58. Sebuah Amplop

1662 Words
Setelah menjenguk Darel di rumah sakit, Melvin tidak langsung pulang ke rumah. Masih ada satu tempat lagi yang ingin dia datangi, yang mana sudah lama ia tidak datang ke sana karena terlalu sibuk dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Belum lagi, ia juga sedang dalam situasi harus menjaga jarak dengan orang yang tinggal di tempat itu. Dan tempat yang dimaksud oleh Melvin adalah apartemen yang ditempati oleh Savero di sini.   Berhubung hari ini adalah akhir pekan, Melvin belum bertemu dengan Savero sama sekali, karena memang kantor libur dan mereka tidak memiliki urusan apa pun. Karena itu, sekarang adalah waktu yang tepat baginya untuk datang ke sana. Meski Melvin sendiri tidak yakin apakah ia bisa mengorek informasi lewat Savero, namun tidak ada salahnya mencoba. Sebab hanya Melvin lah yang bisa masuk ke apartemen Savero langsung, sementara para anggota Kahraman yang bertugas mengawasinya hanya bisa mengawasi Savero dari luar saja. Melvin pun sengaja tidak bilang pada Savero bahwa ia akan datang. Dari rumah sakit, ia langsung pergi saja ke gedung apartemen Savero. Entah lah, mungkin Melvin hanya ingin mencoba peruntungannya. Siapa tahu dengan datang tiba-tiba seperti ini, ia bisa menemukan sesuatu yang bisa menguatkan kecurigaan terhadap Savero. Tapi semoga saja tidak ada apa pun yang bisa Melvin temukan. Hingga sekarang dan sampai kapan pun, ia masih tidak ingin Savero terbukti menjadi dalang dari semua masalah ini. Melvin masih ingin Savero tetap menjadi Savero yang dia kenal. "Oh wow, what a surprise visit. Tumben banget si calon bapak datang ke apartemen gue. Kirain udah lupa gue tinggal dimana." Savero menyambut Melvin dengan cukup sarkastik begitu ia membukakan pintu untuk Melvin, yang mana membuat laki-laki itu cukup meringis karena sapaan yang Savero lakukan untuknya. Savero pun sempat melirik pada dua orang pria berbadan kekar yang bisa dibilang adalah bodyguard Melvin. Mereka akan menunggu di depan pintu unit apartemen Savero hingga Melvin selesai dengan urusannya nanti. "Nggak disuruh masuk nih gue?" Savero pun sedikit menjauh dari pintu, memberi jalan bagi Melvin untuk masuk ke unit apartemennya. "Selamat datang di gubuk derita gue," ujarnya setelah Melvin masuk dan ia pun menutup pintu unit apartemennya. Melvin hanya mendengus menanggapi ucapan Savero tadi. Terlalu hiperbola jika menyebut apartemen yang ditinggali oleh Savero ini sebagai gubuk derita, karena kenyataannya sangat jauh dari gubuk derita. Meski tidak menyandang nama Wiratmaja dalam nama belakangnya, tapi bukan berarti Savero hidup miskin. Gaji yang diberikan Melvin padanya setiap bulan pun sudah cukup untuk membuat Savero memiliki penghasilan dari para karyawan yang ada di kompleks perkantoran SCBD. Apartemen yang dihuninya ini pun tidak bisa dibilang apartemen biasa, meski tidak semewah apartemen milik Lea atau Darel. Dan Savero pun menyewa apartemen ini dengan uangnya sendiri, meski Melvin sempat menawarkan untuk membelikannya apartemen yang lebih bagus lagi. Begitu masuk, Melvin langsung disambut oleh televisi yang menyala. Sepertinya Savero sedang menonton ketika Melvin datang. Dan seperti biasa, apartemen Savero pun selalu rapi, meski ada bekas kulit kacang bertebaran di atas meja depan sofa. Melvin pun duduk di sofa itu tanpa Savero suruh, memandang ke arah televisi yang kini tengah menayangkan sebuah film dari sebuah layanan streaming terkenal. Melihat sekilas adegan di film itu, Melvin bisa menebak bahwa yang ditonton oleh Savero adalah film bergenre action, karena kini adegan baku tembak sedang berjalan. Savero pun duduk di sebelah Melvin, dan lanjut makan kacang, sementara tatapannya kembali terfokus pada televisi. Terlihat sekali bahwa Savero hanya ingin bersantai di hari liburnya ini, bahkan laki-laki itu pun hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek. Sadar jika Melvin memerhatikannya, Savero pun akhirnya mengalihkan tatapan dari layar televisi jadi ke arah Melvin. "Gue tau lo ada perlu sesuatu sama gue, karena kalau enggak, mana mungkin lo mau repot-repot datang ke sini, kan? So, go on."    "Berprasangka buruk banget." Melvin mencibir. "Gue nggak ada perlu apa-apa kok. Cuma mau main aja ke apartemen lo, karena udah lama nggak ke sini." "Kangen?" "Very funny." Savero terkekeh. "Tumben banget lo nggak sibuk hari ini. Biasanya setiap hari sibuk banget. Entah itu sibuk sama urusan keluarga atau sibuk lovey dovey sama istri lo. Saking sibuknya, gue jadi gabut karena udah lama nggak dapet pekerjaan tambahan. But I love that, though. Thanks to you, gue jadi punya banyak waktu luang." Melvin hanya tertawa saja menanggapinya, padahal diam-diam ia merasa jika Savero menyindirnya secara halus dengan bicara begitu. Tidak salah jika Savero merasakan perubahan besar dalam intensitas pekerjaannya. Di saat sebelumnya Melvin selalu memberinya banyak pekerjaan hingga tak jarang membuat Savero mengeluh, belakangan ini justru Melvin tidak memberi pekerjaan tambahan apa pun pada Savero. Jangan kan memberi pekerjaan, Melvin yang semula kemana-mana selalu berdua dengan Savero, kini sudah tidak lagi begitu. Ia cenderung lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Lea atau mengurusi sesuatu dengan para anggota Kahraman. "Yah, gue sengaja ngasih lo banyak waktu luang supaya lo bisa get a life. Cari hiburan sana, atau cari cewek. Bukannya cuma makan kacang sambil nonton TV di apartemen." Melvin memilih pura-pura tidak sadar akan sindiran Savero dan memutuskan untuk play along. Savero mendengus. "Gue belum mau terlibat hubungan yang begitu dulu. Bikin repot." "Typical you." "Lo juga dulu begitu habis putus dari Gema. Tapi kayaknya sekarang udah berubah ya gara-gara Lea? The table has turned huh? Enemies to lovers?" Melvin hanya mengibaskan tangannya dan mengabaikan itu. Ia pun memilih mengalihkan topik. "Gue habis dari rumah sakit, besuk Darel." Mendengar nama Darel disebut, Savero sontak melengos. Sama seperti Darel dan keluarganya yang tidak pernah menyukai Savero, Savero pun juga merasakan hal yang sama terhadap mereka. Bahkan, mereka tidak pernah tahan berada di ruangan yang sama. Melvin sendiri sudah memberitahu Savero mengenai kondisi Darel yang kini dirawat di rumah sakit. Namun, yang diceritakannya pada Savero adalah cerita yang sama seperti yang disampaikan Tristan pada orang tuanya. Melvin menganggap jika akan lebih aman begitu. "Gimana keadaannya?" Tanya Savero yang lebih terdengar seperti basa-basi belaka. Bukan karena ia betulan ingin tahu, apa lagi peduli. "Udah mendingan sih." "I see." "Lo nggak mau besuk apa?" Tanya Melvin iseng. Savero pun tertawa, benar-benar merasa pertanyaan Melvin lucu. "Nggak salah lo ngomong gitu? Gue besuk mereka? Yang ada gue diusir kali. Ngeliat muka gue aja mereka nggak mau." Melvin menghembuskan napas berat. "Kapan coba kalian bisa akur?" "Harusnya lo tanya ke mereka, Melv, bukan ke gue." Baik Savero maupun Darel dan keluarganya memang tidak pernah senang setiap kali Melvin atau yang lain membahas tentang hal ini. Sudah sejak dulu memang keluarga Darel dan Savero serta ibunya tidak dalam hubungan yang baik. Sudah lama pula, Melvin dan keluarganya berada di antara mereka. Kedua keluarga ini bagai terpisah oleh sebuah tembok yang begitu tinggi. Dan semakin lama, tembok itu justru semakin tinggi dan kokoh, bukannya runtuh. Lalu, tiba-tiba saja Melvin terpikir dengan cerita Darel di rumah sakit tadi, mengenai sang pelaku yang katanya sangat membenci Darel, namun tetap membiarkan Darel untuk hidup. Melvin jadi penasaran. "Do you hate them that much?" Tanpa perlu berpikir dua kali, Savero menjawab, "Of course I hate them. Selama ini mereka selalu menganggap gue sebagai sampah, gimana mungkin gue nggak benci sama mereka? Gue manusia kali, Melv, bukan malaikat. Walau nggak selalu gue tunjukin dan selalu berusaha untuk sabar, tapi kenyataannya gue benci sama mereka. Gue benci sama Om Marcus yang selalu menganggap gue sebagai perusak nama baik keluarga, benci juga dengan anak-anaknya yang selalu ngeremehin gue, apa lagi si Darel. I hate him the most." "Tapi mau gimana pun kita tetap keluarga, Ro." Savero terkekeh. "That's bullshit. Mau gimana pun, gue nggak akan pernah dianggap sebagai anggota keluarga Wiratmaja, Melv. Lo sendiri tau itu, bahkan mau sebaik apapun orang tua lo juga gue yakin, mereka juga berpikiran yang sama. Gue nggak lebih dari anak buangan yang dipekerjakan karena rasa kasian doang." "What do you mean? Kenapa lo bilang begitu?" Savero memilih tidak menjawab dan hanya bergumam jika ia perlu ke toilet. Lantas, Savero beranjak dari duduknya dan memilih masuk ke dalam kamarnya untuk mungkin pergi ke toilet yang ada di sana, atau hanya sekedar meredakan emosinya. Melvin rasa, Savero sedang dalam suasana hati yang sensitif sekarang. Sebelumnya, Savero tidak pernah terlihat sekesal ini jika mereka membahas mengenai masalah ini. Melvin jelas bingung dan merasa sedikit curiga karena Savero yang bersikap seperti ini. Terlebih lagi, Savero juga menyebut-nyebut orang tuanya. Apa maksud omongan Savero itu? Melvin sungguh merasa janggal. Setelah sepuluh menit Savero tidak kunjung kembali, ia hendak menyusul Savero ke dalam kamarnya dan bicara lagi dengannya untuk menghilangkan negative vibes yang menyelimuti mereka sekarang. Meski Savero masih menjadi orang yang dicurigai dalam kasus ini, namun di saat semuanya belum terlalu jelas, Melvin tidak mau hubungannya dan Savero jadi memburuk. Ketika Melvin beranjak dari duduknya, tanpa sengaja kakinya menendang sesuatu yang ada di bawah meja sehingga benda yang semula tersembunyi itu, ujungnya jadi terlihat. Sebuah amplop dokumen berwarna cokelat. Berpikir jika dokumen itu bisa saja merupakan dokumen penting yang tidak sengaja terjatuh, Melvin pun mengambil amplop cokelat tersebut dari bawah meja. Jika tidak diperhatikan secara saksama, amplop tersebut hanya terlihat seperti amplop cokelat polos biasa yang berisikan dokumen. Melvin pun membolak-balik amplop di tangannya itu, hingga tanpa sengaja ia melihat sebuah tulisan dari sebuah cap samar terbaca olehnya. Melvin sukses dibuat tertegun begitu ia membaca tulisan yang ada di cap amplop tersebut. Hanya ada satu kata; Noir. Tanpa ada tulisan tambahan di sisi amplop yang lain, bahkan di saat Melvin sudah membolak-balik amplop tersebut untuk mencari tulisan lain.  Jantung Melvin pun langsung berdegup kencang, sebab hanya ada satu Noir yang dia tahu dan muncul di pikirannya sekarang. Dengan cepat, Melvin pun membuka tali penutup amplop tersebut. Namun, belum sempat ia menarik dokumen yang ada di dalamnya, Savero sudah terlanjur kembali dan merebut amplop itu dari tangan Melvin. "Itu apa? Gue nggak sengaja ketemu di bawah meja." Dengan ekspresi kaku yang terpasang di wajahnya, Savero menggelengkan kepala. "Bukan apa-apa. Cuma dokumen tagihan maintenance apartemen." Melvin tahu, Savero baru saja berbohong. Dengan menemukan amplop itu dan melihat bagaimana Savero mencoba untuk menyembunyikannya, rasa percaya Melvin yang tersisa untuk Savero perlahan runtuh. Satu bukti baru saja ditemukan dan meyakinkan Melvin bahwa sepertinya, Savero memang benar-benar terlibat dengan Noir.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD