Chapter Four

1433 Words
Bip...bip...bip Bip...bip...bip Bip...bip...bip Suara alarm ponsel membangunkan Olin dari tidurnya. Ia mengerang pelan sebelum membuka matanya. Untuk sejenak ia merasa bingung dengan tempatnya berada. Lalu ketika menoleh kesamping, ia cepat-cepat menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutnya. "Astaga! Apa yang terjadi?!" Ucap Olin pelan. Ia sangat terkejut, terlebih lagi ia tidak memakai sehelai benang pun ditubuhnya. Astaga! Bagaimana ini? Olin mengedarkan pandangannya. Ia melihat pakaiannya yang berserakan di dekat ranjang. Samar-samar ia mulai mengingat apa yang terjadi. Semalam setelah ia selesai minum, ia hampir pingsan dan Dimitri menangkap tubuhnya, menggendongnya dan membawanya ke salah satu kamar hotel tempat diadakannya pesta. Lalu entah setan apa yang merasukinya, Olin tiba-tiba mencium Dimitri, meracau tidak jelas disertai isak tangis. Aish! Olin menepuk dahinya. Mau diletakkan dimana wajahnya setelah ini?! Ia terlalu malu untuk bertatapan dengan Dimitri!  Ketika merasakan kasur disebelahnya bergerak, Olin langsung berdiam kaku. Ia menghela nafas pelan ketika Dimitri masih tertidur. Cepat-cepat, Olin turun dari ranjang, memakai kembali pakaiannya. Bahkan mengabaikan selangkangannya yang berdenyut nyeri dan keluar dari kamar itu. Dan mulai saat ini, Olin akan mencoba menganggap semuanya tidak pernah terjadi. **** Tapi  menganggap semuanya tak pernah terjadi, ternyata tidak semudah yang Olin bayangkan. Ia bahkan harus ke kampus dengan cara mengendap-ngendap agar tak ketahuan Dimitri. Karena yang ia dengar, lelaki itu terus saja mencarinya tanpa menyerah.  Dua hari ini, Olin berhasil menghindari Dimitri. Tapi kali ini, sepertinya keberuntungan tak berpihak padanya saat ia melihat Dimitri berdiri di depan pintu keluar kampus. Olin langsung berbalik arah, berniat untuk kabur sebelum Dimitri menemukannya. Tapi ternyata semua terlambat karena Dimitri sudah mencekal lengannya.  "Kita perlu bicara!" Olin mencoba melepaskan cekalan Dimitri ditangannya. "Dimitri...aku harus segera pergi. Aku...aku.." "Aku apa? Kau mau beralasan ingin masuk kelas? Kelasmu sudah berakhir satu jam yang lalu."  Olin hendak berbicara. "Kau juga ingin beralasan jika kau harus bekerja?" Dimitri menatap jam tangannya. "Sekarang jam dua siang, dan kau masuk kerja jam lima sore. Sekarang kau mau beralasan apa lagi?" Olin menatap Dimitri tidak percaya. Bagaimana bisa Dimitri mengetahui semua itu?! "Aku harus pulang! Itu alasanku yang sebenarnya." Olin menarik tangannya dari cekalan Dimitri. Dimitri menghela nafas. "Kita perlu berbicara, Lin." "Tidak ada yang perlu di bicarakan!" Tolak Olin halus. Mengingat malam itu membuatnya benar-benar malu. "Tentu saja ada! Tentang malam itu—" "Berhenti mengungkit tentang malam itu, Dikitri. Itu semua salahku, jadi tidak perlu merasa bersalah." Olin memundurkan langkahnya. "Malam itu aku tidak menggunakan pengaman."  Deg! Olin langsung menghentikan langkahnya. Untung saja saat ini suasana sedang sepi, jadi tidak ada orang yang mendengar ucapan Dimitri itu. "Kau bisa hamil, Lin." Ucap Dimitri lagi ketika Olin hanya diam. Olin mencengkram tasnya. "Kita hanya melakukannya sekali, jadi tidak mungkin aku hamil." "Tapi kemungkinan itu tetap ada, Lin." Olin menatap Dimitri. "Kau tenang saja, aku akan pastikan jika aku tidak akan hamil. Dan kau tidak perlu takut." Mata Dimitri terbelalak. "Kau...tidak berniat menggugurkannya 'kan?" Karena jika itu terjadi, Dimitri tidak akan tinggal diam. "Kita lihat saja nanti. Tapi aku yakin jika aku tidak akan hamil." "Berjanjilah padaku, jika kau akan memberitahuku kalau kau benar-benar hamil." Olin menghela nafasnya. "Oke. Aku berjanji." *** "Jadi bagaimana bisa kau pergi tanpa memberi kabar sama sekali?" Tanya Austin sambil menyesap minumannya. Ia memandang Olin, sahabat sekaligus orang yang ia anggap sebagai adik sendiri. Ia masih tidak percaya jika mereka akan bertemu kembali setelah hampir 6 tahun lamanya. "Maafkan aku. Aku terpaksa pergi karena suatu alasan," balas Olin. Karena ia tidak mungkin mengatakan alasan kepergiannya dari New York ke Seattle.  "Kau ini alasan saja." "Aku serius, As." "Ya ya terserah kau. Sekarang kau tinggal dimana?" "Aku tinggal di 47th Avenue Southwest, Seattle.” "Boleh aku main kerumahmu?" "Tentu saja." Olin melipat kedua tangannya dimeja, menatap Austin dengan pandangan serius. "Jadi...apa kau direktur utama Dinel. Corp?" "Bukan, aku bukan direkturnya. Aku hanya seorang sekertaris disana." Olin menghela nafas. "Ku pikir kau pemiliknya." "Memangnya kenapa kalau aku pemiliknya?" Austin menaikan sebelah alisnya. "Aku akan menghabiskan uangmu untuk membelikanku tas mahal." Olin tersenyum miring. Austin tertawa "Kau ini! Bagaimana bisa Olin yang pendiam jadi mata duitan seperti ini? Aku kasihan dengan orang yang akan menjadi suamimu kelak, bisa-bisa dia bangkrut duluan." Olin mendelik kesal "Dasar pelit!" "Memang." Austin kemudian menatap Olin hangat. "Kau baik-baik saja selama tidak ada aku disisimu?" "Ya begitulah." Dulu, kadang ada saat Olin merasa kesulitan dengan kehidupannya. Jika tidak ada Al yang menjadi penyelamatnya, Olin mungkin lebih memilih mati. "Syukurlah. Aku pikir kau dalam keadaan susah sewaktu aku tak berada di sampingmu." Olin tersenyum tipis. Ya, andai Austin tahu jika dia hampir saja putus asa waktu itu. Untung ada Andrea yang mau membantunya kapanpun dia butuh bantuan." Austin berdehem, menarik perhatian Olin dari masa lalunya. "Oh iya, bagaimana dengan babymu?" Tanya Austin. Ia memang mengetahui semua cerita hidup Olin, termasuk saat Olin sedang mengandung tanpa suami. Saat itu Austin sangat marah pasa orang yang menghamili Olin. Ditambah lagi Olin malah merahasiakan siapa Ayah dari bayi yang dikandungnya. Austin berniat bertanggung jawab untuk Olin meski bukan dia ayah kandung dari bayi yang dikandung Olin. Karena Austin tidak masalah dengan itu, karena dia menyayangi Olin seperti menyayangi adiknya sendiri. Namun Olin menolak semua itu, dia tidak ingin terikat apapun dengan yang namanya hubungan. Hingga disaat Austin menyerah untuk bertanggung jawab, Olin malah memilih pergi tanpa memberitahu Austin sama sekali. Dan sekarang Austin bersyukur karena mereka bisa bertemu lagi. "Kau tau, dia bukan lagi seorang baby—Astaga!!" Olin menepuk dahinya setelah menatap jam. Ia lalu berdiri. "Kenapa?" Austin ikut berdiri. "Aku harus menjemput Al, dia pasti lama menungguku." Olin ingin melangkah, namun pergelangan tangannya dicekal oleh Austin. "Kenapa lagi?! Aku harus cepat." "Kau lupa? Kau kesini bersamaku, jadi dengan apa kau akan menjemput Al?" Olin tersenyum malu. Benar juga, tidak mungkin dia menjemput Al menggunakan taksi, itu akan memakan banyak waktu untuk menunggu taksi terlebih dahulu. "Ayo." Austin menggandeng tangan Olin, membawanya melangkah menuju mobil Austin. **** "Bagaimana hari-harimu selama beberapa tahun terakhir?" Tanya Austin sambil menyetir, sementara Olin duduk di sebelahnya sambil menatap keluar jendela. “Not bad.” Ia menoleh pada Austin. “Hanya menjalani hidup dengan biasa. Bangun tidur, mandi, makan, bekerja dan mengurus anak." "Aku belum tahu siapa nama anakmu." "Namanya Alexander Fernandez, aku biasa memanggilnya Al." Austin mengangguk mengerti. "Nama yang bagus, tapi kenapa namanya harus Fernandez? Kau tidak memasukkan nama keluarga dari Ayahnya?" Olin terdiam. Ada alasan kenapa dia tidak memakai nama keluarga dari Ayah kandung Al, ia tidak ingin nantinya nama itu menjadi masalah untuk anaknya. Bagaimana jika pria itu tahu? Olin tidak mau jika pria itu tiba-tiba merebut Al darinya. "Lin?" Olin tersadar. "Ya?" "Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau tidak memasukkan nama keluarga Ayah Al?" "Ya...aku hanya tidak mau saja." Elak Olin. "Lagi pula kenapa kau jadi ingin tahu sekali?" "Aku 'kan hanya bertanya." Olin mencibir. "Berhenti disitu," Ia menunjuk ke arah sekolahan Al. "Al bersekolah disini?" Tanya Austin sambil menatap bangunan sekolah di depannya. Ada beberapa anak yang masih terlihat bermain kejar-kejaran bersama. Untuk sejenak Austin jadi mengingat masa kecilnya yang suram. "Iya, Al sekolah disini." Olin melepas sabuk pengamannya. "Aku turun dulu. Kau tunggu disini, ya?" "Oke." Olin membuka pintu mobil dan turun dari mobil. Ia berjalan sedikit cepat memasuki area sekolah. Keningnya sedikit mengernyit ketika tak menemukan Al diantara anak-anak yang tengah bermain kejar-kejaran. "Mrs. Olin?" Olin berbalik ketika seseorang memanggilnya. "Oh Miss Deniza," Ia tersenyum pada guru Al itu. "Apa Anda ingin menjemput Al?" "Iya. Tapi dimana Al sekarang? Aku tidak melihatnya dari tadi." Tanya Olin sambil menatap ke sekitar. "Al sudah pulang sejak tadi, Mrs." Pandangan Olin langsung tertuju pada Deniza. "Tunggu! Pulang? Pulang bersama siapa?" Ketakutan mulai membanjiri benaknya. Deniza tersenyum. "Anda tenang saja, Mrs. Al pulang bersama Mr. James." Olin bernafas lega, meski sebenarnya ia kesal dengan James yang tidak menelpon jika mau menjemput Al. Dasar pria itu! "Terima kasih, Miss Deniza. Saya peemisi dulu." Sambil menunjukan senyuman, Olin berbalik menuju mobil Austin. Menutup pintu dengan kesal. Austin sedikit terkejut. "Ada apa, Lin?" Tanya Austin ketika melihat Olin sibuk dengan ponselnya. "Dan dimana Al?" "Halo, Andrea?" Olin berbicara melalui telpon, ia melirik Austin dan memberitahunya untuk menunggu sebentar. Austin pun mengangguk. “Al sudah ada di kantor?" "...." “Baiklah. Tolong jaga Al sebentar, ya? Aku akan segera kembali.” "...."  "Oke. Terima kasih, Andrea." "Olin, sebenarnya ada apa?"  Olin membuka matanya. "Al ternyata sudah pulang dengan James." “James? Maksudmu Mr. James?” “Iya.” “Kalian tampak dekat. Apa kalian memiliki hubungan?” “Hanya sebatas teman.” “Oh begitu.” “Ayo antar aku ke kantor. Al pasti sudah menunggu lama.” Austin mengangguk lalu menjalankan mobilnya, menuruti permintaan Olin untuk kembali ke kantor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD