Chapter Two

1372 Words
Olin tadinya tengah fokus membaca novel di halaman kampus sebelum ketenangannya harus musnah saat seseorang berdiri di depannya. Perlahan Olin menutup novelnya dan mendongak, terkejut saat menemukan Dimitri disana. "Kau sedang apa?" tanya Dimitri lalu mengambil tempat duduk disamping Olin. Jarak duduk mereka sangat dekat, sehingga membuat beberapa orang menoleh pada mereka. Itu tentu saja membuat Olin tidak nyaman. Ia lantas segera berdiri. "A-aku harus ke perpustakaan!" Dimitri mengernyit. "Bukannya kau baru saja dari perpustakaan." Ia menunjuk novel di tangan Olin. "Kau meminjam itu dari perpustakaan 'kan?" "Dari mana kau tahu?" tanya Olin pelan. "Aku mengikutimu," jawab Dimitri jujur. "Kenapa seperti itu?" "Karena aku suka mengikutimu." Kata-kata Dimitri terlalu membingungkan bagi Olin, untuk itulah ia memilih segera berbalik di saat beberapa perempuan menatap sinis padanya. "Olin, tunggu!" Dimitri menghentikan langkah Olin. "Aku mau memberikan ini padamu," ia memberikan selembar undangan. "Undangan? Untuk apa?" Karena selama berkuliah di sini, tidak ada satu orang pun yang mengundang Olin. Jadi ia agak bingung saat seseorang tiba-tiba memberinya undangan. "Salah satu temanku berulang tahun, dan aku ingin kau datang bersamaku." "Dimitri..." Olin membenarkan letak kacamatanya sambil membasahi bibir. "Sepertinya aku tidak bisa. Lebih baik kau ajak orang lain saja." "Tidak bisa. Aku ingin kau yang datang bersamaku." paksa Dimitri. "Percuma kau memberikan undangan itu padanya, Dimitri." Olin mengangkat pandangan. Matanya langsung bertatapan dengan Sharon, membuat langkah Olin seketika surut ke belakang. Sharon berjalan mendekat, mengambil undangan yang berada di tangan Dimitri. "Lebih baik kau memberikan undangan ini untukku." Ia menatap sinis Olin. "Karena gadis aneh ini tidak akan mau ke sana. Itu bahkan bukan tempatnya. Tempatnya itu di rumah. Minum s**u bayi...dan tidur, itu lebih pantas untuknya." Ejek Sharon. Olin menundukan kepalanya. Kata-kata yang diucapkan Sharon memang benar. Di sana sama sekali bukan tempatnya. Orang sepertinya tidak akan pantas berada di pesta itu. "Sayangnya aku tetap ingin datang bersama Olin, Shar." ucap Dimitri tajam, membuat Olin menatapnya seketika. Ia tidak menyangka jika Dimitri akan mengatakan hal itu. Sharon yang merasa malu dengan penolakan Dimitri itu lantas segera berbalik dan pergi dari sana dengan langkah menghentak. Dimitri kemudian menatap Olin, mengamit tangan perempuan itu dan meletakan undangan disana. "Aku akan menjemputmu jam 7 malam. Oke?" "Tapi—" "Bye, Lin!" Dimitri pun berbalik lalu berlari pergi, membuat Olin tidak punya pilihan lain selain menuruti Dimitri. **** Jam 7 malam Dimitri benar-benar menjemputnya. Olin yang malam ini hanya menggunakan gaun biasa dan make up seadanya, merasa sangat malu ketika melihat penampilan Dimitri yang berbanding terbalik dengannya. Mereka berdua terlihat bagaikan pembantu dan majikan. Apa Dimitri tidak malu membawanya ke pesta dalam keadaan seperti ini? Sepertinya Olin akan membatalkan saja. "Dimitri...aku—" "Masuklah, Lin." Dimitri membuka pintu mobilnya untuk Olin. Olin menggeleng. "Aku tidak mau merusak pestanya." Pasti orang-orang di sana akan menertawakannya, dan Olin tidak mau membuat dirinya terlihat bodoh lagi. "Maka dari itu aku memyuruhmu masuk," Dimitri menegakan tubuhnya, mengamit lengan Olin dan mengajak perempuan itu masuk ke mobil. Ia tersenyum hangat ketika Olin menatapnya dari balik kacamata. Setelah itu Dimitri ikut menyusul masuk, menjalankan mobilnya menuju suatu tempat. Selama di perjalanan sesekali ia akan melirik Olin yang hanya menunduk sambil memainkan jarinya sejak tadi. "Kau suka sekali menunduk ya?" Pertanyaan Dimitri membuat Olin mengangkat pandangannya. "Maksudnya?" "Maaf, aku tidak bermaksud untuk berbicara seperti itu. Aku hanya ingin kau lebih percaya diri lagi. Jadi kau tidak perlu menunduk terus-menerus." "Tapi aku lebih nyaman seperti ini." "Setelah ini, aku mohon padamu untuk tidak menunduk lagi." ucap Dimitri sebelum menghentikan mobil. Ia turun dari mobil, mengajak Olin masuk ke salah satu butik yang ada di depan mereka. "Kenapa kita ke sini?" tanya Olin gugup. Ia sangat tidak nyaman saat mengetahui beberapa pegawai menatapnya dari atas ke bawah lalu saling berbisik pelan. Dimitri tidak menjawab. Ia mengedarkan pandangan. Dan tersenyum saat melihat seorang wanita muncul dari dalam butik. “Amanda!" "Hei, Dimi." Wanita bernama Amanda itu tersenyum, memeluk Dimitri sejenak sebelum menatap Olin yang bersembunyi di balik tubuh Dimitri. "Dia Olin. Orang yang aku maksud." Amanda tersenyum hangat, mengulurkan tangannya pada Olin. "Aku Amanda," Olin balas menjabat tangan Amanda. "Olin." Kemudian Amanda kembali menatap Dimitri. "Jadi apa yang harus aku lakukan hari ini?" "Aku percayakan dia padamu." Dimitri mendorong pelan Olin agar ikut bersama Amanda. "Dan jangan lama." "Kau tenang saja." Amanda mengedipkan matanya lalu menggandeng Olin untuk duduk di salah satu kursi. Meski bingung, Olin hanya diam saja. Ia terlalu sungkan untuk bertanya. Olin menatap Dimitri dari cermin di depannya. Mulai merasa berdebar ketika Dimitri balik menatapmya. Sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya? Olin pun segera mengalihkan pandangan ketika Amanda melepas kacamatanya. Wanita itu mulai menatap wajah Olin secaa serius. Kemudian mengambil peralatan make up-nya. Dengan terampil, ia mulai mengoleskan sesuatu pada wajah Olin lalu lanjut ke hal lainnya. Hingga tak terasa hampir setengah jam mereka berada di sana. Dan ketika Olin membuka matanya, ia hampir tidak percaya melihat pantulan dirinya di cermin. Ya Tuhan! Benarkah itu dirinya? "Selesai. Sekarang kita ke bagian gaun." Amanda menuntun Olin agar berdiri, mengukur tinggi Olin dan mengambil beberapa gaun. Wanita itu kemudian menyuruh beberapa pegawainya untuk menemani dan membantu Olin diruang ganti. Olin sempat menoleh pada Dimitri sebelum memasuki ruang ganti. Ia mengamati Dimitri dan Amanda yang tengah mengobrol sengan santai sesekali tertawa lepas. Dan untuk pertama kalinya, Olin merasa tidak rela melihat itu. **** "Mommy, lihat apa yang Al gambar!" Olin yang tengah duduk menonton di ruang TV, menoleh ketika mendengar suara Al dari balik tubuhnya. Jantungnya seakan terhenti saat melihat anaknya itu berlari menuruni tangga dengan langkah cepat. "Al, berapa kali Mommy ingatkan jangan berlari di tangga, itu bahaya." Ia bernafas lega saat Al sudah sampai di bawah. Anak itu tidak menggubris nasehat Ibunya, lebih memilih untuk duduk di sebelah Olin. "Lihat, Mommy. Tadi di sekolah Al belajar menggambar." Ia menunjukan buku gambarnya yang masih tertutup. Olin seketika tersenyum senang. "Oh iya? Memangnya apa yang Al gambar, sayang?" Al memberikan buku gambarnya pada Olin, menyuruh sang Ibu untuk melihatnya. "Al menggambar Mommy dan juga Daddy." Jawab Al senang. Gerakan tangan Olin yang sedang membuka buku gambar Al terhenti mendengar kalimat terakhir Al. Daddy? Olin lalu memandang Al yang tengah tersenyum dengan mata berbinar bahagia. "Al juga menggambar....Daddy?" Al mengernyit mendengar pertanyaan Olin. "Memangnya kenapa, Mom? Apa itu salah?" "Tidak. Itu tidak salah, sayang. Maksud Mommy bukan begitu." "Lalu bagaimana, Mommy?” Olin menghela nafas, hendak menjawab ketika anak itu lebih dulu bersuara. "Siapa Daddy Al yang sebenarnya, Mommy? Kenapa Daddy tidak pernah menemui Al?”?" Olin terkejut mendengarnya. "Kenapa Al bertanya seperti itu?" "Al hanya ingin tahu, Mommy. Al sering melihat Allesia pulang bersama Daddy–nya, dan Al juga ingin di jemput Daddy. Al juga ingin bermain bola bersama Daddy, seperti yang dilakukan Jack dan Daddy-nya." Suara Al makin lama makin memelan. Ia menunduk sambil memilin ujung bajunya. "Kenapa tidak dengan Mommy saja bermain bolanya?" Al menggeleng. "Bola bukan mainan untuk perempuan, Mommy." Olin menghela nafas panjang, mulai merasa sesak ketika melihat wajah sedih Al. "Kenapa harus ada Daddy, jika Al bisa melakukan semuanya bersama Mommy?" "Semuanya pasti akan berbeda jika ada Daddy. Pasti menyenangkan." Ucap Al pelan. "Mommy, kenapa Daddy tidak tinggal bersama kita?" Olin mengusap lembut rambut Al, sembari memberikan tatapan penuh kasih sayangnya. "Karena memang harus seperti itu, sayang." Ia tersenyum pedih. "Kenapa seperti itu, Mommy. Lalu, Daddy berada di mana sekarang?" Olin bingung hendak berbicara bagaimana. Jika dia menjelaskan, Al tidak akan mengerti. Bahkan dia juga tidak tahu Ayah Al ada di mana. Terakhir kali Olin melihat pria itu adalah sekitar enam tahun yang lalu. "Mommy? Kenapa diam saja?" Al menyentuh pelan tangan Olin. Olin mengerjap. Bahkan dia saja tidak sadar jika ia sedang melamun. "Jika Al sudah besar, Al pasti mengerti." Ia tersenyum. "Kita idur ya? Sudah malam." Al mengangguk sambil mengusap matanya. "Baiklah, Mommy. Al juga sudah mengantuk." "Mau Mommy gendong?" “Maauuu." ucap Al sambil merentangkan kedua tangannya. Olin terkekeh pelan sebelum menggendong Al dan berjalan pelan menuju kamar putranya itu. “Good night, sayang." Ia mencium kening Al saat anak itu sudah berbaring nyaman di ranjangnya. "Good night, Mommy." Anak itu tersenyum tipis lalu berbaring membelakangi Olin sambil memeluk gulingnya. Setelah dirasa Al sudah tertidur pulas. Olin pun memilih keluar dari kamar Al setelah menyelimutinya. Menutup pintu tanpa menimbulkan suara, kemudian berjalan menuju kamarnya, kini giliran dia untuk tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD