09 - Lapar.

1586 Words
  Jarum jam di kamar Auriga sudah menunjukan pukul 11 lewat 15 menit dan saat itulah Queen terbangun dari tidurnya dengan keringat yanng hampir membasahi sekujur tubuhnya.    Sepertinya Auriga lupa menyalakan AC di kamarnya.   Queen melenguh dengan mata yang sudah sepenuhnya terbuka. Ia lantas menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu merubah posisinya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang sambil memijat pelipisnya yang berdenyut pusing.   Queen mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar. Keningnya berkerut dalam saat ia sadar kalau ini bukanlah kamarnya. Kalau ini bukan kamarnya, lalu ini kamar siapa? Itulah pertanyaan yang kini ada dalam benak Queen.   Queen kembali memejamkan matanya, mencoba mengingat kejadian sebelum akhirnya ia berada di kamar ini. Queen mengerang sesaat setelah ia sudah kembali mengingatnya.   Queen ingat kalau setelah ia dan Auriga keluar dari bandara, ia dan Auriga memasuki mobil yang datang menjemputnya serta Auriga. Ia pasti tertidur dalam mobil yang sedang melaju menuju apartemennya dan Queen yakin kalau Auriga lah yang menggendongnya dari mobil, lalu membawanya ke kamar yang kini ia tempati.   Queen kembali memperhatikan kamar yang kini ia huni dan ia baru sadar kalau kamar tersebut di hiasi warna hitam putih, vibesnya lelaki sekali, begitupun dengan aroma yang menguar. "Apa ini kamar Kak Auriga?" monolog Queen. Ah, dari pada ia penasaran, lebih baik ia bertanya langsung pada Auriga yang sekarang entah berada di mana.    Queen menuruni tempat tidur, memilih untuk mengganti pakaiannya dengan setelan piyama yang ia dapatkan dari lemari, lalu pergi menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan juga merapihkan sedikit penampilannya yang berantakan, sebelum akhirnya keluar dari kamar.   Queen menuruni anak tangga dengan dengan langkah pelan, dengan fokus mata yang terus tertuju pada setiap sudut ruangan. Langkah Queen terhenti saat ia melihat Auriga yang tertidur di sofa dengan posisi yang menurut Queen sangat tidak nyaman.    Queen kembali melanjutkan langkahnya, menghampiri Auriga, lalu duduk di samping Auriga yang tertidur dengan pulas.  Sepertinya Auriga tertidur saat sedang menonton televisi karena layar televisi masih menyala. Queen meraih remot yang berada di meja, lalu mematikan televisi tersebut.   "Kak," panggil Queen dengan pelan seraya menempuk ringan wajah Auriga. Auriga hanya bergumam, sama sekali tidak berniat untuk membuka matanya.   "Kak, tidurnya pindah ke kamar saja, jangan di sini, nanti masuk angin loh." Queen kembali membangunkan Auriga dan kali ini berhasil.    Kini Auriga Auriga sudah sepenuhnya sadar. Queen menyodorkan segelas air meniral yang sejak tadi sudah berada di meja pada Auriga dan Auriga pun menenggaknya sampai habis tak tersisa.    Auriga menoleh, mengamati dengan seksama penampilan Queen yang terlihat sangat seksi dan juga menggoda. Tangan Auriga terulur, membelai dengan lembut paha Queen yang terexpose, menimbulkan geleyar aneh pada setiap saraf dalam tubuh Queen. "Kamu mau menggoda Kakak hm?" bisik Auriga dengan suara serak.   "Enggak lah," bantah Queen dengan tegas. "Ayo pindah ke kamar," lanjut Queen sambil berdiri. Queen menautkan kedua tangannya pada tangan Auriga, lalu menarik Auriga agar mau berdiri.    "Kenapa terbangun?" Dengan sekali tarikan, Auriga mendudukan Queen dalam pangkuannya dan itu berhasil membuat Queen menjerit karena terkejut.   "Kak, bisa gak sih jangan buat Queen terkejut?" Hardik Queen dengan raut wajah masam.   "Jawab pertanyaan Kakak, kenapa kamu terbangun?" Auriga mengabaikan teriakan Queen dan malah memeluk Queen dengan erat. Queen mencoba untuk turun dari pangkuan Auriga, tapi tak semudah yang Queen bayangkan karena Auriga menahan pergerakannya dan semakin memeluknya dengan erat.   "Kak, lepasin ih!"    "Enggak mau, kamu jawab dulu pertanyaan Kakak. Kenapa kamu bangun?"     "Gerah dan Queen lapar."    Auriga mendesah lega begitu mendengar jawaban Queen. "Untung saja tadi Kakak sudah pesan banyak makanan."    Auriga sudah menduga kalau Queen pasti akan terbangun karena lapar, karena itulah tadi ia memesan banyak sekali makanan. Untuk makan malam ini dan juga untuk sarapan besok.    "Pesan apa saja?" Queen mendongak, beradu pandang dengan Auriga yang kini tersenyum manis padanya. Senyum yang selalu membuat jantung Queen berdebar-debar tak menentu.     "Banyak, salah satunya bakso." Auriga menunduk, mencuri satu kecupan dari bibir tipis Queen.    Queen mendengus, sambil melap bibirnya yang baru saja Auriga kecup dan apa yang baru saja Queen lakukan mendapat tatapan tajam dari Auriga. Queen terkekeh dan tanpa Auriga duga, balas mengecup bibir Auriga. "Jangan marah, Queen hanya bercanda."    "Kalau begitu cium lagi bibir Kakaknya," pinta Auriga sambil memonyongkan bibirnya.   Queen menggeleng, menolak untuk menuruti kemauan Auriga. "Queen lapar Kak dan cium bibir Kakak enggak akan buat Queen kenyang."    "Iya deh, jadi mau makan apa? Bakso atau soto ayam?"    "Bagaimana kalau makan bakso saja dulu, biar hangat, kan di luar lagi hujan deras." Queen baru sadar kalau hujan deras sedang mengguyur kota Jakarta.    "Padahal di luar hujan, tapi kenapa kamu malah kepanasan?"   "AC kamarnya enggak nyala tahu, jadi Queen kepanasan."    "Emang iya enggak nyala?" Kening Auriga berkerut dengan alis bertaut, mencoba mengingat apa tadi ia menylakan AC  kamar atau tidak? Dan Auriga baru ingat kalau ia sama sekali tidak menyalakan AC kamar.    "Iya. makanya Queen kepanasan."    "Maaf ya, tadi Kakak lupa nyalain AC_nya."    "Tidak apa-apa, lagian Queen terbangun bukan karena kepanasan tapi juga karena kelaparan."    "Ya sudah kalau begitu, ayo kita makan." Auriga berdiri dengan Queen dalam gendongannya, tadinya Queen akan turun dari pangkuan Auriga, tapi Auriga tidak mau menurunkannya.    "Eh, Queen mau turun."   Auriga tidak menanggapi ucapan Queen, terus melanjutkan langkahnya menuju dapur. Queen pun tak lagi meminta untuk turun dari pangkuan Auriga karena diamnya Auriga sudah membuat Queen sadar kalau Auriga tidak akan mau menurunkannya.   Begitu sampai di dapur, Auriga lantas mendudukan Queen di meja makan, lalu ia pun membuka kulkas dan mulai memanaskan bakso di kompor.    Auriga kembali mendekati Queen yang sedang menikmati cemilan. Auriga bukan hanya membeli makanan, tapi ia juga membeli banyak sekali cemilan. Auriga tahu kalau Queen suka sekali ngemil dan semua cemilan yang ia beli adalah cemilan yang sering Queen konsumsi.   "Bagi dong." Queen menyodorkan keripik kentang di tangan kanannya pada Auriga, tapi Auriga menggeleng, menolak pemberian Queen.   "Jangan pakai tangan."    "Terus pakai apa? Kaki?"    "Tak...." Auriga menyentil kening Queen, membuat Queen kesakitan. "kalau ngomong itu jangan sembarangan sayang, tidak baik."    "Ya habisnya kalau tidak pakai tangan pakai apa lagi coba?" Queen bertanya dengan kesal.   "Pakai bibir kan bisa." Auriga menaik turunkan alisnya, sengaja menggoda Queen.   "Itu mah maunya Kakak," sindir Queen yang tentu saja tepat sasaran. Auriga memang menginginkan Queen menyuapinya langsung dari bibir.   "Memang, jadi mau menyuapi Kakak atau tidak?"    "Enggak mau!" Tanpa banyak berpikir, Queen menolak dengan tegas permintaan Auriga.    "Yakin?"    "Iya ih, sudah sana. Itu baksonya sudah mendidih."    Auriga menoleh dan apa yang Queen katakan memang benar. Baksonya sudah mendidih, itu artinya bakso sudah siap untuk di hidangkan.    Auriga berlalu dari hadapan Queen, lalu menungkan bakso yang baru saja ia panaskan ke dalam mangkuk yang berukuran cukup besar.    "Loh, kok cuma satu mangkuk? Kakak enggak lapar?"    "Ini banyak loh, kamu habis kalau makan segini?" tanya Auriga sambil menunjuk mangkk bakso di hadapannya.   "Enggak bakalan habis, itu banyak banget dan baksonya kenapa besar-besar?"   "Lebih besar mana sama punya Kakak?"    Dengan cepat Queen melirik Auriga, menatap Auriga dengan raut wajah bingung dan penuh tanya. "Apanya?"    "Baksonya lah, memangnya apa lagi? Lebih besar baksonya atau lebih besar punya Kakak?"   Queen tidak langsung menanggapi ucapan Auriga karena ia sedang berpikir, sibuk mencerna ucapan Auriga dan begitu ia sadar dengan apa yang baru saja Auriga katakan. "Dasar m***m!" Teriak Queen menggelegar.    Auriga tertawa, gemas saat melihat wajah Queen yang kini merona. "Kan Kakak cuma tanya sayang, kenapa di bilang m***m? Jadi lebih besar mana?" tanya Auriga tidak sabaran.   "Queen lapar, mau makan." Queen enggan menjawab pertanyaan Auriga karena ia malu.   "Eh, jawab dulu pertanyaan Kakak," ujar Auriga sambil menjauhkan mangkuk bakso tersebut dari hadapan Queen.   "Lebih besar baksonya lah, dari pada punya Kakak." Queen menjawab dengan ketus pertanyaan Auriga. Auriga hanya terkekeh, lalu menurunkan Queen dari meja dan mendudukan Queen tepat di sampingnya.    "Kita makan semangkuk berdua?"   "Iya sayang, biar romantis." Auriga mulai menrauh sambal dan juga saos sambal, tidak terlalu banyak karena ia dan Queen tidak terlalu menyukai makanan pedas.    Queen pikir mereka hanya akan makan semangkuk berdua dan makan dengan sendok masing-masing, tapi ternyata tebakan Queen salah besar. Auriga tidak menginjinkannya untuk memegang sendok ataupun garpu karena Auriga sendirilah yang menyuapinya.   Queen pun menerimanya dengan senang hati. Menolak pun percuma karena Queen yakin kalau Auriga akan tetap memaksa untuk menyuapinya.   "Kak, boleh Queen bertanya?" tanya Queen di sela kunyahannya. Auriga hanya mengangguk sebagai pertanda iya.   "Kita sedang berada di hotel? Atau apartemen Kakak?"    "Kita berada di apartemen Kakak."    "Oh, dekat tidak dengan apartemen Queen?" Kalau jaraknya dekat, lebih baik Queen pulang ke apartemennya saja.    "Tentu saja dekat karena apartemen kita berada dalam satu bangunan yang sama, hanya saja berbeda lantai. Unit apartemen kamu dan Kakak hanya beda 3 lantai, unit Kakak di bawah dan kamu di atas," jelas Auriga secara rinci.   "Serius?" tanya Queen dengan raut wajah terkejut.   "Iya, Kakak serius. Sudah jangan banyak bicara, nanti tersedak!" Peringat Auriga dengan lembut. Queen pun tak lagi bersura dan keduanya sama-sama diam tak bersuara sampai makanan mereka habis.    Setelah selesai makan, Auriga dan Queen kembali ke kamar, tak lupa untuk sikat gigi. Kini keduanya sudah berada di tempat tidur dengan posisi duduk bersandar di kepala ranjang.   Dengan lembut, Auriga membawa kepala Queen agar bersandar di bahunya, lalu tangan kanannya membelai punggung Queen, membuat Queen merasa nyaman dan semakin mengantuk.    "Jangan langsung tidur sayang, biar makanannya di cerna dulu."    "Queen ngantuk Kak," lirih Queen dengan mata yang sudah terpejam.    "Ya sudah kalau begitu, tidurlah," bisik Auriga sambil mengecup dengan penuh kasih sayang ubun-ubun Queen.    Setelah 15 menit Queen tertidur dengan posisi duduk dengan kepala bersandar di bahunya, Auriga lantas menidurkan Queen dan ia sendiri memilih untuk tidur di sofa.   Auriga takut khilaf kalau tidur satu ranjang dengan Queen, terlebih cuaca di luar sana sangat mendukung untuk saling berpelukan.                                           ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD