan ia sampai tidak sadar jika Melvin berjalan mendekatinya. Lea tersentak begitu Melvin menghempaskan diri di sisi sofa kosong yang ada di sebelahnya. Ia menoleh pada Melvin, menyorotnya dengan tatapan tajam karena kesal dibuat terkejut. "What are you doing here?" tanya Melvin. "Emangnya kamu nggak liat? Aku lagi nonton TV." Melvin mengedikkan dagunya ke arah televisi. "Oh, kamu suka nonton iklan?" Lea tidak menjawab. "Kamu ngelamun, bukan nonton TV," ujar Melvin lagi. "Itu namanya pemborosan listrik." "Ngapain juga kamu peduli sama pemborosan listrik? Toh uang kamu nggak akan berkurang sampai satu persen walaupun tagihan listrik di rumah ini bengkak." Iya, Lea benar. Dompet Melvin tidak akan menangis sedikit pun meski ia harus membayar tagihan listrik yang besar, karena ia punya terlalu banyak uang. Yang dikatakan Melvin tadi hanya sekedar basa-basi saja. Melvin melirik gelas wine di tangan Lea, lalu merebutnya tanpa izin, dan menandaskan semua yang tersisa di gelas itu. Not his favorite wine, actually. Tapi, lumayan untuk menghangatkan tubuhnya. Dalam hati Melvin mengingatkan dirinya untuk segera membeli stok Domaine de la Romanee Conti 1990 yang merupakan wine favoritnya. Setelah isi gelas itu habis, Melvin mengambil botol wine yang ada di atas meja dan mengisi gelas itu lagi, lalu mengembalikannya kepada Lea. Sikap Melvin itu membuat Lea memberinya tatapan penuh penghakiman yang seolah berkata, apa-apaan? "I need alcohol too," ungkap Melvin. "Aku nggak bisa tidur." Lea menghembuskan napas. "Aku juga," balasnya. Ia mengembalikan gelas di tangannya pada Melvin. "Ambil aja, aku udah minum banyak dari tadi." Dengan senang hati Melvin menerimanya dan menandaskan lagi isi gelas itu. Kemudian ia mengisinya kembali, dan sekali lagi menandaskannya. Lalu, senyap. Tidak ada yang bicara antara Melvin dan Lea. Keduanya sama-sama duduk diam dan memandang ke arah televisi yang menyala, menampilkan sebuah iklan rokok. Tetapi, pikiran mereka berdua sama sekali tidak tertuju pada iklan tersebut. Terhitung sudah dua minggu mereka tinggal bersama di rumah ini, tapi sepertinya ini adalah kali pertama mereka duduk bersebelahan begini di luar jam makan. Biasanya, mereka hanya duduk berhadapan di ruang makan, seringnya sarapan dan makan malam. Di luar jam itu, Melvin dan Lea lebih sering menghabiskan waktu di kamar masing-masing. Dengan sikpa yang seperti itu, mereka lebih cocok disebut sebagai housemate daripada calon pasangan suami-istri. Oh, bahkan housemate anak-anak kuliahan pun rasanya jauh lebih akrab dibanding mereka berdua. "f**k, I still need it." Lea memecah senyap di antara mereka karena gumamannya itu, lalu dilanjutkan dengan dirinya yang merebut kembali gelas di tangan Melvin. Sama seperti Melvin tadi, Lea langsung menghabiskan isi gelas tersebut. Melvin jadi tertawa. "Stress banget kayaknya. Mikirin Selatan?" Nama laki-laki itu sungguh sensitif buat Lea sehingga ia langsung mendelik tidak suka pada Melvin, membuat Melvin jadi tersadar jika Lea memiliki dua kategori sikap terhadapnya, tergantung situasi. Lea yang terlalu ramah hingga ia pikir menyebalkan, dan Lea yang bad mood sehingga memberinya tatapan tidak suka. Saat ini, Lea sedang berada dalam mode yang kedua. "Bukannya kamu yang mikirin Gema? Undangannya baru sampe, kan?" Oh, tepat sasaran. Melvin merebut lagi gelas di tangan Lea, mengisinya, dan menandaskan isinya. Kali ini Lea lah yang tertawa. "Kita menyedihkan banget," ujarnya prihatin. "I really hate to think that I'm gonna marry you." "Same." Jadi, mereka memiliki alasan yang sama kenapa menginginkan alkohol malam ini. Melvin memandangi Lea yang masih menatap lurus ke arah televisi. Walau tidak terlihat raut kesedihan sama sekali di wajahnya, tapi Melvin tahu jika perjodohan ini juga menyiksa perempuan itu. Terlepas dari apa pun tujuan tersembunyi keluarga Sadajiwa lewat perjodohan ini (yang masih Melvin yakini memang ada), sama seperti Melvin, Lea juga bagai boneka yang dikendalikan oleh keluarganya. It really sucks when you can't decide what to do with your own life. Itu yang terjadi pada mereka berdua. Kali ini, Melvin jadi merasa kalau dirinya dan Lea senasib. Keduanya tidak mengatakan apa-apa lagi dan hanya saling berbagi wine hingga isi botol itu nyaris habis. Kepala mereka berdua sama-sama pusing karena terlalu banyak menenggak alkohol. Tapi, tidak bisa dipungkiri jika perasaan mereka jadi sedikit lebih karena bisa melupakan sejenak perjodohan mereka. Momen ini sepertinya adalah momen pertama dimana mereka bisa duduk berdua tanpa merasa sebal antara satu sama lain. Hanya minum sampai mabuk, tidak mengatakan apapun, dan lari sejenak dari kenyataan. "Andai aja...kamu Selatan..." omongan Lea mulai melantur. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Melvin yang kekar. Kepalanya mendongak guna memandang Melvin yang kini juga sudah menduduk menatapnya dengan tatapan sayu. He's just as drunk as her. Sudut bibir Melvin terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman kecil. "Iya, andai aja kamu Gema..." Melvin dan Lea sama-sama nyaris kehilangan kesadaran mereka akibat pengaruh alkohol. Lalu, entah siapa yang mulai duluan, jarak di antara mereka pun menipis, lalu hilang sepenuhnya ketika bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman. Keesokan harinya, mereka berdua pasti akan menyesal. Tapi, malam ini bibir mereka saling memagut dengan pikiran yang membayangkan orang lain. Dan pikiran mereka setuju akan satu hal; the kiss tastes like wine. Rasanya manis...sekaligus pahit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD