CH 03 ~ Everything

1061 Words
Pria itu ibarat udara bagi Kanaya. Sejak dirinya merasa hidupnya sudah tidak lagi berharga, pria itu datang memberikan penghargaan terbaik untuknya. Kanaya kecil selalu mengagumi sosoknya, sosok yang selalu memeluknya. Ketika hari pertama dia berada di rumah megah Stevano Andrew. Putra tunggal seorang pengusaha ternama di Amerika. “Dimana kedua orang tuamu, Dad?” Kanaya kecil begitu penasaran, ingin tahu sosok yang telah melahirkan dan mengurus orang sebaik Steve. Steve berjongkok, ia tersenyum sambil mengusap puncak kepala Kanaya kecil. Sejujurnya Steve tidak ingin membahas kedua orang tuanya itu. Mereka pun sama sekali sudah tidak mempedulikan Steve. Steve merasa tidak memiliki orang tua saat ini. Karena itulah dia mengangkat Kanaya menjadi anak asuhnya. “Mereka tidak di sini. Mereka sibuk mengurus bisnis di luar negeri. Naya tidak perlu sungkan, anggap saja ini rumah Naya sendiri,” tutur Steve. Naya hanya mengangguk, “baik, lalu dimana paman dan bibi yang Daddy ceritakan padaku,” tanya Naya. “Ah, iya sebentar biar Daddy panggilkan mereka ya,” ucap Steve yang langsung mencari keberadaan pak Bas dan bu Mer. Pengurus rumah yang sudah di anggap seperti orang tua oleh Steve. Naya masih berdiri sambil memperhatikan seisi rumah Steve yang begitu megah dan luas. Baru pertama kali ia melihat rumah semewah ini. Dalam hatinya ada perasaan takut, cemas dan juga rendah diri. “Apa aku akan di terima di sini?” Naya bergumam dengan mata berkeliling. Tak lama kemudian, Steve datang bersama dengan dua orang yang asing bagi Kanaya. Pasti mereka adalah paman dan bibi yang di ceritakan oleh Steve tadi. Batinnya. “Naya, kenalkan ini adalah Paman Bas, dan yang ini adalah Bibi Mer, mereka adalah orang tua angkatmu. Dikarenakan daddy belum memiliki hak untuk mengadopsi anak, jadi mereka yang menjadi orang tua asuhmu. Berikan salam kepada paman dan bibi,” ucap Steve. “Salam kenal, Paman dan Bibi. Namaku Kanaya, panggil saja Naya,” ucap Kanaya kecil. “Manis sekali, pantas saja daddy Steve bilang Kanaya adalah gadis kecil yang mengagumkan. Ternyata memang benar. Salam kenal Kanaya,” ucap Bi Mer. “Nona Naya begitu cantik dan cerdas. Kelak kalau membutuhkan sesuatu jangan sungkan untuk memberitahu Paman dan Bibi,” sambung Paman Bas. Kanaya begitu terharu, karena ternyata orang-orang di sekeliling Steve juga menyambutnya dengan ramah. Belum pernah ia di perlakukan begitu istimewa layaknya tuan putri saja. Naya sendiri masih heran, kenapa pria muda seperti Steve mau mengangkat anak. Bukannya hal itu merepotkan? Tentu saja, itu semua karena Steve bukan manusia, melainkan malaikat bagi Kanaya. “Naya, ini kamarmu. Kalau butuh sesuatu, Naya bisa panggil Daddy ataupun paman dan bibi ya,” tutur Steve mengantar Naya untuk masuk ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan khusus untuk Kanaya. “Dad, kamar ini begitu luas. Apa Naya akan tidur sendirian?” tanya Naya kecil dengan mata membulat menatap sosok Daddy-nya. “Hm, apa Naya takut tidur sendirian?” tanya Steve. Naya terdiam, sejujurnya ia terbiasa tidur sendiri. Tapi kamarnya tidak sebesar kamar dimana dia berdiri sekarang. Tentu saja Kanaya masih merasa asing dengan rumah Steve. Ia belum sepenuhnya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. “Naya sebenarnya tidak berani tidur sendirian. Kalau kamarnya sebesar ini.” Gadis itu memperhatikan kedua mata Steve yang menatapnya dengan senyuman tipis. “Oke, kalau begitu malam ini Daddy akan menemani Kanaya. Supaya Naya tidak takut tidur sendirian,” ujar Steve. Naya mengangguk senang, satu-satunya yang membuat Kanaya nyaman berada di tempat asing, hanyalah karena keberadaan Steve bersamanya. “Baiklah, sekarang Naya boleh mandi dan berganti pakaian. Daddy sudah mempersiapkan pakaian baru untuk Naya, ada di dalam lemari Naya,” tutur pria itu sambil menunjuk sebuah kemari berukuran besar. Naya membulatkan matanya, lalu berlarian ke arah lemari tersebut. Ia penasaran apa isi lemari yang begitu lebar itu. Mana mungkin hanya berisi pakaian saja, bahkan Naya sendiri hanya memiliki beberapa stel pakaian, itu juga belum tentu satu tahun sekali ia mendapatkan pakaian baru. “Lihatlah, ini semua pakaian Kanaya, di sebelah sini ada rak berisi sepatu Kanaya.” Steve membuka lemar itu dan langsung membuat Naya terkejut. “Daddy, tapi ini banyak sekali... Semuanya bahkan pakaian baru. Apa ini semua untuk Kanaya?” tanya Naya kecil yang seolah tidak percaya. Steve mengangguk, “ya, ini untuk Naya. Semuanya pakaian anak-anak bukan? Mana mungkin ini pakaian Daddy,” dengan begitu santai Steve tertawa sangat renyah di dengar oleh Kanaya. Gadis itu pun tak kuasa menahan haru, ia memeluk sosok malaikat di hadapannya. “Terima kasih, Dad.” Naya kecil merasa bahagia. ** “Nay,” Steve menghampiri Kanaya yang hendak mengendarai sepedanya. Ya, Kanaya tidak ingin di antar oleh Daddy-nya ke sekolah. Karena itu ia lebih memilih menggunakan sepedanya yang setiap hari libur ia gunakan untuk berolahraga sepeda di sekitar rumahnya. “Kanaya, Daddy panggil kamu sejak tadi. Kamu mau kemana naik sepeda, hn?” tanya Steve sambil memegangi sepeda Naya. Mencegah gadis itu agar tidak pergi. Naya menarik napasnya dalam-dalam. Ia menengok ke arah Steve dengan mata nanar. “Mau ke sekolah,” ucapnya singkat. “Lepaskan pegangan Daddy. Kanaya bisa telat,” sambungnya ketus. “Nay, kamu mau ke sekolah yang jaraknya cukup jauh dengan naik sepeda? Kamu nggak akan keburu. Sudah pasti acara di sekolah kamu bubar duluan,” tutur Steve masih menahan agar Naya tidak pergi. Tentu saja Steve paham betul bahwa putrinya itu sedang merajuk. “Biarin aja, daripada Naya harus berangkat dengan Daddy!” sentak Kanaya. “Nay, jangan seperti anak kecil. Kamu udah remaja. Bahkan sebentar lagi masuk universitas. Kanaya nggak pernah ngelawan sama Daddy. Kenapa sekarang Naya banyak marah dan membantah Daddy?” Steve menajamkan matanya. Naya kembali gemetar, lagi-lagi Steve membentaknya. “Maaf,” satu kata meluncur dari bibirnya. “Maafkan, Kanaya.” Steve sejujurnya tidak berniat melukai hati putrinya itu. Steve sangat menyayangi Naya, ia bahkan begitu memperhatikan Kanaya, mengantar jemput Kanaya ke sekolah setiap hari. Padahal kalau ia mau, menyewa seorang supir pun ia dapat lakukan. Tapi Steve ingin memastikan kalau Kanaya sampai di sekolah dengan selamat. Sebegitu perhatiannya ia kepada putri angkatnya itu, tapi tak di sangka bahwa ternyata Naya malah mencintainya dari sudut yang berbeda. “Sayang, ini bukan salahmu. Naya tidak salah, Daddy mengerti perasaan Naya. Tapi, kamu paham kan maksud Daddy? Sekarang menurutlah. Biarkan Daddy yang mengantarmu menghadiri acara perpisahan di sekolahmu, oke?” ucap Steve, kali ini suaranya kembali melemah. “Ya,” jawab Naya sambil tertunduk. Steve menggandeng tangan Kanaya dan mengajaknya masuk ke dalam mobil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD