2. Takdir

1708 Words
Entah takdir macam apa, yang sedang kujalani sekarang. Dunia yang sangat luas dengan milyaran manusianya. Aku malah menikah dengan sepupu sendiri. Rasanya bagai mimpi. Kakak yang menyebalkan kemarin, kini jadi suamiku. Sejak kecil dia selalu bikin aku menangis. Teman rebutan remot, rebutan channel TV. Sekarang gede, malah rebutan selimut. Eh? Aku tahu, kalau sepupu memang bukan mahram. Maka sah dan halal saja kalau kami menikah. Tapi rasanya ... aneh! Mas Ivan dan aku selama ini saudara. Namun kini, keadaan memaksaku harus menerimanya sebagai suami. Tahu bagaimana rasanya tidur di kasur dan selimut yang sama dengan mas sendiri? Geli. Hingga bangun pagi, terasa sangat berbeda. Harus kuterima dengan ikhlas, takdir ini. Anggaplah lagi menang lotre, dapat suami tiba-tiba. Sudah ganteng, mapan pula. Lebih untung lagi, kalau saling cinta. Bagian menyesakkan, kalau cinta sendirian. Ah ... sudahlah. Di kamar mandi, aku jongkok di depan keran, mengaliri air ditangan. Jari manisku bengkak dan merah, terasa nyeri dan sakit. Aku meringis, saat mencoba melepas cincin ditangan. "Ngapain?" Mas Ivan yang berdiri di tengah pintu mengerutkan kening, memperhatikanku. "Eh? Mau apa, Mas?" tanyaku kikuk. "Kamu ngapain jongkok di sana?" Aku menggigit bibir dan langsung berdiri. Debaran jantung yang seketika mengencang, membuatku gugup. Relaks Amanda, relaks! Mas Ivan mendekat, lalu memutar keran hingga menghentikan air yang mengucur. Astaga, kenapa aku jadi kayak orang ogeb gini, sih? "Mana, sini?" Mas Ivan menadahkan tangannya. "Hmm?" Aku kebingungan. Mas Ivan menyambar tangan ini, lalu menggelengkan kepala. Saat melihat jariku yang memerah dan bengkak. "Auw-auw," ringisku, saat Mas Ivan mencoba memutar benda itu. Lelaki itu mendorong kepalaku dengan telunjuknya. "Makanya jangan ngeyel!" Ia menatap lekat, semakin membuatku gugup. Astaga ... jantung, kumohon bersahabatlah. "Ambil sabun," titahnya. "Sabun? Buat ... a-pa?" "Mandiin kamu!” "A-aku bisa ... mandi sendiri!" Kutelan ludah susah payah. Dia malah tertawa. Lalu berjalan, mengambil sabun yang terletak di rak yang menggantung di dinding. "Kamu gemesin," kekehnya, setelah kembali di hadapanku. Dan lagi, ada rasa hangat yang saat ini mengaliri pipi. Rasanya ingin menyembunyikan wajahku sekarang. Mas Ivan menuntunku kembali menuju keran. Dengan posisi sama-sama jongkok. Ia mulai menyabuni tangan. Aku berdesis, saat ia mencoba melepas cincin dari sana. Sakit banget. "Tahan, ya," kata Mas Ivan. Aku hanya mengangguk dan aku yakin Mas Ivan tak akan melihatnya. Sebab ia masih fokus pada tangan. Bodoh, memang! Semua gara-gara jantungku. Rasanya ingin kulepas sejenak, kalau saja bisa. "Masih sakit, nggak?" "Hah?" Mas Ivan menoleh padaku, hingga tatapan kami bertemu. Dengan wajah yang sangat dekat seperti ini, ya ampun, dia sangat ... manis. "Auw, sakit." "Lepas." Ia memperlihatkan cincin yang sudah terlepas, lalu mematikan keran. Mas Ivan berdiri, beranjak keluar membawa cincin. Sementara aku masih terpaku seperti membeku. Pesonanya benar-benar menghipnotisku. "Masih melamun?" Astaga! Aku mengerjap. "Mau dimandiin?" Aku berdiri, lalu berjalan cepat menutup pintu kamar mandi. *** "Ciye ... pengantin baru udah mandi," goda Alisa yang baru saja masuk ke dapur, masih mengenakan piyama. Ia mengambil air minum di kulkas. Aku hanya tersenyum miring, malas menanggapi. Seperti pagi biasanya, saat ini aku membantu menyiapkan sarapan. Duduk di kursi sambil mengiris bawang. "Udah diapain aja sama Mas Ivan? Terus, gimana rasanya?" tanyanya, kali ini ia duduk di hadapanku. Menatapku dengan penuh minat. "Apaan sih?" Aku mengerutkan kening, tak suka privasiku diusik. Lalu, aku beranjak meninggalkannya yang terlihat sangat penasaran, menuju wastafel untuk mencuci tangan. “Aku tebak sih semalam belum, ‘kan?” Aku hanya menghela nafas. “Diam artinya iya.” Kemudian suaranya terdengar lagi, tapi dilanjutkan suara langkah menjauh meninggalkan dapur. Itu anak kepo banget, sih. ** Di rumah Oma aku tinggal bersama Alisa dan keluarganya yang lengkap. Mama dan Papa sudah meninggal dunia, sejak aku kecil. Namun, perhatian dan kasih-cinta Oma selalu membuat hati ini menghangat. Mungkin itulah sebabnya, cucu Oma yang lain bersifat sangat dingin padaku. Merasa kalau wanitaku itu, pilih kasih terhadap cucu-cucunya. Padahal kalau dipikir-pikir, siapa lagi yang mengasihiku kalau bukan Oma? Seusai sarapan aku ikut Mas Ivan pulang ke rumahnya. Sebenarnya bukan hal baru, menginjak rumah ini. Sebab dulu aku pernah tinggal, sebagai keponakan. Lalu mulai sekarang dan detik ini, jadi menantu. Tante Yasmin adalah adiknya almarhum Papa. Hidup bersamanya itu mesti tahan hati, karena bicaranya sering blak-blakan. Walau begitu, sebenarnya dia sangat tulus. "Tante seneng kamu mau tinggal di sini." Kami berjalan bersisian. "Iya, Tante. Eh, Amanda tidur di sana, ‘kan?" Aku menunjuk kamar tamu, ruangan di mana biasanya aku tidur kala tinggal di sini. "Kamar Masmu, lah." Tante Yasmin terkekeh. "Rasanya pasti aneh ya? Tante juga ngerasa sama, tapi kita membiasakan diri, ya." Aku mengangguk. "Iya, Tante." "Ah ... harusnya bukan Tante, tapi Mama." Sepupu jadi suami, tante jadi mama mertua. Aku menggelengkan kepala, takdir memang selucu itu. Aku mengekori Tante Yasmin hingga menuju kamar Mas Ivan. Membuat seketika bulu tengkuk meremang. Sumpah! Bagiku kamar ini sangat horor, ketimbang hantu yang berdarah-darah di televisi. Aku mengamati kasur yang bertabur mawar. Wangi bunga memenuhi penciuman. Membuat aku jadi membayangkan sesuatu. Malam ini aku dan Mas Ivan, tidur bersama ... di sini? "Amanda," lirih Tante Yasmin. "Kita saling menerima takdir ini ya, kamu menantu Mama. Ivan suamimu, maka lakukan tanggung jawabmu sebagai seorang menantu. Jadi istri yang terbaik dalam melayani suami." Tante Yasmin mengerling nakal. Aku menoleh ke arah pintu, sudah ada Mas Ivan di sana. Membawa tas yang berisi pakaianku. Aku jadi gugup, sebab debaran jantung yang tak lagi berirama. Berpacu sangat cepat. "Dan Ivan, kamu harus perlakukan Amanda sebagai istrimu, jangan lihat dia sebagai adikmu lagi." Mas Ivan menatapku sejenak, lalu tersenyum miring pada Tante Yasmin. "Jangan nunda momongan, Mama pengen secepatnya gendong cucu." Mama tersenyum melihat kami bergantian, lalu pergi meninggalkan kamar. Tinggallah kami berdua di sini, di kamar pengantin ini. Mas Ivan menatapku lagi. Membuatku refleks menelan ludah. Ya ampun, Tante Yasmin bilang apa, cucu? Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Di sini terasa sangat panas, ada desir aneh yang bergejolak saat ini. Sinyal bahwa aku ini manusia normal, memiliki nafsu pada lelaki tulen. Hanya saja ada rasa yang begitu mendominasi ... geli. Hhiiy. Aku mengayunkan kaki, hendak keluar dari kamar. Saat di depan pintu, Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang sangat dekat. "Ke mana?" Aku cuma menyengir, bingung mau jawab apa. Ke mana saja, asal bukan di sini. "Bantuin Mas, dulu," katanya dengan bibir berkedut. "Apa, Mas?" Aku tercengang. "Bukain sesuatu." "Bu-kain apa?" Mas Ivan menyeringai. Lalu menutup pintu kamar, dilanjutkan ia berjalan ke arah kasur. "Sini.” Ia menoleh padaku. Haruskah sekarang? Apa ini saatnya? Sungguh, aku benar-benar belum siap. "Mau apa, Mas?" Mas Ivan tersenyum geli, "kamu nggak dengar tadi Mama bilang apa?" Ragu, dengan badan gemetaran, aku melangkah mendekat. Astaga ... debaran jantung kian menggila saja. Kuremas tangan yang saat ini terasa dingin. Bukankah ini memang kewajiban seorang istri? Oke, Amanda. Lihat dia sebagai laki-laki, bukan Mas yang selama ini menyebalkan. Tepis semua rasa aneh, aku dan Mas Ivan sudah halal melakukannya. Bahkan ini ibadah dan berpahala. Perlahan melangkah, akhirnya aku sampai di hadapannya. Mas Ivan malah tertawa. Membuatku makin salah tingkah. Rasanya ingin mengurung diri di kamar mandi saja, agar terbebas dari kondisi menyebalkan ini. Kukerutkan kening sambil memperhatikan Mas Ivan, yang sedang menarik keranjang berisi banyak kado. "Jadi mau buka ini?” Aku merasa sedang dipermainkan. "Kamu pikir apaan?" Mas Ivan terkekeh, dari gelagatnya seperti memang sengaja menggodaku. Aku menghela nafas, lega. Tadinya sudah berpikir yang bukan-bukan. Dasar, dia ini! Kami tertawa bersama, konyol memang. "Is, Amanda," katanya sambil menggelengkan kepala. Aku tersenyum. "Ketawa mas, aku suka." Ia juga ikut tersenyum, "kamu mau bilang, Masmu ini cakep?" Mas Ivan menautkan ke dua alisnya. Aku mengangguk, "bodoh nggak sih, ada perempuan yang kabur dari pernikahannya sama Mas?" Raut wajah Mas Ivan, kembali menegang. Aku penasaran dengan sikapnya seolah tanpa beban. Ia sangat pandai sekali berpura-pura. "Udah ah ... ayo buka!" katanya, lagi-lagi mengalihkan pembicaraan. Ia duduk di atas karpet. Mulai mengosongkan keranjang, menumpahkan kotak yang berbalut kertas berwarna-warni. Aku juga ikut duduk, mengambil satu kado yang terlihat sangat elegan. Berbungkus kertas berwarna gold, lalu melihat kartu nama yang menempel di luar. "Linda Febriani," kataku, "boleh aku buka, Mas?" "Linda ... sekretarisku, buka aja." Aku membukanya dengan hati-hati, takut kalau di dalamnya ada barang berharga. Karena dilihat dari luar, kutebak isinya barang branded, pasti mahal. Dan jeng-jeng, sepatu tinggi berwarna hitam nomor tiga puluh enam. Sangat cantik dan elegan, dan aku hampir lupa kalau semua hadiah ini tentunya bukan untukku. "Selera Linda bagus, ‘kan?" "Hmm ... bagus banget. Sayangnya nggak muat." Aku menatap lekat manik hitam Mas Ivan, "semua ini untuk Mbak Amira." Mimik wajah Mas Ivan berubah, matanya memerah. Dari sini aku paham, laki-laki yang kuat secara fisik, bukan berarti jiwanya tak pernah rapuh. Maka dari sanalah ia membutuhkanku sebagai pendampingnya, berperan sebagai penguat. "Buka yang lain aja, Mas.” Aku melempar sepatu, memasukkannya kembali dalam keranjang yang tadi dikosongkan. Aku tahu, Mas Ivan sedang menyembunyikan kesedihannya. Ia tersenyum dan tertawa, padahal sesungguhnya ia sangat hancur. Terluka sangat dalam. Pura-pura tidak mengetahui kesedihannya, mungkin lebih baik. Biasanya laki-laki terlihat tegar, hanya demi sebuah harga diri. Ingin diakui bahwa ia baik-baik saja, padahal sebaliknya. Aku mengambil sebuah kado lagi, lalu membukanya. Kali ini isinya sebuah bra, sepertinya mahal. Dan lagi bukan ukuranku. Lesu, aku melempar ke dalam keranjang. "Aa!" jerit Mas Ivan, melempar sesuatu ke atas kasur. "Eh ... ada apa?" tanyaku heran. "Nggak papa." Mas Ivan meraup wajahnya, kasar. Aku mengernyit. Karena penasaran, aku melihat ke atas kasur. "Ini cicak mainan, Mas. Gini aja kok takut?" Aku mengapit ekor hewan melata yang terbuat dari karet, dengan ibu jari dan telunjuk, sambil mengayunkannya pada Mas Ivan. "Bukan takut, tapi geli, hiiy ...." Mas Ivan mengangkat bahunya, geli. "Ini bukan betulan, Mas. Ini mainan," godaku. Kini kuayunkan cicak sangat dekat dengannya. Dua bahunya terangkat, diikuti kepalanya yang menggeleng kecil. Khas orang geli. "Stop Amanda! Please!" katanya penuh penekanan. Aku menutup mulut dengan tangan dan tertawa, "Mas Ivan takut?" "Nggak ada yang lucu, aku bukan takut tapi geli," kilahnya. "Aku baru tau, kalau Mas Ivan takut ini." "Geli, bukan takut." Terus, apa bedanya hubungan kita dengan cicak? Yah, sama-sama menggelikan. Aku melempar cicak mainan ke keranjang. Lalu berbaring di kasur. Membuka kado membuat mood memburuk. Bagaimana tidak, semua isinya untuk Mbak Amira. Aku semakin sadar, kalau aku di sini hanya pengantin pengganti. Cincin kekecilan, kado pun semua tak ada yang muat. Nasib!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD